Editors Picks
Senin, 30 Mei 2016
Geliat Crowdfunding - Sedia Payung Sebelum ‘Hujan’
Praktik penggalangan dana publik untuk memodali suatu proyek melalui Internet atau crowdfunding kian menjamur. Namun, belum ada kejelasan payung hukum guna memberikan kepastian usaha dan perlindungan bagi konsumen.
Sejauh ini, otoritas telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan N0. 35/POJK.05/2015 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Modal Ventura, yang mengatur kontrak investasi bersama dalam wujud dana ventura (venture fund) yang sejak akhir 2015 dapat dilakukan pelaku modal ventura.
Kontrak itu dinilai serupa dengan pemanfaatan urun dana yang sudah menggeliat sejak 2012, tetapi belum secara spesifik memberikan kepastian bagi eksistensi crowdfunding.
Direktur PT Ventura Giant Asia Rimawan Yasin menjelaskan crowd funding sebenarnya merupakan salah satu wujud dari sharing economy yang diyakini menjadi model utama bagi pengembangan bisnis inovatif pada masa depan.
“Indonesia mesti mempersiapkan diri untuk menghadapi perkembangan sistem pendanaan itu dengan menyiapkan aturan yang memadai,” ungkapnya kepada Bisnis, Minggu (29/5).
Rimawan mengakui saat ini pelaku modal ventura, khususnya yang fokus di bidang financial tech nology atau fintech, sudah memanfaatkan crowd funding.
Sis tem pendanaan itu tidak jauh berbeda dengan pola alternatif yang dijalankan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk membiayai produksi sejumlah film pendek. Akan tetapi, skema pendanaan itu dinilai cukup berbeda, terutama ter kait besar nominal dana dan pihak yang terlibat di dalamnya.
BPPT, misalnya, membuka kesempatan kepada seluruh pihak yang berniat ikut serta dalam pendanaan produksi dengan nominal yang relatif kecil. Sementara itu, modal ventura di bidang fintech seringkali menghimpun dana yang relatif sangat besar dari sekumpulan investor terbatas (limited partner).
“BPPT sudah menjalankan dengan nominal kecil, misalnya, Rp100.000 dan itu sebenarnya sulit untuk dikontrol dan return-nya juga berapa. Kalau di fintech, satu institusi atau juga individu, bisa sekitar US$5 juta,” kata Rimawan yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia.
Rimawan menambahkan kehadiran payung hukum bagi sistem pendanaan harus direalisasikan secepatnya guna memper jelas sumber pendanaan yang dimanfaatkan bagi pengembangan startup. Di sisi lain, jelasnya, aturan dari OJK dan pemerintah akan memberikan jaminan perlindungan bagi akumulasi dana yang dihimpun limited partner.
“Sekarang dengan adanya PPATK keluar masuk aliran dana harus dimonitor, source of fund apakah benar dari hasil usaha atau crime.”
Sementara itu, Managing Partner Ideosource, perusahaan investasi dan modal ventura yang menjalankan program inkubasi startup, Edward Ismawan Chamdani, mengungkapkan payung hukum akan memberikan kepastian bagi investor yang ingin memberikan modal kepada perusahaan rintisan. Di samping itu, ungkapnya, payung hukum itu diharapkan dapat memberikan kejelasan kepada modal ventura atau fintech di hadapan layanan jasa keuangan lain.
“Perlu dilihat aspek fairness dengan layanan jasa lain seperti perbankan dan multifinance. Ini bukan alternatif yang mematikan layanan yang lain.”
Sementara itu, Teguh Basuki Ariwibowo, Direktur Utama PT Kode Morse Indonesia yang menjalankan pinjam.co.id, mengatakan meski pemain fintech semakin tumbuh, peluang dari sektor keuangan Indonesia masih sangat besar.
Dari data Bank Dunia di 2014, baru 36% masyarakat Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal.
Chief Operating Officer Modalku Iwan Kurniawan menambahkan minat para pelaku usaha kecil, menengah untuk bisa mendapatkan akses pembiayaan dari fintech juga terus naik.
Khawatir Dipersulit
Pandangan berbeda muncul dari Chief Communication Officer PT Sembilan Matahari, Sofyana Ali Bin diar, yang mengaku khawatir jika kemudian diterbitkan regulasi yang mengatur soal crowdfunding tersebut, justru akan mempersulit dan membatasi.
“Sejauh ini nyaman-nyaman saja. Regulasi yang mengatur itu , perlu enggak perlu. Sering kali jika regulasi itu hadir, membatasi dan menyulitkan, misalnya soal urusan harus ada pajak, dan sebagainya,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (29/5).
Sembilan Matahari sebagai sebuah studio kreatif di Kota Bandung, untuk sejumlah proyek kreatif yang diproduksinya di antaranya video mapping dan film layar lebar yang tengah dalam tahap praproduksi, cukup terbantu dengan pembiayaan dari crowdfunding.
Firdaus Djaelani, Kepala Ek sekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, mengatakan otoritas akan mengatur aktifitas para pengelola fintech ini. Namun, aturan yang di rancang lebih kepada perlindungan dan kepastian konsumen.
Menurut dia, otoritas tidak ingin kreativitas para anak muda ini terhambat. Meski begitu, Firdaus tidak menyebutkan kapan aturan bagi para fintech ini rampung. Dia mengatakan otoritas ingin sesegera mungkin aturan dapat rampung. “Mudah-mudahan tahun ini,” kata dia tanpa menyebutkan tenggat lebih rinci.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Edi Setiady menyatakan payung hukum memuat ketentuan batas minimum modal, penggunaan teknologi, keamanan operasional, sumber daya manusia, serta pengelolaan manajemen resiko.
Selain itu, untuk memperkuat landasan operasional bisnis dan menjamin perlindungan konsumen, OJK juga akan mewajibkan adanya pengajuan izin pendirian perusahaan fintech.
disadur dari Bisnis, Senin, 30 Mei 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar