Majelis
hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam putusannya, Kamis (9/6),
membatalkan status justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama
dengan penegak hukum) terhadap terdakwa Abdul Khoir, Direktur Utama PT Windhu
Tunggal Utama.
Majelis
hakim menilai, penetapan Abdul Khoir sebagai justice collaborator oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tepat karena ia merupakan pelaku utama
dalam perkara yang didakwakan kepadanya. Abdul dinilai berperan aktif
menggerakkan pengusaha lain dan terbukti memberikan suap kepada pejabat di
Kementerian Pekerjaan Umum dan sejumlah anggota Komisi V DPR. Hakim lalu
menjatuhkan vonis empat tahun penjara. Lebih berat dari tuntutan jaksa KPK,
yaitu hukuman 2,5 tahun penjara.
Vonis
empat tahun penjara pada akhirnya meruntuhkan harapan Abdul Khoir selaku justice
collaborator. Abdul sebelumnya berharap, dengan menjadi justice
collaborator dan membantu mengungkap pelaku-pelaku lainnya, ia akan
mendapatkan keringanan, bahkan pembebasan hukuman. KPK sudah menuntutnya
ringan, tetapi putusan hakim pengadilan tipikor berkata lain. Hakim meniadakan
statusnya sebagai justice collaborator dan menghukum lebih berat
daripada tuntutan jaksa.
Beda
cara pandang
Kisah
nestapa yang dialami seorang justice collaborator bukan kali ini saja
terjadi. Pada 2013, hakim pengadilan tipikor juga menolak status justice
collaborator terhadap Kosasih Abbas, terdakwa dalam perkara korupsi proyek solar
home system di Kementerian ESDM dan menghukumnya empat tahun penjara.
Vonis
cukup berat terhadap Abdul Khoir dan Kosasih Abbas menunjukkan adanya perbedaan
cara pandang antar-aparat penegak hukum atas syarat dalam menentukan status dan
perlindungan sebagai justice collaborator. Meski secara umum ketentuan
mengenai justice collaborator telah diatur dalam UU tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, secara khusus masing-masing lembaga ternyata memiliki syarat
dan perlakuan yang berbeda terhadap seorang justice collaborator.
Untuk
menjadi justice collaborator di KPK, saksi pelaku harus memenuhi syarat,
antara lain, mengakui kejahatannya, mengembalikan aset atau hasil korupsi
kepada negara, kemauan membongkar pelaku atau perkara lain, dan kesediaan
memberikan kesaksian di persidangan dan konsisten dengan berita acara
pemeriksaan (BAP).
Dalam
catatan KPK, selama 2015 hingga Juni 2016, sebanyak 48 tersangka korupsi yang
ditangani KPK mengajukan permohonan sebagai justice collaborator.Dari 48
permohonan, baru 11 orang yang diterima pengajuannya sebagai justice
collaborator. Selebihnya, 26 permohonan, ditolak karena tak memenuhi syarat
dan 11 orang permohonannya masih dalam proses.
Bentuk
perlindungan yang diberikan KPK terhadap justice collaborator mencakup
perlindungan fisik dan hukum. Perlindungan fisik antara lain melakukan
pengawasan dan pengawalan, penggantian biaya hidup dan pemindahan ke
"rumah aman". Adapun perlindungan hukum yang diberikan antara lain
mendapatkan penasihat hukum, menerima informasi perkembangan perkara dan
keringanan tuntutan hukum, serta rekomendasi untuk mendapatkan remisi dan
pembebasan bersyarat.
Sementara
menurut hakim-sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No 4/2011-ada beberapa pedoman
untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator,yaitu merupakan
salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya,
bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan
sebagai saksi di dalam proses peradilan. Bagi hakim, pelaku utama tidak layak
menjadi justice collaborator. Ganjaran yang dapat diberikan hakim
terhadap justice collaborator adalah menjatuhkan pidana percobaan
bersyarat khusus atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling
ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara
dimaksud.
Ketidaksamaan
pandangan antara hakim dan penegak hukum lain, termasuk KPK, merupakan salah
satu faktor penghambat dalam pelaksanaan pemberian perlindungan bagi justice
collaborator selama ini. Hambatan lain yang dijumpai adalah ketika justice
collaborator yang dilindungi kemudian dilaporkan ke aparat penegak hukum,
misalnya dalam kasus pemalsuan surat, keterangan palsu, ataupun pecemaran nama
baik. Tidak sedikit pula justice collaborator yang mengalami ancaman
atau gangguan terhadap keselamatan diri dan keluarganya.
Sejumlah
hambatan tersebut sudah selayaknya dicari jalan keluarnya agar para justice
collaborator tak jadi kapok atau menyesal karena telah membantu penegak
hukum menuntaskan perkara korupsi. Tanpa perlindungan atau reward yang
maksimal, termasuk pengurangan hukuman, saksi pelaku akan berpikir ulang jika
ditawari atau mengajukan status sebagai justice collaborator. Padahal, selama
ini peran justice collaborator sangat signifikan dalam mengatasi
kesulitan penegak hukum mengungkap pelaku ataupun perkara korupsi kelas kakap.
Dalam
catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejumlah perkara korupsi yang
ditangani KPK berhasil terungkap karena peran justice collaborator.
Sebut saja perkara korupsi dalam proyek Hambalang, sejumlah perkara suap yang
melibatkan anggota DPR, suap dana bantuan sosial di Provinsi Sumatera Utara,
dan suap kepada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan. Pelaku korupsi
yang pernah menyandang status justice collaborator dari KPK antara lain
Agus Condro, Wahid Muharam, Kosasih Abbas, Mindo Rosalina, Abdul Khoir, Rinelda
Bandaso, dan Yagari Bhastara Guntur.
Perkuat
koordinasi
Nestapa
yang menimpa Abdul Khoir dan Kosasih Abbas mestinya menjadi momentum bagi
masing-masing penegak hukum untuk melakukan evaluasi terhadap pemberian
perlindungan kepada justice collaborator. Untuk menyamakan persepsi,
memperkuat koordinasi dan mengatasi hambatan teknis antar-penegak hukum, maka
sebaiknya perlu disusun peraturan bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban, Mahkamah Agung, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan
HAM, dan KPK tentang pelaksanaan perlindungan bagi justice collaborator.
Membangun
komitmen bersama antar-instansi dan penegak hukum ini penting dilakukan agar,
ke depan, justice collaborator benar-benar dilindungi, tidak lagi
mengalami nestapa, sehingga upaya pengungkapan perkara korupsi bisa dituntaskan
secara maksimal.
oleh
Emerson Yuntho
Disadur
dari Kompas, Selasa, 28 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar