Dalam
dokumen itu, terdapat 2.961 nama individu dan korporasi dari Indonesia yang
diduga turut terlibat dalam aneka malapraktik skandal keuangan rahasia. Yang
mengejutkan adalah reaksi cepat pemerintah menanggapi bocornya dokumen
tersebut. Hanya sehari setelah skandal Dokumen Panama diberitakan secara luas
oleh berbagai media massa dan elektronik pada 5 April 2016, pemerintah langsung
meresponsnya dengan menyatakan bocornya dokumen itu merupakan pintu masuk untuk
mempercepat pembahasan RUU Pengampunan Pajak.
DPR
didesak segera menyelesaikan pembahasan RUU tersebut sebelum akhir April 2016
agar sejumlah pihak yang selama ini memarkirkan dananya di luar negeri, bisa
segera menarik dananya kembali ke dalam negeri sehingga bisa menyehatkan APBN
(Kompas, 6/4/2016).
Reaksi
aneh tersebut pun langsung disambut positif ketua DPR. Dalam rapat konsultasi
antara pemerintah dan pimpinan DPR pada 15 April 2016, Presiden Joko Widodo dan
ketua DPR telah bersepakat mempercepat pembahasan RUU tersebut. Presiden Jokowi
menyatakan bahwa percepatan tersebut dimaksudkan untuk memberi keamanan dan
kenyamanan kepada para pengusaha agar membawa uang kembali ke Indonesia di luar
negeri (Kompas, 16/4/2016).
Bahkan,
pemerintah telah menyiapkan payung hukum alternatif, yaitu menerbitkan
peraturan pemerintah tentang deklarasi pajak, jika pembahasan RUU di DPR
meleset dari target waktu yang diharapkan atau gagal (Kompas, 28/4/2016).
Reaksi pemerintah ini sungguh aneh karena berlawanan dengan reaksi keras yang
ditunjukkan sejumlah kepala negara dan pemimpin pemerintahan dari negara,
seperti AS, Perancis, Inggris, Belanda, Australia, Austria, dan lainnya.
Berbeda
dengan respons Pemerintah RI yang ingin memberikan amnesti pajak, sejumlah
negara itu justru bertekad segera menginvestigasi keterlibatan para individu
dan korporasi dari negaranya yang tertera dalam Dokumen Panama. Mereka akan
memburu dan menghukum penggelap pajak jika terbukti melakukan persekongkolan
jahat dengan Mossack Fonseca.
Pertanyaan
krusialnya, mengapa pemerintah justru bersikap seperti itu? Bukankah bocornya
Dokumen Panama seharusnya menjadi pintu masuk untuk mengusut tuntas sejauh mana
keterlibatan para individu dan korporasi Indonesia dalam berbagai malapraktik
penghindaran, penggelapan dan pembocoran pajak, pencucian uang, dan
penyembunyian aset di luar negeri? Mengapa pemerintah enggan membangun kerja
sama global untuk mengusut skandal itu?
Anomali
Dari
perspektif keuangan dan auditing, reaksi ambigu pemerintah terhadap bocornya
Dokumen Panama sungguh suatu anomali karena bertentangan dengan logika teoretis
dan praktik. Sikap pemerintah yang terkesan kuat mau "melindungi dan
mengampuni" para pihak yang namanya tercantum dalam Dokumen Panama telah
menimbulkan banyak pertanyaan yang mencurigai dari rakyat Indonesia dan para
pemimpin dunia yang ingin skandal diusut tuntas.
Dikatakan
anomali karena bocornya dokumen itu seharusnya mendorong pemerintah dan DPR
menunda dan bahkan menghentikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Pemerintahan
dan DPR seharusnya bahu-membahu mengusut tuntas nama yang tertera dalam Dokumen
Panama. Selain itu, karena aneka malapraktik skandal Dokumen Panama sangat
sistematis, terstruktur, dan masif, presiden seharusnya langsung meresponsnya
dengan membentuk tim khusus untuk menginvestigasi. Presiden juga seharusnya
memanfaatkan momentum bocornya Dokumen Panama untuk membangun kolaborasi global
guna mengusut tuntas dan menghentikan aneka malapraktik skandal keuangan
rahasia internasional yang telah merugikan keuangan negara.
Kaji ulang
Pertanyaannya,
mengapa perlu dibentuk tim khusus untuk menginvestigasi? Jawabnya, karena bisa
jadi 2.961 nama individu dan korporasi Indonesia yang tertera dalam Dokumen
Panama milik Mossack Fonseca hanyalah salah satunya saja. Sangat mungkin masih
ada puluhan ribu hingga ratusan ribu nama individu dan korporasi Indonesia yang
juga melakukan aneka malapraktik serupa bekerja sama dengan firma-firma hukum
internasional lain. Nilai malapraktiknya bisa saja lebih besar dibandingkan
Dokumen Panama.
Selain
itu, bisa jadi juga tidak semua nama yang tertera dalam Dokumen Panama
melakukan kejahatan, seperti dituduhkan banyak pihak. Namun, bisa juga
sebaliknya, tidak semua individu dan korporasi yang tertera dalam Dokumen
Panama tidak melakukan kejahatan keuangan dan pajak. Dari daftar nama yang
tertera dalam Dokumen Panama, saya mengategorikannya ke dalam tiga kelompok.
Kelompok
pertama adalah para individu pebisnis dan korporasi yang memiliki relasi dan
jaringan bisnis di sejumlah negara. Untuk mempermudah kerja sama internasional
dan transaksi antarjaringan bisnisnya di sejumlah negara, kelompok ini meminta
jasa Mossack Fonseca mendirikan perusahaan cangkang di negara lain, termasuk di
negara-negara surga pajak. Secara bisnis, tindakan kelompok ini etis, wajar,
dan tidak melanggar hukum.
Kelompok
kedua, para individu dan korporasi yang mendirikan perusahaan cangkang untuk
mengelola dan mengoptimalkan nilai asetnya. Pertimbangannya, daripada
menempatkan portofolio asetnya di dalam negeri yang memiliki biaya bunga dan
administrasi serta pajak tinggi, mereka menempatkan asetnya pada perusahaan
cangkang di negara-negara surga pajak yang relatif stabil risikonya dan nyaman.
Tindakan kelompok ini juga etis dan tidak melanggar hukum.
Kelompok
ketiga, para individu dan korporasi yang mendirikan perusahaan cangkang di negara-negara
surga pajak untuk menyembunyikan aset dari hasil pencurian dan penipuan,
pencucian uang, korupsi dan penyogokan, penggelapan pajak, pembocoran pajak,
dan lainnya. Mereka umumnya pejabat dan mantan pejabat negara serta keluarga
dan kroninya, politikus, pegawai pemerintahan, pebisnis dan korporasi yang
berafiliasi dengan kepentingan politik, para pemilik dan petinggi perusahaan
penggelap pajak, dan lainnya.
Karena
termasuk tindakan kejahatan keuangan dan pajak maka penegakan dan sanksi hukum
yang berat layak diberikan kepada mereka. Mereka tak pantas mendapat amnesti
pajak. Semua aset hasil kejahatan mereka seharusnya juga disita negara.
Karena
itu, Presiden dan DPR sebaiknya mengkaji kembali upaya mempercepat pembahasan
RUU Pengampunan Pajak ataupun menerbitkan dokumen pajak untuk memberi amnesti
pajak kepada kelompok ketiga. Hal itu penting karena tindakan itu justru bisa
menjadi bumerang karena akan kian memperkuat dugaan masyarakat bahwa pemerintah
dan DPR telah berkonspirasi melindungi dan membela kepentingan para pelaku
kejahatan keuangan yang telah merugikan atau merampok keuangan negara ribuan
triliun rupiah. Presiden sebaiknya fokus mengusut tuntas skandal Dokumen Panama
dan menghukum para pihak yang terbukti melakukan kejahatan keuangan yang telah
merugikan negara.
oleh: Andreas Lako
disadur
dari Kompas, Sabtu, 28 Mei 2016
Bocornya dokumen
rahasia firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama atau biasa
disebut Panama Papers (Dokumen Panama) beberapa waktu lalu, mengguncang
dunia dan menimbulkan ketidakstabilan politik di sejumlah negara
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar