Editors Picks

Senin, 30 Mei 2016

Dampak Negatif Inovasi Disruptif


Banyak kalangan menyebutnya dengan istilah sharing economy, namun ada pula yang menyebutnya sebagai inovasi disruptif. Disebut disruptif, karena kehadirannya bukan sekadar menjadi pesaing dari industri atau bisnis yang telah ada, tetapi bahkan mengganggu dan kemudian mematikan.

Di industri media, gangguan tersebut mulanya berbentuk jurnalisme warga atau citizen journalism. Semua orang bisa menulis apa saja melalui media yang resmi atau media individu yang disebut blog, tanpa disiplin verifikasi atas fakta yang disampaikan.
Ini kemudian berdampak pada cara kerja media konvensional, yang ternyata tidak hanya pada cara mendapatkan, mengelola dan menyebarluaskan konten, tetapi juga berdampak pada bagaimana cara pengelolaan iklan yang sebenarnya adalah intisari dari sumber pendapatan media.

Dampaknya pun jelas, tahun lalu, beberapa outlet media di Indonesia-juga dunia-satu per satu gulung tikar karena kehilangan pembaca dan pendapatan iklan.
Sekadar gambaran, data yang kerap dikutip harian ini dari Kemenkominfo, iklan digital di Indonesia tahun lalu mencapai US$830 juta atau sekitar Rp10 triliun, tetapi tidak banyak bahkan sedikit sekali yang dinikmati sebagai kue pendapatan publisher atau penerbit media asli Indonesia.

Pasalnya, 70% dari kue iklan tersebut pergi kepada dua perusahaan digital global (Google dan Facebook), dan yang mampir ke media digital Indonesia tak lebih dari 5% karena selebihnya masuk ke Youtube, Twitter, Line, dan banyak lainnya lagi.
Setelah media, belakangan ramai dan berujung demo massal karena bisnis transportasi pun mulai merasakan akibat dari inovasi disruptif setelah munculnya Uber, Grab Taxi dan Go-jek. Mereka adalah operator bisnis layanan transportasi –taksi dan ojek—berbasis aplikasi Internet.
Sebelumnya bahkan banyak agen ticketing pesawat terbang yang kelimpungan karena kue bisnisnya diambil alih oleh penyedia layanan penjulan tiket berbasis online yang marak sejak tahun lalu. Bisnis ritel konvensional pun serupa, dan terkena terpaan dampak bisnis e-commerce yang kini marak di Tanah Air.

Lalu kini, tak dapat dipungkiri, fenomena crowd funding dan crowd financing mulai mencuat ke permukaan.

Bisnis perbankan pun, pada akhirnya, tak luput dari serbuan dampak inovasi disruptif tersebut. Kalau pada masa lalu muncul istilah shadow banking, atau praktik bisnis mirip perbankan yang menjalankan usaha tidak resmi dan tanpa izin otoritas, kini praktik crowd funding dan crowd financing kian marak.

Intinya, terdapat fungsi intermediasi, yakni mengumpulkan dana masyarakat (crowd funding) dan membiayai usaha kepada nasabah atau pihak yang membutuhkan (crowd financing), melalui media aplikasi berbasis Internet.

Sayangnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun pemerintah belum melakukan tindakan apa pun, setidaknya untuk melakukan upaya penertiban. Ini mengingat, pengumpulan dana masyarakat membawa konsekuensi dan risiko bagi instabilitas ekonomi, manakala terjadi moral hazard apalagi fraud.

Itulah yang menjelaskan, mengapa bisnis perbankan adalah bisnis yang sangat diawasi dengan berbagai aturan yang ketat alias high-regulated. Sebaliknya, praktik pengumpulan dana masyarakat melalui mekanisme crowd funding dan financing tersebut relatif tak tersentuh regulasi dan pengawasan dari otoritas keuangan.

Inilah yang menjadi keprihatinan kita. Kita tidak ingin, kemudahan bagi masyarakat mengakses aktivitas keuangan melalui aplikasi berbasis Internet ini justru berpeluang menumbuh-suburkan shadow banking atau investasi bodong yang kerap membawa korban seperti masa lalu.

Harian ini tentu mendukung sepenuhnya inovasi yang berdampak positif bagi kenyamanan konsumen, nilai tambah ekonomi dan kemudahan arus barang maupun jasa. Namun demikian, inovasi tersebut seyogianya memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat, sekaligus memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.

Oleh sebab itu, kita patut pula mengingatkan, jangan sampai kemajuan teknologi tersebut justru menimbulkan dampak negatif, seperti kondisi ketidakadilan dan risiko pelarian nilai tambah ke luar negeri. Hal ini tentu patut kita waspadai.

Ini adalah tugas dan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah. Kejelian dan kecekatan pemerintah untuk mempelajari, kemudian melakukan tindakan-tindakan yang perlu guna mencegah dampak yang tidak diharapkan di kemudian hari, sungguh kita harapkan.

Jangan sampai datangnya kesadaran saat semuanya sudah terlambat. Kita tidak ingin, perekonomian kita masuk perangkap kemajuan teknologi yang justru memberi manfaat lebih besar bagi pihak lain, bukan untuk kepentingan nasional.

disadur dari Bisnis, Senin, 30 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar