Editors Picks

Senin, 30 Mei 2016

RUU Tax Amnesty - Ke Mana Arah Reformasi Pajak?


Upaya reformasi pajak yang selalu dikaitkan dengan rencana kebijakan pengampunan pajak bisa jadi hanya omong kosong belaka. Gembar-gembor repatriasi untuk perbaikan makro ekonomi pun dikhawatirkan mengundang tudingan ‘sekadar polesan’. 

Tidak mengherankan, lubang risiko krisis fiskal tahun ini mengangga lebar. Tidak jauh berbeda dengan tahun lalu, lubang itu muncul karena melempemnya penerimaan di tengah nafsu berbelanja.

Keberhasilan menghadapi ‘cobaan fiskal’ tahun lalu, seakan membuat pemerintah tetap ‘pede’ mampu selamat juga tahun ini. Buktinya, Otoritas Fiskal memberi sinyal tidak akan memangkas target pajak nonmigas yang ditetapkan naik 30,4% dari realisasi tahun lalu.
Tahun lalu, untuk pertama kalinya penerimaan yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak (DJP) tembus Rp1.000 triliun, tepatnya sekitar Rp1.011,2 triliun. Namun, angka tersebut hanya sekitar 81,2% dari target Rp1.244,7 triliun.

Angka itu sesuai dengan perkiraan Sigit Priadi Pramudito saat memutuskan mundur dari kursi DJP-1. Terlepas dari hal-hal lainnya, saat mundur, Sigit mengaku tidak mampu mencapai skenario worst case penerimaan sebesar 85% dari target. Hasil hitungannya, penerimaan hanya akan mencapai 80%-82%.

Walaupun demikian fiskal diklaim tetap aman. Nyatanya, ketar-ketir jelang akhir tahun yang diikuti ancang-ancang melebarkan defisit anggaran hingga 2,8% terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak terjadi.

Belanja pemerintah tidak tinggi. Total belanja tercatat Rp1.796,6 triliun atau 90,5% dari pagu Rp1.984,1 triliun. Alhasil, defisit hanya sekitar 2,53% terhadap PDB. Pembiayaan yang sudah digencarkan jelang akhir tahun justru menyisakan Silpa Rp26,1 triliun.

Alhasil, stimulus fiskal untuk ekonomi masih terhitung minim. Di saat yang bersamaan, kinerja ekspor terkoreksi turun, konsumsi masyarakat lemah, dan investasi tidak terlalu istimewa. Akumulasi kondisi itu menorehkan perlambatan ekonomi di level 4,8%.

Bagaimana dengan tahun ini? Menjelang penyerahan draf RAPBN Perubahan 2016, upaya pemangkasan anggaran belanja pun sudah mulai terjadi. Lagu lama ‘tidak bisa dieksekusinya proyek tahun ini dan adanya penghematan’ muncul. Jika ini yang terus terjadi, jelas, ada masalah yang tidak beres dari sisi perencanaan.

Dari target penerimaan, berulang kali Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan masih ada tax amnesty yang menjadi ‘juru selamat’. Dengan balutan argumentasi adanya aliran dana repatriasi dan makro ekonomi, publik diyakinkan.

Namun sayang, rentetan risiko fiskal yang mengangga itu lebih besar dan butuh jalan keluar cepat. Masuknya draf revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan – yang menjadi simbol reformasi pajak – belakangan toh juga terjadi setelah ada desakan anggota dewan.

Wakil Pemerintah
Bermula dari kabar situasi terkini dari rapat tertutup panitia kerja (panja) RUU Pengampunan Pajak yang menyatakan adanya pergantian posisi ketua dari perwakilan pemerintah. Posisi yang awalnya diduduki Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi diganti Sekjen Kemenkeu Hadiyanto.

Sumber Bisnis dari internal panja mengatakan pergantian posisi itu dilakukan saat rapat panja hari ke-2 pada Selasa (24/5). Rapat pertama pada Senin (23/5), Ken masih memimpin panja perwakilan pemerintah.

Kondisi ini dijawab Menkeu karena ada kebutuhan orang yang mengerti hukum. Sementara Ken justru mengatakan dari awal memang Sekjen yang menjadi ketua panja. “Saya wakilnya. Dari dulu kan sekjen. Harus sekjen. Semua undang-undang ketuanya kan mesti sekjen. Kok diganti kenapa, enggak diganti. Saya juga hadir terus,” tuturnya. (Bisnis, 28/5).
Dari beberapa sumber dari internal pemerintah yang dimintai informasi, mayoritas kompak mengatakan pergantian itu karena Ken telat datang rapat sehingga DPR marah karena merasa diremehkan dan tidak proaktif.

Ternyata, tidak cukup sampai di sana. Sumber lain yang berhasil ditemui akhir pekan lalu mengungkapkan pergantian posisi itu dikarenakan anggota dewan naik pitam dengan pernyataan sang DJP-1 setelah terlambat datang rapat Selasa (24/5).

“Sudah, ini kan Komisi XI DPR, ketok saja sudah. Ini masing-masing saya kasih 10 WP besar. Sudah ketok saja,” ujarnya saat menirukan pernyataan Ken. Sontak pernyataan Ken tersebut membuat beberapa anggota DPR kurang berkenan dan langsung meminta jadwal bertemu dengan menkeu untuk mengganti posisi ketua panja perwakilan pemerintah.
Hingga pembahasan awal pekan lalu, menurut sumber Bisnis lainnya, tidak ada kecocokan antara naskah akademik dengan isi RUU. Dia menyebut seluruh hal yang dijanjikan dibungkus tidak sesuai dengan isinya.

Bahkan, dia menyebut Ken justru menyebut kepentingan RUU ini hanya untuk WP, bukan negera secara keseluruhan. Dia pun percaya diri tidak akan adanya potensi ajuan yudisial review jika RUU disahkan karena masa berlaku kurang dari setahun. 

Pernyataan Ken menyiratkan sudah dipegangnya beberapa WP calon peserta tax amnesty. Bisa jadi, dari sanalah muncul celah moral hazard yang dimanfaatkan. Ini pun terkonfirmasi masih terkontraksinya penerimaan pajak hingga April dan pernyataan Menkeu karena ‘saling menunggu’ UU.

“Bahaya, moral hazard besar. Bisa saja WP itu sudah ngasih DP yang masuk ke kantong oknum sambil nunggu pengesahan UU,” timpal sumber Bisnis lainnya.

Ya, memang ada juga potensi ‘masuk angin’-nya anggota dewan setelah mendengar penyataan Ken. Bagaimana tidak, sikap tersebut menjadi peluang bagi mereka karena selama ini ‘madu’ itu tidak menetes  dari kursi pimpinan dewan.

Jika situasi ini tetap jalan, reformasi pajak pun berisiko tinggal kenangan dan hanya isapan jempol belaka. Bagaimana tidak, RUU yang belum matang akan berpotensi dikebut tanpa substansi dan arah yang jelas. Apalagi, rancangan payung hukum itu masih banyak celah.

Sayangnya, jika mayoritas anggota panja sudah ‘masuk angin’, langkah-langkah untuk kepentingan jangka pendek yang akan diambil. Apalagi, hingga saat ini, tarif tebusan masih menjadi ‘komoditas’ yang menarik untuk menjadi ‘barang dagangan’.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, pada tiga bulan pertama, pemerintah mengusulkan tarif tebusan 5% untuk repatriasi dan 10% untuk WP yang hanya mendeklarasikan hartanya. Tiga bulan berikutnya, tarif menjadi 7% untuk WP yang repatriasi dan 15% untuk WP yang hanya mendeklarasikan hartanya.

Jika benar RUU ini untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, seharusnya semua Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tiap fraksi dibuka. Selain itu, rapat panja terbuka untuk publik. Agar publik bisa langsung mengawal pembahasan. Jika tidak, ya, biar publik yang juga menilainya.

oleh: Kurniawan A. Wicaksono
disadur dari Bisnis, Senin, 30 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar