Editors Picks

Selasa, 09 Agustus 2016

Vaksin Palsu dan Bayi Kita



Kasus vaksin palsu yang diungkapkan Badan Reserse Kriminal Polri pekan lalu sungguh mengejutkan dan meresahkan masyarakat luas. Vaksin yang dimaksudkan untuk menimbulkan kekebalan pada bayi ternyata dipalsukan dengan bahan baku yang justru berisiko pada kesehatan bayi. Proses pembuatan vaksin palsu itu sama sekali tidak steril dan oleh karena itu pasti mengandung berbagai cemaran berbahaya. 

Pemalsuan vaksin juga sangat berpotensi menimbulkan morbiditas dan kematian terutama pada bayi-bayi yang menggunakannya.

Bayi-bayi yang seharusnya memiliki kekebalan karena sudah divaksin ternyata tetap rentan karena vaksinnya palsu. Akibatnya, mereka akan jatuh sakit jika terpapar penyakit yang seharusnya bisa dilawan oleh tubuhnya.

Oleh karena itu, pemalsuan vaksin ini bukan sekadar kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra ordinary crime). Mengapa kasus pemalsuan vaksin ini bisa terjadi? Apakah kasus ini bisa terjadi pada obat lain dengan risiko yang tidak kalah besar?

Kasus pemalsuan vaksin seharusnya menjadi pembelajaran kita bersama untuk menata ulang sistem pengawasan obat di Indonesia. Jika dalam sistem pengawasan yang selama ini berlangsung tidak terjadi perbaikan yang substansial, maka probabilitas untuk terjadi kasus yang serupa akan terulang kembali, bahkan mungkin dalam skala yang lebih besar.

Vaksin palsu
Berdasarkan berbagai temuan kasus pemalsuan obat selama ini, ada satu kesamaan motif yang mendasari, yaitu harga produk yang mahal. Tidak pernah ditemukan kasus pemalsuan obat pada obat-obatan yang harganya murah seperti obat generik. Motif meraih keuntungan yang besar jelas menggoda para kriminal ini untuk memalsukan obat.

Dalam kasus vaksin palsu ini, yang dipalsu adalah hampir semua produk impor yang sangat mahal. Pengedar vaksin palsu menggoda orang-orang di bagian pembelian rumah sakit atau klinik dengan memberikan diskon sangat besar. Hal ini yang memicu dan melanggengkan pemalsuan karena terbungkus rapi oleh petugas internal.
Sebenarnya sangat ironis, pemerintah menyediakan vaksin gratis di rumah sakit pemerintah, puskesmas, bahkan di pos yandu, tetapi masih ada rumah sakit dan praktik dokter perseorangan yang memberikan vaksin impor. Jika mereka memperoleh pasokan vaksin dari sumber-sumber yang tidak resmi, apalagi mencari harga murah, maka potensi masalah yang berbahaya sungguh mengancam.

Segmen masyarakat yang menggunakan vaksin nonprogram inilah yang terkena risiko vaksin palsu. Apabila dihitung secara statistik, penggunaan vaksin impor ini diprediksi kurang dari 5 persen dari total penggunaan vaksin di Indonesia. Akan tetapi, risiko vaksin palsu ini tidak boleh dikalkulasi secara statistik. Meski hanya satu kasus, hal ini tetap harus mendapat perhatian penuh karena menyangkut keselamatan jiwa bayi.

Tata ulang sistem pengawasan
Apabila terjadi kasus-kasus pemalsuan obat seperti sekarang, publik langsung menyalahkan dan komplain kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) selaku pelaksana bidang pengawasan obat di negeri ini. Persepsi dan asumsi masyarakat ini tidak sepenuhnya salah karena Badan POM memang sangat diharapkan masyarakat luas untuk mendapatkan perlindungan.

Meski demikian, perlu ada telaahan yang jujur dan obyektif tentang bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Idealnya, semua mata rantai produksi, distribusi, dan pelayanan obat menjadi otoritas Badan POM seperti halnya Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat. Badan POM selama ini lebih banyak berkutat pada pengawasan di hulu, yaitu pada seluruh proses di industri farmasi.

Badan POM "mengobok-obok" sektor manufaktur formal ini sampai detail sekali. Akan tetapi, di sektor hilir terutama pada apotek, toko obat, dan rumah sakit, Badan POM nyaris tidak bisa melakukan apa-apa karena kewenangannya dipangkas habis. Akibatnya pada sektor hilir ini banyak simpul yang tidak diawasi, yang berpeluang terjadinya distorsi dan pelanggaran.

Sekarang ini siapa saja, kapan saja, dapat membeli obat keras (obat etikal) di apotek dan toko obat tanpa resep dokter. Ironisnya lagi, banyak dokter dan tenaga kesehatan lain membeli obat di pasar gelap, seperti di Pramuka dan Kramatjati, untuk kebutuhan self dispensing. Dalam kasus vaksin palsu ternyata terlibat Apotek Rakyat IS yang eksistensinya bisa dianggap sebagai apotek "abal-abal". Tidak ada literatur mana pun yang mendukung, juga regulasi farmasi di negara mana pun, yang memiliki konsep "apotek rakyat" dan kemudian melegalkan/memutihkan toko obat.

Dengan Permenkes Nomor 35 Tahun 2014, pembinaan dan pengawasan terhadap apotek telah dilimpahkan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, Badan POM tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengawasi apotek. Demikian juga halnya dengan Permenkes Nomor 58 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan kefarmasian di rumah sakit dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota.

Berisiko keselamatan
Padahal, kita tahu bahwa pasokan obat ke rumah sakit sebagian adalah life saving drugs atau obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa, yang berisiko tinggi terhadap keselamatan pasien apabila obat tersebut substandar, palsu, atau merupakan produk rusak.

Kasus-kasus yang tidak diinginkan yang terjadi di beberapa rumah sakit beberapa waktu lalu, dan menimbulkan kematian, adalah karena lemahnya sistem pengawasan di rumah sakit. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ini tidak substansial dan material karena mereka tidak mempunyai sumber daya manusia dan infrastruktur untuk melaksanakan pengawasan secara efektif.

Demikian juga terhadap toko obat. Semua aspek, mulai dari perizinan dan pengawasan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Selama ini hampir tidak ada penindakan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh apotek ataupun toko obat.

Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa beredarnya vaksin palsu tersebut-yang realitasnya melalui jalur ilegal-memang akibat tidak adanya pengawasan oleh Badan POM. Tetapi masyarakat dan semua pihak, termasuk DPR bahkan Kementerian Kesehatan sendiri, kemudian menganggap bahwa semua itu menjadi tanggung jawab Badan POM.

Undang-undang pengawasan
Badan POM sebagai pengawas idealnya adalah lembaga pemerintah yang mempunyai otoritas di bidang pengawasan obat dan makanan. Namun, sampai saat ini negara belum memiliki undang-undang sebagai landasan operasionalnya. Ini merupakan suatu kelemahan yang paling substansial bagi Badan POM untuk bertindak sekaligus berkekuatan hukum.

Beberapa tahun lalu Badan POM menangkap (lagi-lagi) pelanggaran dalam hal obat, yakni pencampuran jamu dengan sibutramin (obat diet yang kini dilarang). Ironisnya, tindakan Badan POM ini justru dikalahkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Sering kali Badan POM memang dituntut balik oleh para pelanggar karena Badan POM tidak dilindungi oleh undang-undang. Yang memprihatinkan, penguatan legalitas hukum yang menghambat ini sering dilakukan oleh oknum internal Kementerian Kesehatan.

Adanya kasus pemalsuan vaksin ini sangat diharapkan menimbulkan kesadaran kolektif semua pihak, terutama DPR, untuk membuat undang-undang pengawasan obat dan makanan sehingga dapat memberikan perlindungan yang efektif dan intensif kepada masyarakat luas. Jaringan kerja sama pengawasan kepada semua pihak mesti diperkuat untuk melindungi kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia.

oleh Sampurno
disadur dari Kompas, Rabu, 29 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar