Editors Picks

Selasa, 31 Mei 2016

Harga Daging Sapi




Dalam Rapat Terbatas Persiapan Idul Fitri, di Kantor Presiden, Jakarta, 26 April 2016, Presiden Joko Widodo minta harga pangan bisa turun pada Ramadhan dan Lebaran 2016 ini. Harga daging sapi yang sekarang sekitar Rp 120.000 per kilogram diminta Presiden bisa turun di bawah Rp 80.000 per kg.

Kemungkinan besar permintaan Presiden itu sulit terpenuhi. Sebagai gambaran, pada triwulan I-2014, sebanyak 125.000 ekor sapi bakalan dan 22.500 sapi siap potong dari Australia masuk ke Indonesia akibat pembebasan kuota. Selama 2014, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, atas rekomendasi Kementerian Pertanian, memberi izin impor sebanyak 720.000 ekor sapi dari Australia. Rinciannya, 70 persen sapi bakalan untuk digemukkan dan 30 persen sapi siap potong. Padahal, pada 2013, realisasi impor sapi Indonesia hanya 262.000 ekor, dan pada 2012 sebanyak 283.000 ekor.

Dampak dari membanjirnya sapi impor ini, pada triwulan II-2014 harga sapi potong jatuh dari Rp 35.000 per kg menjadi Rp 30.000 per kg bobot hidup. Ternyata, penurunan harga sapi hidup tak berdampak terhadap harga daging sapi di pasar. Bulan Januari 2014, harga daging sapi rata-rata Rp 98.317 per kg. Bulan Februari 2014, harganya naik jadi Rp 98.975 per kg, Maret 2014 turun jadi Rp 98.477 per kg, Mei 2014 turun lagi ke Rp 97.945 per kg, dan pada Juni 2014 Rp 98.447 per kg.

Namun, dengan stok sapi potong hidup berlebih itu, pada Juli 2014 harga daging sapi nasional justru naik menjadi Rp 100.879 per kg, Agustus 2014 Rp 100.835 per kg. Bulan September, harganya turun ke Rp 99.896 per kg, tetapi pada Oktober naik lagi menjadi Rp 100.148 per kg, November 2014 turun lagi Rp 99.797 per kg, dan Desember 2014 Rp 101.411 per kg.

Sejak itu, selama 2015, harga daging sapi tak pernah turun di bawah Rp 100.000 per kg. Bahkan, pada awal 2016, harga daging sapi tembus Rp 120.000 per kg sampai sekarang. Kenaikan harga daging sapi nasional ini dipicu berbagai sebab, tetapi yang paling utama karena harga sapi hidup di pasar dunia memang naik tajam.

Sapi NTT 2014
Kenaikan harga sapi hidup ini disebabkan banyak negara yang mengalami gagal panen jagung dan kedelai sebagai pakan ternak, termasuk sapi. Gagal panen disebabkan iklim yang tak menentu akibat pengaruh pemanasan global. Awal 2014, harga daging sapi di Australia naik dari sekitar Rp 1,8 dollar AS per kg menjadi Rp 2,5 dollar AS per kg. Harga sapi bakalan di tingkat global juga merayap naik dari sekitar rata-rata 1,25 dollar AS menjadi 1,5 dollar AS per kg.

Bukan hanya sekarang Jokowi menaruh perhatian besar terhadap harga daging sapi. Pada 14 April 2014, saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia terbang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk bertemu Gubernur Frans Lebu Raya. Mereka berdua menandatangani kesepakatan kerja sama pasokan daging sapi dari NTT ke Jakarta dalam jangka waktu lima tahun dengan nilai investasi Rp 2 triliun. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi melontarkan pernyataan ke media massa, bahwa sebenarnya Indonesia tak kekurangan sapi, "Ini buktinya, di NTT banyak sekali. Tinggal masalah transportasinya saja yang harus diperbaiki." Tampaknya, Jokowi tak mendapat informasi akurat dari anak buah bahwa sudah sejak zaman Orde Baru Indonesia defisit daging sapi.

Informasi tak akurat tentang sapi juga diperoleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada 16 September 2015, saat berkunjung ke Kementerian Pertanian, ia menyatakan swasembada daging sapi harus diupayakan mulai sekarang, hingga bisa dicapai pada 2019 yang akan datang. Padahal, Presiden Soeharto juga sudah mengupayakan hal yang sama sejak 1980-an, dengan membangun pembibitan sapi unggul di Tapos, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada 2012, Direktorat Jenderal Peternakan juga telah mencanangkan program swasembada daging sapi pada 2014 melalui inseminasi buatan. Tanda-tanda swasembada yang dicanangkan belum tampak, pada 30 Januari 2013 Luthfi Hasan Ishaaq, anggota DPR, dan juga Presiden PKS, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus suap impor daging sapi.

Impor sebenarnya hanya bisa menjadi solusi jangka pendek mengatasi defisit sapi potong di negeri ini. Pada dekade 1990-an, defisit induk betina sapi potong sudah mendekati satu juta ekor. Hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan, populasi sapi potong Indonesia 14,2 juta ekor. Angka ini lebih rasional dibandingkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau pada 2011, yang mencatat populasi sapi potong Indonesia 16,7 juta ekor.

Dari total populasi sapi potong 14,2 juta ekor itu, sekitar 6,6 juta ekor merupakan sapi betina produktif. Dengan asumsi induk sapi betina beranak tiga tahun sekali, dari 6,6 juta induk produktif itu akan dihasilkan 2,2 juta anak sapi per tahun. Rasio jantan betina 50 persen-50 persen hingga kapasitas produksi sapi potong dan sapi bakalan induk masing-masing 1,1 juta ekor per tahun.

Selain mengimpor 283.000 sapi hidup, Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) mencatat, pada 2012 Indonesia mengimpor 35.000 ton daging. Dengan konversi ideal 50 persen karkas dari bobot hidup; dan rata-rata bobot sapi jantan siap potong 400 kg, maka sebanyak 35.000 ton daging yang kita impor itu setara 175.000 ekor sapi potong, hingga total impor sapi hidup untuk menutup defisit 458.000 ekor. Dengan asumsi seekor induk akan beranak tiga tahun sekali, defisit 458.000 ekor sapi potong itu setara 1.374.000 ekor induk betina. Pertanyaannya, ke mana larinya 1,1 juta ekor pedet betina yang lahir setiap tahun? Tampaknya penambahan 1,1 juta ekor bakalan betina tiap tahun hanya cukup untuk mengganti induk betina yang diafkir karena tua.

Sistem industri agro
Tingginya harga sapi di Indonesia juga disebabkan cara budidaya. Sapi feedlot modern yang kita impor 458.000 ekor hanyalah 29,4 persen dari total konsumsi sapi nasional. Sementara sapi rakyat 1,1 juta ekor atau 70,6 persen. Pembenihan (breeding farm) sapi paling murah dengan cara digembalakan, bukan dikandangkan. Namun, sebagian besar pembenihan sapi di Indonesia, terutama di Jawa, dengan cara dikandangkan. Hanya sebagian di Sumatera, NTT, dan Sulawesi pembenihan sapi dengan digembalakan di alam terbuka. Dampak dari pembenihan sapi rakyat dengan cara dikandangkan, harga sapi bakalan menjadi terlalu tinggi. Rata-rata harga sapi impor lebih murah Rp 2.500 per kg bobot hidup dibandingkan sapi rakyat. Selain karena biaya pembenihan lebih tinggi, penambahan bobot hidup per hari sapi rakyat hanya 0,5 kg, sementara sapi impor rata-rata 1 kg per hari.

Di Indonesia, struktur dan sistem industri agro juga masih timpang, termasuk industri (produksi) sapi potong, yang ditopang perusahaan feedlot besar dengan populasi puluhan ribu ekor per perusahaan; kemudian peternakan rakyat dengan populasi sapi di bawah lima ekor per peternak. Para pelaku bisnis sapi di tingkat atas yang hanya menghasilkan 29,4 persen produksi sapi potong nasional sudah tertata cukup baik. Selain Apfindo, ada juga Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Asosiasi Rumah Potong Hewan Indonesia, Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia, Asosiasi Pembibitan Sapi, Asosiasi Peternakan Indonesia (Aspeter), dan Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia. Sementara peternak rakyat yang menguasai 70,6 persen produksi sapi potong hanya terhimpun dalam kelompok peternak tak berbadan hukum.

Karena ego sektoral di tingkat kementerian, sampai sekarang pembentukan Koperasi Peternak Sapi Pedaging belum memasyarakat. Yang sudah berkembang baru Koperasi Peternak Sapi Perah. Andaikan koperasi peternak bisa terbentuk, sistem industri agro peternakan sapi potong bisa berimbang, antara perusahaan skala besar, koperasi skala menengah, dan peternak kecil yang tak tergabung dalam koperasi. Selama ini, pengusaha peternakan sapi potong skala menengah masih relatif kecil dibandingkan perusahaan besar, dan peternak rakyat. Peternakan sapi rakyat yang memasok 70,6 persen kebutuhan daging sapi nasional berbiaya on farm dan off farm sangat tinggi.

Informasi sekitar industri agro di Indonesia masih ibarat malam yang gelap gulita. Sebagian besar rakyat, bahkan Presiden dan Wakil Presiden, tak diberi informasi akurat. Presiden tentu tak perlu tahu seluk-beluk dunia persapian secara detail dan mendalam. Namun, minimal ia harus tahu bahwa sebenarnya sejak zaman Orde Baru Indonesia sudah defisit sapi potong. Defisit itu tak kunjung dibenahi karena para pengambil keputusan berharap impor berjalan terus, hingga keuntungan juga terus mengalir ke pengusaha dan pengambil keputusan. Andaikan sebelum Ramadhan dan Lebaran 2016 ini pemerintah menggelontor pasar dengan subsidi, hingga harga daging dan sapi hidup turun, peternak yang menguasai 70,6 persen produk sapi potong nasional akan menahan stok. Lalu harga akan kembali stabil pada angka di atas Rp 100.000 per kg.

oleh: F. Rahardi
disadur dari Kompas, Senin, 30 Mei 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar