Kasus
vaksin palsu yang diungkapkan Badan Reserse Kriminal Polri pekan lalu sungguh
mengejutkan dan meresahkan masyarakat luas. Vaksin yang dimaksudkan untuk
menimbulkan kekebalan pada bayi ternyata dipalsukan dengan bahan baku yang
justru berisiko pada kesehatan bayi. Proses pembuatan vaksin palsu itu sama
sekali tidak steril dan oleh karena itu pasti mengandung berbagai cemaran
berbahaya.
Pemalsuan
vaksin juga sangat berpotensi menimbulkan morbiditas dan kematian terutama pada
bayi-bayi yang menggunakannya.
Bayi-bayi
yang seharusnya memiliki kekebalan karena sudah divaksin ternyata tetap rentan
karena vaksinnya palsu. Akibatnya, mereka akan jatuh sakit jika terpapar
penyakit yang seharusnya bisa dilawan oleh tubuhnya.
Oleh
karena itu, pemalsuan vaksin ini bukan sekadar kejahatan biasa, melainkan
merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra ordinary crime). Mengapa
kasus pemalsuan vaksin ini bisa terjadi? Apakah kasus ini bisa terjadi pada
obat lain dengan risiko yang tidak kalah besar?
Kasus
pemalsuan vaksin seharusnya menjadi pembelajaran kita bersama untuk menata
ulang sistem pengawasan obat di Indonesia. Jika dalam sistem pengawasan yang
selama ini berlangsung tidak terjadi perbaikan yang substansial, maka
probabilitas untuk terjadi kasus yang serupa akan terulang kembali, bahkan
mungkin dalam skala yang lebih besar.
Vaksin
palsu
Berdasarkan
berbagai temuan kasus pemalsuan obat selama ini, ada satu kesamaan motif yang
mendasari, yaitu harga produk yang mahal. Tidak pernah ditemukan kasus
pemalsuan obat pada obat-obatan yang harganya murah seperti obat generik. Motif
meraih keuntungan yang besar jelas menggoda para kriminal ini untuk memalsukan
obat.
Dalam
kasus vaksin palsu ini, yang dipalsu adalah hampir semua produk impor yang
sangat mahal. Pengedar vaksin palsu menggoda orang-orang di bagian pembelian
rumah sakit atau klinik dengan memberikan diskon sangat besar. Hal ini yang
memicu dan melanggengkan pemalsuan karena terbungkus rapi oleh petugas
internal.
Sebenarnya
sangat ironis, pemerintah menyediakan vaksin gratis di rumah sakit pemerintah,
puskesmas, bahkan di pos yandu, tetapi masih ada rumah sakit dan praktik dokter
perseorangan yang memberikan vaksin impor. Jika mereka memperoleh pasokan
vaksin dari sumber-sumber yang tidak resmi, apalagi mencari harga murah, maka
potensi masalah yang berbahaya sungguh mengancam.
Segmen
masyarakat yang menggunakan vaksin nonprogram inilah yang terkena risiko vaksin
palsu. Apabila dihitung secara statistik, penggunaan vaksin impor ini
diprediksi kurang dari 5 persen dari total penggunaan vaksin di Indonesia. Akan
tetapi, risiko vaksin palsu ini tidak boleh dikalkulasi secara statistik. Meski
hanya satu kasus, hal ini tetap harus mendapat perhatian penuh karena
menyangkut keselamatan jiwa bayi.
Tata
ulang sistem pengawasan
Apabila
terjadi kasus-kasus pemalsuan obat seperti sekarang, publik langsung
menyalahkan dan komplain kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM)
selaku pelaksana bidang pengawasan obat di negeri ini. Persepsi dan asumsi
masyarakat ini tidak sepenuhnya salah karena Badan POM memang sangat diharapkan
masyarakat luas untuk mendapatkan perlindungan.
Meski
demikian, perlu ada telaahan yang jujur dan obyektif tentang bagaimana keadaan
yang sesungguhnya. Idealnya, semua mata rantai produksi, distribusi, dan
pelayanan obat menjadi otoritas Badan POM seperti halnya Food and Drug
Administration (FDA) di Amerika Serikat. Badan POM selama ini lebih banyak
berkutat pada pengawasan di hulu, yaitu pada seluruh proses di industri
farmasi.
Badan
POM "mengobok-obok" sektor manufaktur formal ini sampai detail
sekali. Akan tetapi, di sektor hilir terutama pada apotek, toko obat, dan rumah
sakit, Badan POM nyaris tidak bisa melakukan apa-apa karena kewenangannya
dipangkas habis. Akibatnya pada sektor hilir ini banyak simpul yang tidak
diawasi, yang berpeluang terjadinya distorsi dan pelanggaran.
Sekarang
ini siapa saja, kapan saja, dapat membeli obat keras (obat etikal) di apotek
dan toko obat tanpa resep dokter. Ironisnya lagi, banyak dokter dan tenaga
kesehatan lain membeli obat di pasar gelap, seperti di Pramuka dan Kramatjati,
untuk kebutuhan self dispensing. Dalam kasus vaksin palsu ternyata terlibat
Apotek Rakyat IS yang eksistensinya bisa dianggap sebagai apotek
"abal-abal". Tidak ada literatur mana pun yang mendukung, juga
regulasi farmasi di negara mana pun, yang memiliki konsep "apotek
rakyat" dan kemudian melegalkan/memutihkan toko obat.
Dengan
Permenkes Nomor 35 Tahun 2014, pembinaan dan pengawasan terhadap apotek telah
dilimpahkan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya,
Badan POM tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengawasi apotek. Demikian juga
halnya dengan Permenkes Nomor 58 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa pembinaan
dan pengawasan kefarmasian di rumah sakit dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan kabupaten/kota.
Berisiko
keselamatan
Padahal,
kita tahu bahwa pasokan obat ke rumah sakit sebagian adalah life saving drugs
atau obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa, yang berisiko tinggi terhadap
keselamatan pasien apabila obat tersebut substandar, palsu, atau merupakan
produk rusak.
Kasus-kasus
yang tidak diinginkan yang terjadi di beberapa rumah sakit beberapa waktu lalu,
dan menimbulkan kematian, adalah karena lemahnya sistem pengawasan di rumah
sakit. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ini
tidak substansial dan material karena mereka tidak mempunyai sumber daya
manusia dan infrastruktur untuk melaksanakan pengawasan secara efektif.
Demikian
juga terhadap toko obat. Semua aspek, mulai dari perizinan dan pengawasan
dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Selama ini hampir tidak ada
penindakan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh apotek ataupun toko obat.
Padahal,
kenyataan menunjukkan bahwa beredarnya vaksin palsu tersebut-yang realitasnya
melalui jalur ilegal-memang akibat tidak adanya pengawasan oleh Badan POM.
Tetapi masyarakat dan semua pihak, termasuk DPR bahkan Kementerian Kesehatan
sendiri, kemudian menganggap bahwa semua itu menjadi tanggung jawab Badan POM.
Undang-undang
pengawasan
Badan
POM sebagai pengawas idealnya adalah lembaga pemerintah yang mempunyai otoritas
di bidang pengawasan obat dan makanan. Namun, sampai saat ini negara belum
memiliki undang-undang sebagai landasan operasionalnya. Ini merupakan suatu
kelemahan yang paling substansial bagi Badan POM untuk bertindak sekaligus
berkekuatan hukum.
Beberapa
tahun lalu Badan POM menangkap (lagi-lagi) pelanggaran dalam hal obat, yakni
pencampuran jamu dengan sibutramin (obat diet yang kini dilarang). Ironisnya,
tindakan Badan POM ini justru dikalahkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sering kali Badan POM memang dituntut balik oleh para pelanggar karena Badan
POM tidak dilindungi oleh undang-undang. Yang memprihatinkan, penguatan
legalitas hukum yang menghambat ini sering dilakukan oleh oknum internal
Kementerian Kesehatan.
Adanya
kasus pemalsuan vaksin ini sangat diharapkan menimbulkan kesadaran kolektif
semua pihak, terutama DPR, untuk membuat undang-undang pengawasan obat dan
makanan sehingga dapat memberikan perlindungan yang efektif dan intensif kepada
masyarakat luas. Jaringan kerja sama pengawasan kepada semua pihak mesti
diperkuat untuk melindungi kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia.
oleh Sampurno
disadur dari Kompas, Rabu, 29 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar