Editors Picks

Rabu, 10 Agustus 2016

Darurat Kesehatan Nasional



Mengikuti berita vaksin palsu semakin mengkhawatirkan. Fasilitas kesehatan yang menggunakan pemasok tidak resmi makin banyak. Dari 28 menjadi 37, kebanyakan rumah sakit dan klinik (Kompas, 2/7/2016). Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan cepat menyimpulkan bahwa belum ada bahan yang berbahaya di vaksin palsu.

Seperti kesan yang ingin disampaikan, kasus vaksin palsu ini hanya seputar kejahatan yang dilakukan para pemalsu dan mata rantainya. Badan Reserse Kriminal Polri mendapat tugas yang tidak ringan, seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Apalagi, lembaga intelijen belum menganggap kasus ini sebagai masalah nasional.

Lambatnya pengungkapan ini memberi tenggat bagi para pemalsu dan mata rantainya untuk menghilangkan barang bukti, salah satunya dengan membuang di kali. Kesulitan nonteknis akan dijumpai jika seorang pimpinan daerah ikut-ikut menyatakan daerahnya tidak ada vaksin palsu. Sementara masyarakat dan orangtua dihadapkan pada ketidakpastian, kekhawatiran terhadap imunisasi pada anak balita yang akan dan yang sudah menerima vaksinasi.

Para pelaku pemalsuan ini, mulai dari produsen, para pengedar dan para vaksinator, pastilah berasal dari kelompok terpelajar dan melek terhadap peraturan yang berkaitan dengan kesehatan. Namun, keterlaluan, hanya untuk mencari tambahan pendapatan, mengorbankan masa depan putra-putri bangsa Indonesia.

Vaksin dan vaksinasi
Tujuan utama vaksinasi, khususnya pada anak balita, adalah tindakan prevensi terhadap penyakit strategis sehingga bisa mengurangi angka kesakitan dan kematian serta untuk menyiapkan suatu generasi yang sehat, produktif. Jadi, vaksinasi sebagai investasi negara untuk menyiapkan sumber daya manusia yang kuat, sehat, dan produktif.

Ada 14 jenis vaksin yang diberikan dari umur satu hari sampai 18 tahun. Lima vaksin program wajib adalah BCG, Hepatitis B, Polio, DTP, dan Campak, sedangkan vaksin lainnya bersifat anjuran. Selama ini, vaksinasi pada anak balita bersifat "tertutup". Proses produksi, distribusi sampai nama bayi yang divaksin, semua dicatat. Sangat membingungkan bahwa jaringan yang tertutup ini dapat "dimasuki" vaksin palsu selama lebih dari sepuluh tahun.

Sangat wajar jika masyarakat menjadi skeptis terhadap cara menangani kasus ini. Pernyataan dari para pejabat berwenang membingungkan. Padahal, dengan rentang waktu sepuluh tahun, modus ini sudah berakar, dan bisa diterima argumentasi bahwa kasus ini dekat dengan para kelompok terpelajar tadi. Sebab, tidak mungkin praktik ini bertahan begitu lama kalau tidak ada kesepahaman antara pemalsu dan rangkaian lainnya.

Sebagai peneliti vaksin, saya selama ini merasakan begitu ketatnya aturan (standard of procedure/SOP), mulai dari penyiapan suatu kuman untuk seed vaksin sampai jenis pengujian di tingkat pre-klinik, termasuk pembuangan limbah.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai lembaga kesehatan dunia telah menetapkan SOP produksi vaksin dan pengujian melalui berbagai TRS (technical reports series). Untuk satu jenis vaksin, bisa puluhan TRS yang harus ditaati mengingat prinsip vaksinasi adalah memasukkan "kuman atau patogen yang terukur" ke dalam tubuh sehingga antibodi yang terbentuk dapat mencegah penyakit yang menginfeksi tubuh seseorang. Untuk satu jenis vaksin, dibutuhkan waktu enam tahun sampai bisa digunakan.

Vaksin palsu
Sebetulnya, vaksin palsu bisa punya banyak pengertian. Vaksin asli tetapi dokumennya palsu, atau vaksin dengan kandungan berbeda, tetapi dengan kemasan dan merek seperti vaksin dan dokumen yang asli. Sepertinya, vaksin palsu yang beredar saat ini isinya palsu, tetapi kemasan, merek, dan etiket seperti vaksin asli. Sudah pasti tanpa ada dokumen apa pun. Sinyalemen yang ada, juga tidak ada dokumen apa pun saat transaksi dengan pihak penerima. Jika ini yang terjadi, berarti pemalsu dan penerima sudah tahu sama tahu.

Beberapa industri vaksin akan merahasiakan ciri spesifik dari kemasan dan etiket. Tujuannya, menghindari penyalahgunaan produknya, termasuk pemalsuan. Dengan demikian, apakah kemasan dan etiket asli atau palsu, yang tahu persis hanya produsen. Adalah sesuatu yang tak tepat jika masyarakat dilibatkan mengawasi pemalsuan vaksin. Jika perlu, produsen asli sebaiknya segera mengganti kemasan dan etiket vaksin yang dipalsu.

Suatu vaksin biasanya memiliki tiga macam isi, yaitu kuman, pelarut, danadjuvant (suatu bahan kimia yang ditambahkan ke vaksin untuk merangsang pembentukan imun tubuh), yang kemudian dicampur menjadi suatu formula vaksin. Setelah hasil uji setiap kandungan vaksin aman, dilanjutkan dengan pengujian terhadap formula yaitu uji toksisitas, potensi, uji tantang formula, sampai uji klinis. Proses ini akan dipantau oleh institusi negara yang berwenang.

Uji toksisitas suatu formula dilakukan untuk mengetahui adanya toksin atau cemaran formula pada hewan coba. Parameter yang harus lulus ada sekitar 150 macam. Mulai dari berat badan, gambaran darah, fungsi hati, jantung, ginjal, cemaran kuman vaksin (shedding), gangguan pada semua organ tubuh mulai dari jaringan otak sampai kelenjar yang terdapat pada testis (jantan) atau ovarium (wanita).

Tentunya akan timbul pertanyaan jika pengujian pada vaksin palsu dilakukan sangat cepat dan disimpulkan bahwa vaksin palsu tersebut tidak bahaya. Uji vaksin palsu tujuan utamanya untuk apa? Apakah sekadar untuk mencari pembeda sebagai alat bukti, atau ada tujuan untuk mengetahui dampak terhadap anak balita yang telah divaksin? Kalau saja pengujian yang terkesan seadanya ini karena kekurangan fasilitas yang dimiliki, bisa dikerahkan semua potensi yang dimiliki bangsa ini untuk membantu, atau melibatkan lembaga dunia untuk membantu menguji vaksin palsu ini.

Kuman cemaran vaksin palsu
Sangat tidak bertanggung jawab jika vaksin palsu disimpulkan tidak berbahaya tanpa melalui pengujian yang terukur. Pernyataan seperti ini bisa menyebabkan masyarakat menjadi semakin gundah mengingat yang disuntikkan-jika air saja, tidak dijamin sterilitasnya. Selain itu, penerima vaksin ini adalah anak balita yang belum sempurna pertumbuhan dan metabolisme tubuhnya. Bahkan, jarum (untuk vaksin suntik) yang digunakan harus terstandar karena jarum akan merobek pembuluh darah perifer anak balita, yang bisa berakibat fatal jika sistem pembekuan darah balita belum sempurna.

Cemaran kuman yang tidak bisa diidentifikasi, bukan berarti vaksin palsu bebas terhadap cemaran. Diharapkan, karena pemahaman dan peralatan pengujian yang kurang memadai sehingga terjadi penyederhanaan masalah, hal itu perlu menjadi perhatian bersama. Cemaran kuman bisa terjadi karena tidak steril sehingga menjadi ikutan atau "sengaja diikutkan".

Ini suatu persoalan bangsa yang tidak sederhana, terutama untuk masa depan generasi mendatang. Banyak kepustakaan yang menjelaskan hubungan suatu infeksi mikroorganisme dengan keadaan penyakit yang tidak terprediksi, seperti keadaan stunting (pertumbuhan tubuh terhambat). Jumlah kasus stunting di Indonesia termasuk lima besar di dunia. Apakah kasus stunting ini menyebabkan Indonesia tidak pernah menjadi juara sepak bola?

Hubungan suatu kuman dengan kasus menurunnya sistem pertahanan tubuh secara kronis, kasus autis, kasus gangguan jiwa, dan beberapa kondisi lain yang bisa terjadi pada masa yang akan datang. Tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali diurai menyeluruh kandungan vaksin palsu itu. Dinamika kuman bisa alamiah, atau dirancang sesuai dengan kemauan pembuatnya, melalui perubahan potensi patogen dari titer yang kecil hingga membesar seiring umur yang dihinggapi.

Oleh karena itu, vaksin palsu tidak hanya mencerminkan ada kasus kejahatan ekonomi, tetapi menunjukkan begitu rapuhnya moral sebagian bangsa ini, sekadar memburu uang, rela membahayakan masa dengan depan bangsa, apalagi kalau dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat terpelajar.

Beberapa tahun yang lalu, masih dalam kurun edar vaksin palsu, Indonesia dikejutkan munculnya wabah difteri pada anak bahkan dewasa, yang saat itu diduga karena kosong antibodi terhadap toksin difteri. Kasus yang pernah muncul pada anak balita bisa ditelusuri ulang, barangkali ada tautannya.

Kebijakan terhadap dampak yang mungkin timbul pada anak balita yang sudah diimunisasi dengan vaksin palsu tidak cukup hanya setingkat satuan tugas (satgas). Juga bukan pada tingkat sektoral atau kementerian, tetapi harus diselesaikan pada tingkat negara.

Indonesia dalam keadaan "Darurat Kesehatan Nasional". Pertimbangannya, jaringan vaksin palsu sudah terbentuk sangat lama dan rapi sehingga satuan yang menangani perlu lintas sektoral sebab sudah menyangkut kesehatan masyarakat dan ketahanan negara. Kasus vaksin palsu tidak ubahnya kejahatan narkoba dan seksual anak, bahkan bisa melebihi, mengingat vaksin palsu bisa berakibat massal dan membahaya lingkungan. Segala daya upaya perlu dikerahkan untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia. Istilah ini memang tidak ada rujukan, tetapi analogi dengan terjadinya wabah penyakit di Indonesia.

Selain itu, semua stok vaksin, baik yang asli maupun palsu yang belum diketahui, barangkali juga perlu segera ditarik dari semua fasilitas kesehatan. Kemudian, pemerintah cq Kementerian Kesehatan dan BPOM, industri vaksin yang dipalsu dan Kepolisian memilah stok vaksin yang ditarik tersebut, selanjutnya vaksin palsu dimusnahkan dengan disaksikan masyarakat Indonesia. Penarikan ini bertujuan agar masyarakat tenteram bahwa pemerintah serius menangani kasus vaksin palsu, serta tidak ada syak-wasangka lagi bahwa vaksin-vaksin yang akan datang adalah vaksin palsu. Tindakan ini untuk memutus mata-rantai vaksin palsu.

Pemerintah selanjutnya perlu fokus melakukan pengujian pada cemaran mikroorganisme untuk menentukan langkah lanjutan. Sebaiknya, kita juga tidak terburu-buru melakukan vaksinasi ulang pada anak balita mengingat kondisi mereka dan titer antibodi saat divaksin ulang bukan persoalan yang sederhana.

oleh CA NIDOM
disadur dari Kompas, Jum’at 15 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar