Mengikuti
berita vaksin palsu semakin mengkhawatirkan. Fasilitas kesehatan yang
menggunakan pemasok tidak resmi makin banyak. Dari 28 menjadi 37, kebanyakan
rumah sakit dan klinik (Kompas, 2/7/2016). Namun, Badan Pengawas Obat dan
Makanan dengan cepat menyimpulkan bahwa belum ada bahan yang berbahaya di
vaksin palsu.
Seperti
kesan yang ingin disampaikan, kasus vaksin palsu ini hanya seputar kejahatan
yang dilakukan para pemalsu dan mata rantainya. Badan Reserse Kriminal Polri
mendapat tugas yang tidak ringan, seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Apalagi, lembaga intelijen belum menganggap kasus ini sebagai masalah nasional.
Lambatnya
pengungkapan ini memberi tenggat bagi para pemalsu dan mata rantainya untuk
menghilangkan barang bukti, salah satunya dengan membuang di kali. Kesulitan
nonteknis akan dijumpai jika seorang pimpinan daerah ikut-ikut menyatakan
daerahnya tidak ada vaksin palsu. Sementara masyarakat dan orangtua dihadapkan
pada ketidakpastian, kekhawatiran terhadap imunisasi pada anak balita yang akan
dan yang sudah menerima vaksinasi.
Para
pelaku pemalsuan ini, mulai dari produsen, para pengedar dan para vaksinator,
pastilah berasal dari kelompok terpelajar dan melek terhadap peraturan yang
berkaitan dengan kesehatan. Namun, keterlaluan, hanya untuk mencari tambahan
pendapatan, mengorbankan masa depan putra-putri bangsa Indonesia.
Vaksin dan vaksinasi
Tujuan
utama vaksinasi, khususnya pada anak balita, adalah tindakan prevensi terhadap
penyakit strategis sehingga bisa mengurangi angka kesakitan dan kematian serta
untuk menyiapkan suatu generasi yang sehat, produktif. Jadi, vaksinasi sebagai
investasi negara untuk menyiapkan sumber daya manusia yang kuat, sehat, dan
produktif.
Ada 14
jenis vaksin yang diberikan dari umur satu hari sampai 18 tahun. Lima vaksin
program wajib adalah BCG, Hepatitis B, Polio, DTP, dan Campak, sedangkan vaksin
lainnya bersifat anjuran. Selama ini, vaksinasi pada anak balita bersifat
"tertutup". Proses produksi, distribusi sampai nama bayi yang
divaksin, semua dicatat. Sangat membingungkan bahwa jaringan yang tertutup ini
dapat "dimasuki" vaksin palsu selama lebih dari sepuluh tahun.
Sangat
wajar jika masyarakat menjadi skeptis terhadap cara menangani kasus ini.
Pernyataan dari para pejabat berwenang membingungkan. Padahal, dengan rentang
waktu sepuluh tahun, modus ini sudah berakar, dan bisa diterima argumentasi
bahwa kasus ini dekat dengan para kelompok terpelajar tadi. Sebab, tidak
mungkin praktik ini bertahan begitu lama kalau tidak ada kesepahaman antara
pemalsu dan rangkaian lainnya.
Sebagai
peneliti vaksin, saya selama ini merasakan begitu ketatnya aturan (standard of procedure/SOP), mulai dari
penyiapan suatu kuman untuk seed vaksin sampai jenis pengujian di tingkat
pre-klinik, termasuk pembuangan limbah.
Badan
Kesehatan Dunia (WHO) sebagai lembaga kesehatan dunia telah menetapkan SOP
produksi vaksin dan pengujian melalui berbagai TRS (technical reports series). Untuk satu jenis vaksin, bisa puluhan
TRS yang harus ditaati mengingat prinsip vaksinasi adalah memasukkan
"kuman atau patogen yang terukur" ke dalam tubuh sehingga antibodi
yang terbentuk dapat mencegah penyakit yang menginfeksi tubuh seseorang. Untuk
satu jenis vaksin, dibutuhkan waktu enam tahun sampai bisa digunakan.
Vaksin palsu
Sebetulnya,
vaksin palsu bisa punya banyak pengertian. Vaksin asli tetapi dokumennya palsu,
atau vaksin dengan kandungan berbeda, tetapi dengan kemasan dan merek seperti
vaksin dan dokumen yang asli. Sepertinya, vaksin palsu yang beredar saat ini
isinya palsu, tetapi kemasan, merek, dan etiket seperti vaksin asli. Sudah
pasti tanpa ada dokumen apa pun. Sinyalemen yang ada, juga tidak ada dokumen
apa pun saat transaksi dengan pihak penerima. Jika ini yang terjadi, berarti
pemalsu dan penerima sudah tahu sama tahu.
Beberapa
industri vaksin akan merahasiakan ciri spesifik dari kemasan dan etiket.
Tujuannya, menghindari penyalahgunaan produknya, termasuk pemalsuan. Dengan
demikian, apakah kemasan dan etiket asli atau palsu, yang tahu persis hanya
produsen. Adalah sesuatu yang tak tepat jika masyarakat dilibatkan mengawasi
pemalsuan vaksin. Jika perlu, produsen asli sebaiknya segera mengganti kemasan
dan etiket vaksin yang dipalsu.
Suatu
vaksin biasanya memiliki tiga macam isi, yaitu kuman, pelarut, danadjuvant
(suatu bahan kimia yang ditambahkan ke vaksin untuk merangsang pembentukan imun
tubuh), yang kemudian dicampur menjadi suatu formula vaksin. Setelah hasil uji
setiap kandungan vaksin aman, dilanjutkan dengan pengujian terhadap formula
yaitu uji toksisitas, potensi, uji tantang formula, sampai uji klinis. Proses
ini akan dipantau oleh institusi negara yang berwenang.
Uji
toksisitas suatu formula dilakukan untuk mengetahui adanya toksin atau cemaran
formula pada hewan coba. Parameter yang harus lulus ada sekitar 150 macam.
Mulai dari berat badan, gambaran darah, fungsi hati, jantung, ginjal, cemaran
kuman vaksin (shedding), gangguan pada semua organ tubuh mulai dari jaringan
otak sampai kelenjar yang terdapat pada testis (jantan) atau ovarium (wanita).
Tentunya
akan timbul pertanyaan jika pengujian pada vaksin palsu dilakukan sangat cepat
dan disimpulkan bahwa vaksin palsu tersebut tidak bahaya. Uji vaksin palsu tujuan
utamanya untuk apa? Apakah sekadar untuk mencari pembeda sebagai alat bukti,
atau ada tujuan untuk mengetahui dampak terhadap anak balita yang telah
divaksin? Kalau saja pengujian yang terkesan seadanya ini karena kekurangan
fasilitas yang dimiliki, bisa dikerahkan semua potensi yang dimiliki bangsa ini
untuk membantu, atau melibatkan lembaga dunia untuk membantu menguji vaksin
palsu ini.
Kuman cemaran vaksin palsu
Sangat
tidak bertanggung jawab jika vaksin palsu disimpulkan tidak berbahaya tanpa
melalui pengujian yang terukur. Pernyataan seperti ini bisa menyebabkan
masyarakat menjadi semakin gundah mengingat yang disuntikkan-jika air saja,
tidak dijamin sterilitasnya. Selain itu, penerima vaksin ini adalah anak balita
yang belum sempurna pertumbuhan dan metabolisme tubuhnya. Bahkan, jarum (untuk
vaksin suntik) yang digunakan harus terstandar karena jarum akan merobek
pembuluh darah perifer anak balita, yang bisa berakibat fatal jika sistem
pembekuan darah balita belum sempurna.
Cemaran
kuman yang tidak bisa diidentifikasi, bukan berarti vaksin palsu bebas terhadap
cemaran. Diharapkan, karena pemahaman dan peralatan pengujian yang kurang
memadai sehingga terjadi penyederhanaan masalah, hal itu perlu menjadi
perhatian bersama. Cemaran kuman bisa terjadi karena tidak steril sehingga
menjadi ikutan atau "sengaja diikutkan".
Ini
suatu persoalan bangsa yang tidak sederhana, terutama untuk masa depan generasi
mendatang. Banyak kepustakaan yang menjelaskan hubungan suatu infeksi
mikroorganisme dengan keadaan penyakit yang tidak terprediksi, seperti keadaan stunting (pertumbuhan tubuh terhambat).
Jumlah kasus stunting di Indonesia termasuk lima besar di dunia. Apakah kasus stunting
ini menyebabkan Indonesia tidak pernah menjadi juara sepak bola?
Hubungan
suatu kuman dengan kasus menurunnya sistem pertahanan tubuh secara kronis, kasus
autis, kasus gangguan jiwa, dan beberapa kondisi lain yang bisa terjadi pada
masa yang akan datang. Tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali diurai
menyeluruh kandungan vaksin palsu itu. Dinamika kuman bisa alamiah, atau
dirancang sesuai dengan kemauan pembuatnya, melalui perubahan potensi patogen
dari titer yang kecil hingga membesar seiring umur yang dihinggapi.
Oleh
karena itu, vaksin palsu tidak hanya mencerminkan ada kasus kejahatan ekonomi,
tetapi menunjukkan begitu rapuhnya moral sebagian bangsa ini, sekadar memburu
uang, rela membahayakan masa dengan depan bangsa, apalagi kalau dilakukan oleh
sebagian kelompok masyarakat terpelajar.
Beberapa
tahun yang lalu, masih dalam kurun edar vaksin palsu, Indonesia dikejutkan
munculnya wabah difteri pada anak bahkan dewasa, yang saat itu diduga karena
kosong antibodi terhadap toksin difteri. Kasus yang pernah muncul pada anak
balita bisa ditelusuri ulang, barangkali ada tautannya.
Kebijakan
terhadap dampak yang mungkin timbul pada anak balita yang sudah diimunisasi
dengan vaksin palsu tidak cukup hanya setingkat satuan tugas (satgas). Juga
bukan pada tingkat sektoral atau kementerian, tetapi harus diselesaikan pada
tingkat negara.
Indonesia
dalam keadaan "Darurat Kesehatan Nasional". Pertimbangannya, jaringan
vaksin palsu sudah terbentuk sangat lama dan rapi sehingga satuan yang
menangani perlu lintas sektoral sebab sudah menyangkut kesehatan masyarakat dan
ketahanan negara. Kasus vaksin palsu tidak ubahnya kejahatan narkoba dan
seksual anak, bahkan bisa melebihi, mengingat vaksin palsu bisa berakibat
massal dan membahaya lingkungan. Segala daya upaya perlu dikerahkan untuk
menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia. Istilah ini memang tidak ada rujukan,
tetapi analogi dengan terjadinya wabah penyakit di Indonesia.
Selain
itu, semua stok vaksin, baik yang asli maupun palsu yang belum diketahui,
barangkali juga perlu segera ditarik dari semua fasilitas kesehatan. Kemudian,
pemerintah cq Kementerian Kesehatan dan BPOM, industri vaksin yang dipalsu dan
Kepolisian memilah stok vaksin yang ditarik tersebut, selanjutnya vaksin palsu
dimusnahkan dengan disaksikan masyarakat Indonesia. Penarikan ini bertujuan
agar masyarakat tenteram bahwa pemerintah serius menangani kasus vaksin palsu,
serta tidak ada syak-wasangka lagi bahwa vaksin-vaksin yang akan datang adalah
vaksin palsu. Tindakan ini untuk memutus mata-rantai vaksin palsu.
Pemerintah
selanjutnya perlu fokus melakukan pengujian pada cemaran mikroorganisme untuk
menentukan langkah lanjutan. Sebaiknya, kita juga tidak terburu-buru melakukan
vaksinasi ulang pada anak balita mengingat kondisi mereka dan titer antibodi
saat divaksin ulang bukan persoalan yang sederhana.
oleh CA
NIDOM
disadur
dari Kompas, Jum’at 15 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar