Dalam
Rapat Terbatas Persiapan Idul Fitri, di Kantor Presiden, Jakarta, 26 April
2016, Presiden Joko Widodo minta harga pangan bisa turun pada Ramadhan dan
Lebaran 2016 ini. Harga daging sapi yang sekarang sekitar Rp 120.000 per
kilogram diminta Presiden bisa turun di bawah Rp 80.000 per kg.
Kemungkinan
besar permintaan Presiden itu sulit terpenuhi. Sebagai gambaran, pada triwulan
I-2014, sebanyak 125.000 ekor sapi bakalan dan 22.500 sapi siap potong dari Australia
masuk ke Indonesia akibat pembebasan kuota. Selama 2014, pemerintah melalui
Kementerian Perdagangan, atas rekomendasi Kementerian Pertanian, memberi izin
impor sebanyak 720.000 ekor sapi dari Australia. Rinciannya, 70 persen sapi
bakalan untuk digemukkan dan 30 persen sapi siap potong. Padahal, pada 2013,
realisasi impor sapi Indonesia hanya 262.000 ekor, dan pada 2012 sebanyak
283.000 ekor.
Dampak
dari membanjirnya sapi impor ini, pada triwulan II-2014 harga sapi potong jatuh
dari Rp 35.000 per kg menjadi Rp 30.000 per kg bobot hidup. Ternyata, penurunan
harga sapi hidup tak berdampak terhadap harga daging sapi di pasar. Bulan
Januari 2014, harga daging sapi rata-rata Rp 98.317 per kg. Bulan Februari
2014, harganya naik jadi Rp 98.975 per kg, Maret 2014 turun jadi Rp 98.477 per
kg, Mei 2014 turun lagi ke Rp 97.945 per kg, dan pada Juni 2014 Rp 98.447 per
kg.
Namun,
dengan stok sapi potong hidup berlebih itu, pada Juli 2014 harga daging sapi
nasional justru naik menjadi Rp 100.879 per kg, Agustus 2014 Rp 100.835 per kg.
Bulan September, harganya turun ke Rp 99.896 per kg, tetapi pada Oktober naik
lagi menjadi Rp 100.148 per kg, November 2014 turun lagi Rp 99.797 per kg, dan
Desember 2014 Rp 101.411 per kg.
Sejak
itu, selama 2015, harga daging sapi tak pernah turun di bawah Rp 100.000 per
kg. Bahkan, pada awal 2016, harga daging sapi tembus Rp 120.000 per kg sampai
sekarang. Kenaikan harga daging sapi nasional ini dipicu berbagai sebab, tetapi
yang paling utama karena harga sapi hidup di pasar dunia memang naik tajam.
Sapi NTT 2014
Kenaikan
harga sapi hidup ini disebabkan banyak negara yang mengalami gagal panen jagung
dan kedelai sebagai pakan ternak, termasuk sapi. Gagal panen disebabkan iklim
yang tak menentu akibat pengaruh pemanasan global. Awal 2014, harga daging sapi
di Australia naik dari sekitar Rp 1,8 dollar AS per kg menjadi Rp 2,5 dollar AS
per kg. Harga sapi bakalan di tingkat global juga merayap naik dari sekitar
rata-rata 1,25 dollar AS menjadi 1,5 dollar AS per kg.
Bukan
hanya sekarang Jokowi menaruh perhatian besar terhadap harga daging sapi. Pada
14 April 2014, saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia terbang ke Kupang,
Nusa Tenggara Timur, untuk bertemu Gubernur Frans Lebu Raya. Mereka berdua
menandatangani kesepakatan kerja sama pasokan daging sapi dari NTT ke Jakarta
dalam jangka waktu lima tahun dengan nilai investasi Rp 2 triliun. Dalam
kesempatan tersebut, Jokowi melontarkan pernyataan ke media massa, bahwa
sebenarnya Indonesia tak kekurangan sapi, "Ini buktinya, di NTT banyak sekali.
Tinggal masalah transportasinya saja yang harus diperbaiki." Tampaknya,
Jokowi tak mendapat informasi akurat dari anak buah bahwa sudah sejak zaman
Orde Baru Indonesia defisit daging sapi.
Informasi
tak akurat tentang sapi juga diperoleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada 16
September 2015, saat berkunjung ke Kementerian Pertanian, ia menyatakan
swasembada daging sapi harus diupayakan mulai sekarang, hingga bisa dicapai
pada 2019 yang akan datang. Padahal, Presiden Soeharto juga sudah mengupayakan
hal yang sama sejak 1980-an, dengan membangun pembibitan sapi unggul di Tapos,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada 2012, Direktorat Jenderal Peternakan juga
telah mencanangkan program swasembada daging sapi pada 2014 melalui inseminasi
buatan. Tanda-tanda swasembada yang dicanangkan belum tampak, pada 30 Januari
2013 Luthfi Hasan Ishaaq, anggota DPR, dan juga Presiden PKS, ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus suap impor daging sapi.
Impor
sebenarnya hanya bisa menjadi solusi jangka pendek mengatasi defisit sapi
potong di negeri ini. Pada dekade 1990-an, defisit induk betina sapi potong
sudah mendekati satu juta ekor. Hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan,
populasi sapi potong Indonesia 14,2 juta ekor. Angka ini lebih rasional
dibandingkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau pada 2011,
yang mencatat populasi sapi potong Indonesia 16,7 juta ekor.
Dari
total populasi sapi potong 14,2 juta ekor itu, sekitar 6,6 juta ekor merupakan
sapi betina produktif. Dengan asumsi induk sapi betina beranak tiga tahun
sekali, dari 6,6 juta induk produktif itu akan dihasilkan 2,2 juta anak sapi
per tahun. Rasio jantan betina 50 persen-50 persen hingga kapasitas produksi
sapi potong dan sapi bakalan induk masing-masing 1,1 juta ekor per tahun.
Selain
mengimpor 283.000 sapi hidup, Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) mencatat, pada 2012 Indonesia mengimpor
35.000 ton daging. Dengan konversi ideal 50 persen karkas dari bobot hidup; dan
rata-rata bobot sapi jantan siap potong 400 kg, maka sebanyak 35.000 ton daging
yang kita impor itu setara 175.000 ekor sapi potong, hingga total impor sapi
hidup untuk menutup defisit 458.000 ekor. Dengan asumsi seekor induk akan
beranak tiga tahun sekali, defisit 458.000 ekor sapi potong itu setara
1.374.000 ekor induk betina. Pertanyaannya, ke mana larinya 1,1 juta ekor pedet
betina yang lahir setiap tahun? Tampaknya penambahan 1,1 juta ekor bakalan
betina tiap tahun hanya cukup untuk mengganti induk betina yang diafkir karena
tua.
Sistem industri agro
Tingginya
harga sapi di Indonesia juga disebabkan cara budidaya. Sapi feedlot modern yang kita impor 458.000
ekor hanyalah 29,4 persen dari total konsumsi sapi nasional. Sementara sapi
rakyat 1,1 juta ekor atau 70,6 persen. Pembenihan (breeding farm) sapi paling murah dengan cara digembalakan, bukan
dikandangkan. Namun, sebagian besar pembenihan sapi di Indonesia, terutama di
Jawa, dengan cara dikandangkan. Hanya sebagian di Sumatera, NTT, dan Sulawesi
pembenihan sapi dengan digembalakan di alam terbuka. Dampak dari pembenihan
sapi rakyat dengan cara dikandangkan, harga sapi bakalan menjadi terlalu
tinggi. Rata-rata harga sapi impor lebih murah Rp 2.500 per kg bobot hidup
dibandingkan sapi rakyat. Selain karena biaya pembenihan lebih tinggi,
penambahan bobot hidup per hari sapi rakyat hanya 0,5 kg, sementara sapi impor
rata-rata 1 kg per hari.
Di
Indonesia, struktur dan sistem industri agro juga masih timpang, termasuk
industri (produksi) sapi potong, yang ditopang perusahaan feedlot besar dengan populasi puluhan ribu ekor per perusahaan;
kemudian peternakan rakyat dengan populasi sapi di bawah lima ekor per
peternak. Para pelaku bisnis sapi di tingkat atas yang hanya menghasilkan 29,4
persen produksi sapi potong nasional sudah tertata cukup baik. Selain Apfindo,
ada juga Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Asosiasi Rumah
Potong Hewan Indonesia, Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia, Asosiasi
Pembibitan Sapi, Asosiasi Peternakan Indonesia (Aspeter), dan Perhimpunan
Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia. Sementara peternak rakyat yang menguasai
70,6 persen produksi sapi potong hanya terhimpun dalam kelompok peternak tak
berbadan hukum.
Karena
ego sektoral di tingkat kementerian, sampai sekarang pembentukan Koperasi
Peternak Sapi Pedaging belum memasyarakat. Yang sudah berkembang baru Koperasi
Peternak Sapi Perah. Andaikan koperasi peternak bisa terbentuk, sistem industri
agro peternakan sapi potong bisa berimbang, antara perusahaan skala besar,
koperasi skala menengah, dan peternak kecil yang tak tergabung dalam koperasi.
Selama ini, pengusaha peternakan sapi potong skala menengah masih relatif kecil
dibandingkan perusahaan besar, dan peternak rakyat. Peternakan sapi rakyat yang
memasok 70,6 persen kebutuhan daging sapi nasional berbiaya on farm dan off farm sangat tinggi.
Informasi
sekitar industri agro di Indonesia masih ibarat malam yang gelap gulita.
Sebagian besar rakyat, bahkan Presiden dan Wakil Presiden, tak diberi informasi
akurat. Presiden tentu tak perlu tahu seluk-beluk dunia persapian secara detail
dan mendalam. Namun, minimal ia harus tahu bahwa sebenarnya sejak zaman Orde
Baru Indonesia sudah defisit sapi potong. Defisit itu tak kunjung dibenahi
karena para pengambil keputusan berharap impor berjalan terus, hingga keuntungan
juga terus mengalir ke pengusaha dan pengambil keputusan. Andaikan sebelum
Ramadhan dan Lebaran 2016 ini pemerintah menggelontor pasar dengan subsidi,
hingga harga daging dan sapi hidup turun, peternak yang menguasai 70,6 persen
produk sapi potong nasional akan menahan stok. Lalu harga akan kembali stabil
pada angka di atas Rp 100.000 per kg.
oleh:
F. Rahardi
disadur
dari Kompas, Senin, 30 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar