”Penegak hukum, terutama kejaksaan, memang menjadi garda depan pemberantasan korupsi. Namun, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum ini harus diwujudkan dengan tepat, efektif, dan mendukung program pembangunan nasional,” ujar Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-55 di Lapangan Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (22/7/2015).
(Baca Kompas cetak : Program Jangan Dihambat *Pejabat Daerah Tak Perlu Takut Ambil Keputusan)
"Penegak hukum tidak boleh gaduh. Bukan berarti tidak boleh memberantas korupsi, tangkap silakan, tapi nggak perlu gaduh," kata Menkopolkam Luhut B Pandjaitan saat silaturahmi dengan Forum Pemred di Jakarta, Selasa (1/9/2015).
(Baca : Tidak Ingin Gaduh, Jaksa Agung Pastikan Korpsnya Akan Bekerja dalam Senyap)
"Pemberantasan korupsi bukan hanya di level makro, tetapi juga di level yang lebih konkret, yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada acara Peringatan 17 Tahun Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (4/8/2015), di Jakarta.
(Baca Kompas Cetak : Pemerintah Dorong Upaya yang Berdampak Langsung)
“Kalau berjalan dengan baik, orientasinya untuk memperlancar program-program pembangunan dalam rangka pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik, maka kita tidak akan dipidanakan," kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi.
(Baca laman www.menpan.go.id : PP tentang sanksi administratif segera terbit)
Apa benang merah dari pernyataan-pernyataan itu?
Pemerintahan Jokowi seolah menyampaikan pesan, bahwa di negeri ini, pembangunan ekonomi adalah panglimanya. Artinya, jika program pembangunan ekonomi terhambat, maka hambatan itu, apapun bentuknya harus disingkirkan. Termasuk apabila penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang tanpa kompromi telah membuat gaduh sehingga mengganggu stabilitas dan program pembangunan, maka itu pun harus ditertibkan. Jadi, di sini dan saat ini, hukum bukan lagi panglima. Hukum bahkan harus rela digadaikan demi kepentingan ekonomi.Apa saja buktinya pemerintahan Jokowi lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang penegakan hukum? Sekurangnya terdapat empat kebijakan dan peristiwa yang menunjukkan hal tersebut.
Pertama, legalisasi penggunaan Dana Operasional Menteri atau DOM untuk kepentingan pribadi menteri
Pada akhir tahun 2014, Pemerintahan Jokowi melalui Menteri Keuangan mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2006 tentang Dana Operasional Menteri atau Pejabat Setingkat Menteri, dan menggantinya dengan Peraturan baru yakni Permenkeu Nomor 268/PMK.05/2014 Tentang tata Cara pelaksanaan Anggaran Dana Operasional Menteri/Pimpinan Lembaga yang berlaku mulai tahun 2015.
Ada perbedaan signifikan dari kedua peraturan tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2006, pada pasal 2 ayat 3 tertulis: Dana Operasional Menteri/Pejabat setingkat Menteri digunakan berdasarkan pertimbangan kebijakan/diskresi Menteri/Pejabat setingkat Menteri dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi, dan tidak untuk keperluan pribadi yang tidak berkaitan dengan kebutuhan dinas atau jabatan.
Sementara, pada Pasal 3 ayat 1 Permenkeu Nomor 268/PMK.05/2014 tertulis bahwa Penggunaan DOM dilaksanakan secara fleksibel dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran serta prinsip efektif dan efisien. Selanjutnya ayat 2–nya berbunyi : Penggunaan Dana Operasional untuk Menteri/Pimpinan Lembaga didasarkan atas pertimbangan diskresi Menteri/Pimpinan Lembaga dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sebesar 80 persen diberikan secara lumpsum kepada Menteri/Pimpinan Lembaga; dan
b. sebesar 20 persen untuk dukungan operasional lainnya.
Dalam Permenkeu yang baru ternyata tidak ditemukan lagi frasa “tidak untuk keperluan pribadi” seperti dalam aturan yang lama. Artinya penggunaan DOM untuk kepentingan pribadi boleh-boleh saja sepanjang patut dan wajar.
Apa yang menjadi latar belakang perubahan peraturan tersebut? Dua menteri pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni Suryadharma Ali selaku menteri Agama dan Jero Wacik selaku menteri Kebudayaan dan Pariwisata divonis bersalah melakukan korupsi karena menyalahgunakan DOM untuk kepentingan pribadi. Saat memvonis keduanya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta masih mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2006 mengingat aturan tersebutlah yang berlaku saat perkara terjadi.
Agar kejadian serupa tidak terulang, maka diterbitkanlah aturan baru Permenkeu Nomor 268/PMK.05/2014. Permenkeu baru tersebut tersebut jelas memperbolehkan praktik seperti yang dilakukan Jero dan Suryadharma yakni menggunakan uang DOM untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Dengan kata lain, Permenkeu Nomor 268/PMK.05/2014 telah melegalisasi praktik-praktik yang dianggap korupsi oleh KPK. Uang DOM kini tak ubahnya seperti uang gaji atau tunjangan menteri.
Pemerintah tentu ingin bekerja dengan tenang mencapai target-target pembangunan, tanpa khawatir akan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK gara-gara penggunaan DOM.
Penetapan menteri aktif sebagai tersangka mungkin dianggap hanya membuat gaduh dan mengganggu jalannya roda pembangunan.
Pemerintahan Jokowi melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tengah menggodok dua rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Kedua RPP itu adalah RPP Sanksi Administratif dan RPP Tata Cara Pengembalian Kerugian Negara.
Dengan aturan ini, dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat tak bisa diperiksa oleh aparat penegak hukum sebelum inspektorat tuntas melakukan pemeriksaan. Jika inspektorat menilai pelanggaran bersifat administratif, hasil pemeriksaan diserahkan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) setempat untuk ditindaklanjuti. Apabila inspektorat menilai ada unsur pidana, barulah hasil pemeriksaan diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses lebih lanjut.
RPP tersebut jelas akan membuat pejabat kementerian/lembaga dan pemerintah daerah seolah menjadi kebal hukum.
Sebab, pengawasan oleh inspektorat kurang bisa diandalkan, apalagi
jika memeriksa pucuk pimpinan yang notabene adalah atasan atau kolega
mereka. Apalagi selama ini, jarang sekali inspektorat melaporkan tindak pidana yang dilakukan direktur jenderal atau menteri. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi bagian dari sistem korup di lembaga bersangkutan. Selain itu, aturan itu menegaskan, seorang pejabat negara bisa melakukan diskresi atau mengambil suatu kebijakan. Apabila di kemudian hari kebijakan yang diambil
itu dianggap merugikan keuangan negara, hal tersebut tidak otomatis
merupakan tindak pidana.
Jika kebijakan tersebut dinilai memberi manfaat
ekonomi yang lebih luas dan tidak ada motif dari pejabat bersangkutan
melakukan kejahatan, maka pejabat tersebut tidak akan diseret ke
pengadilan.
Kalaupun, pejabat tersebut dianggap melakukan kesalahan, maka itu masuk kategori pelanggaran administratif, bukan pidana. Karena itu, sanksinya juga bersifat administratif semisal dicopot dari jabatan dan sejenisnya. Dalam kasus yang ada kerugian negaranya, maka
pejabat bersangkutan cukup mengembalikan kerugian negara tersebut
sehingga tidak perlu mendekam dalam bui.
Upaya pemberantasan korupsi selama ini memang telah membuat takut para pejabat anggaran untuk menggunakan anggarannya. Dampaknya, banyak anggaran pemerintah yang tidak terpakai alias daya serapnya rendah. Padahal, anggaran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menstimulus perekonomian.
Karena itulah, upaya penegak hukum dalam memberantas korupsi kemudian dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat mandeg pertumbuhan ekonomi.
Gencarnya pemberantasan korupsi oleh KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian dalam beberapa tahun terakhir memang akan membuat pejabat birokrasi bergidik. Berdasarkan riset ICW, dibandingkan sektor lainnya, sektor pengadaan barang dan jasa terkait infrastruktur merupakan perkara korupsi yang paling banyak muncul pada tahun 2015. Jumlahnya mencapai 45 persen dari total kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2015.
Khusus kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jenis perkara pengadaan barang dan jasa hingga akhir April 2016 mencapai 148 kasus atau yang terbesar kedua setelah kasus penyuapan sebanyak 234 kasus. Dari total perkara korupsi yang disidik KPK sebanyak 485 kasus, persentase jenis perkara pengadaan barang dan jasa mencapai 30,5 persen.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kongkalikong dalam pengadaan barang dan jasa seolah telah membudaya dalam birokrasi pemerintah. Meskipun saat ini sistem pengadaan telah menggunakan sistem elektronik, tetap saja rekayasa tender terjadi. Hampir seluruh dakwaan kasus pengadaan barang dan jasa yang diajukan ke pengadilan, dinyatakan terbukti oleh majelis hakim. Hanya satu-dua terdakwa yang dibebaskan. Artinya, anggapan bahwa kerap terjadi kriminalisasi oleh penegak hukum terhadap proses pengadaan barang dan jasa tidak sepenuhnya benar.
Sebab, dalam praktik hukum pidana di Indonesia, kesalahan dalam bentuk kelalaian, kurang hati-hati, atau kealpaan yang tergolong berat masuk kategori pidana. Pemeriksaan di pengadilan juga menunjukkan, pejabat hampir selalu terlibat dalam korupsi pengadaan barang dan jasa meskipun tidak ada bukti yang bersangkutan mendapatkan keuntungan pribadi.
Ketiga, rencana revisi UU KPK
Pemerintahan Jokowi melalui Kementerian Hukum dan HAM beberapa waktu lalu getol ingin membahas revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, meskipun kemudian, atas desakan masyarakat, langkah ini ditunda. Banyak pihak menilai revisi UU KPK akan dipakai sebagai pintu masuk untuk melemahkan KPK, yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.
Sebab, dalam Rancangan Undang-Undang KPK yang sedianya akan dibahas, terdapat pasal yang mematok usia KPK hanya 12 tahun sejak RUU tersebut diundangkan.
Selain itu, kewenangan penyadapan KPK dihambat dan kewenangan penuntutan dihapuskan.
KPK juga diperbolehkan untuk menghentikan perkara yang berarti akan membuka ruang pengampunan koruptor. Pendek kata, taring KPK yang selama ini tajam coba ditumpulkan. KPK ke depan dirancang tak lebih dari sekadar lembaga pencegahan korupsi.
Penyelenggara negara, sebagai salah satu objek yang diawasi KPK, wajar saja merasa gerah dengan aksi-aksi KPK yang tanpa kompromi dan tidak bisa dikontrol. Sebab, selama kurun 2004-2015, KPK telah memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/wali kota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I, II, dan III.
Di satu sisi, aksi-aksi tangkap tangan dan “Jumat Keramat” KPK yang diliput besar-besaran oleh media, bisa saja dianggap hanya menimbulkan kegaduhan serta mengganggu stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang sedang berjalan. Energi bangsa seolah tersedot untuk membicarakan OTT KPK yang biasanya mengarah pada tokoh-tokoh “high profile” di negeri ini. Apalagi, aksi-aksi KPK tersebut tidak memberikan manfaat secara langsung dan seketika terhadap perekonomian.
Penetapan tersangka terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar atau Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng misalnya tentu tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat. Namun, jangan lupa, pemberantasan korupsi oleh KPK akan menjadi fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi ke depan secara berkesinambungan. Sebab yang diberantas oleh KPK adalah esensi korupsi di Indonesia yakni korupsi politik.
Arnold J Heidenheimer dalam bukunya "Political Corruption" menggambarkan korupsi politik sebagai korupsi yang dilakukan aktor-aktor politik di eksekutif maupun legislatif dengan menggunakan kekuasannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok politiknya. Di Indonesia, korupsi politik berkaitan dengan patronage democracy, yakni hubungan antara orang yang memegang jabatan politik dengan orang yang memiliki kekayaan dan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis memberikan dana kepada pejabat publik agar menggunakan wewenang dan pengaruhnya untuk menguntungkan pelaku bisnis. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, korupsi politik menjadi sumber dari segala korupsi.
Pemerintahan Jokowi melalui Kementerian Keuangan, kini sedang menggodok RUU Tax Amnesty atau pengampunan pajak bersama DPR. Pemerintah sangat mengharapkan RUU Tax Amnesty dapat disahkan karena pendapatan pajak diperkirakan akan bertambah Rp 70 – 100 triliun jika itu diberlakukan.
RUU Tax Amnesty makin mendesak karena hingga triwulan I 2016, penerimaan pajak masih sangat rendah. Bahkan, dari target pendapatan pajak 2016 sebesar Rp 1.360,2 triliun, diperkirakan akan meleset sekitar Rp 290 triliun. Tanpa penerimaan pajak yang memadai, rencana pembangunan infrastruktur yang dialokasikan sebesar Rp 313,5 triliun bakal tidak tercapai. Pemerintahan Jokowi tentu tak ingin pembangunan infrastruktur meleset lagi seperti tahun 2015. Sebab, infrastruktur merupakan program prioritas Jokowi dan pertaruhan reputasinya di mata rakyat.
Karena itulah, berbagai upaya ditempuh termasuk menambah utang dan menerapkan tax amnesty. Menurut Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia Reza Syawawi, seperti dalam tulisannya di harian Kompas (16/4/2016)RUU Pengampunan Pajak berpotensi mengeliminasi atau meniadakan fungsi UU lain khususnya yang terkait dengan tindak pidana.
Di dalam RUU ini sangat gamblang dijelaskan bahwa pengampunan pajak adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan. Ketentuan ini tentu saja akan berpotensi bertentangan dengan beberapa UU, seperti UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang, tindak pidana lain yang berkaitan dengan sektor pajak.
Dalam konteks ini, timbul perbedaan perlakuan negara terhadap subyek hukum tertentu ketika berhadapan dengan hukum. Bagi yang memiliki uang, mereka dengan mudah membayarkan sejumlah uang dan terbebas dari proses hukum. Padahal, menurut prinsip hukum yang dianut konstitusi, persamaan kedudukan di dalam hukum adalah hal yang mutlak dipenuhi terhadap semua warga negara.
Perbedaan perlakuan ini juga dengan sendirinya akan menciptakan ketidakpastian hukum di dalam masyarakat. Lagipula, berdasarkan riset PPATK, penggelapan pajak sangat terkait erat dengan tindak pidana pencucian uang. Pajak yang dikemplang atau digelapkan tentu saja
tidak hanya disimpan di bawah bantal, melainkan disimpan di bank atau
diinvestasikan dalam berbagai instrumen pasar uang dan pasar modal.
Kemungkinan juga akan diinvestasikan di sektor riil, semisal membangun pabrik. Nah, dalam UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU), penempatan uang hasil tindak pidana,
termasuk kejahatan perpajakan, masuk kategori pencucian uang. Koordinator Transparansi International Indonesia
Dadang Trisasongko mengatakan, pengampunan nasional atau amnesty
biasanya dilakukan dalam situasi di mana sistem penegakan hukum negara
bersangkutan sangat kuat sehingga ada dorongan kuat bagi para penjahat
untuk mengakui kesalahan dan meminta ampunan mengingat cepat atau lambat
kejahatannya pasti akan tercium.
“Sebaliknya, jika pengampunan nasional
diterapkan pada negara yang penegakan hukumnya lemah, maka hanya akan
menyuburkan praktik impunitas terhadap para pengemplang pajak, membuat
mereka kemudian ketagihan untuk minta pengampunan serta menjadi ladang
korupsi berupa kongkalikong dalam menentukan mana yang bisa diampuni dan
mana yang tidak,” kata Dadang.
Pemerintah berkilah tidak hanya konglomerat yang bisa memanfaatkan tax amnesty. Pelaku usaha kecil menengah (UKM), pedagang ritel, pedagang pasar, dan pelaku usaha kecil lainnya di dalam negeri juga dapat mengajukan pengampunan pajak. Namun pertanyaannya, apakah pajak yang diterima dari pengampunan pajak UKM bernilai signifikan? Tentu saja, sebagian besar dana tax amnesty akan berasal dari konglomerat dan pengusaha kakap yang menyimpan dananya di luar negeri.
Apresiasi
Kita semua tentu saja mengapresiasi komitmen dan kerja keras pemerintahan Jokowi mendorong perekonomian demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Langkah berani Jokowi mengubah wajah APBN menjadi lebih produktif, dengan mengalokasikan lebih banyak belanja untuk pembangunan infrastruktur adalah langkah brilian.
Kita ingat, tahun 2015, anggaran infrastruktur dipatok sebesar Rp 290,3 triliun, yang merupakan anggaran infrastruktur tahunan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tahun 2016, nilainya malah lebih besar lagi mencapai Rp 313,5 triliun. Benar, tanpa infrastruktur yang memadai, pertumbuhan Indonesia tak bisa lebih tinggi dari 5 – 6 persen. Jika Indonesia ingin menjadi negara maju dengan pertumbuhan 7 – 8 persen, pembangunan infrastruktur merupakan hal mutlak yang harus dibangun.
Kita juga mengapresiasi, keinginan pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan ke level 9 persen pada akhir 2016 dari 10,3 persen pada tahun 2015. Juga gini ratio atau rasio kesenjangan pendapatan ke posisi 0,39 persen dari sebelumnya 0,4 persen.
Belanja APBN yang ditransfer ke daerah pada 2016 dialokasikan sebesar 723,2 triliun, hampir sama besar dengan belanja pemerintah pusat yang senilai Rp Rp 784,1 triliun. Transfer ke daerah tersebut masih ditambah lagi dengan dana desa yang tahun ini mencapai Rp 47 triliun.
Kita senang dengan kesigapan Jokowi meresmikan groundbreaking proyek-proyek infrastruktur hampir setiap minggu. Tahun ini rencananya akan dibangun ruas jalan tol sepanjang 28,95 km, jalur kereta api sepanjang 142,12 km, bandar udara baru di 15 lokasi, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Air, Surya, dan Angin masing-masing sebesar 1.712,5 MW, 5.534 MW, 92,1 MW, dan 11,2 MW, pembangunan pelabuhan, waduk, irigasi, dan masih banyak lagi.
Terlebih lagi, pemerintah sangat serius mendorong investasi dan peningkatan daya saing industri secara simultan dan berkesinambungan dengan menerbitkan paket kebijakan ekonomi Jilid I hingga Jilid XII.
"Sand The Wheels"
Namun, kembali lagi ke pertanyaan semula, apakah pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi harus ditempuh dengan menggadaikan hukum. Presiden Jokowi jangan pernah berasumsi bahwa eli-elit penguasa, penyelenggara negara, dan pejabat di negeri ini, sama seperti dirinya, yang berintegritas, bersih, sederhana, tanpa kepentingan, dan terlepas dari sandera masa lalu. Saat hukum ditegakkan dengan keras dan tanpa kompromi pun, kasus korupsi tak pernah menyusut, malah terus bertambah dari tahun ke tahun.
Buktinya jumlah perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian meningkat dari 1.257 kasus pada 2011 jadi 2.270 kasus pada 2014, atau naik 80,6 persen dalam tiga tahun. Sementara KPK, sepanjang 2015, menyidik perkara korupsi sebanyak 57 kasus, lebih banyak dibandingkan tahun 2014 yang sejumlah 56 kasus.
Maka, jika pemberantasan korupsi dilemahkan, tentu para koruptor akan makin berpesta pora.
Atau jangan-jangan, pemerintahan Jokowi merupakan penganut hipotesa korupsi sebagai pelumas roda pembangunan (grease the wheels hypothesis/GWH). Artinya, penyelenggara negara dan birokrasi tidak akan bergairah menjalankan program pembangunan jika tidak ada insentif berupa uang pelicin, uang suap dan sejenisnya. Praktik GWH memang pernah terjadi di Indonesia dalam era Presiden Soeharto. Kala itu, pertumbuhan ekonomi relatif bagus, namun praktik korupsi juga merajalela yang kemudian membuat Indonesia terhempas begitu dalam saat krisis 1998. Jika pemerintahan saat ini menganut hipotesa GWH, jelas itu salah besar. Sebab, dunia saat ini lebih cenderung menyetujui hipotesa korupsi sebagai pasir atau penghambat roda pembangunan (sand the wheels hypothesis/SWH).
Korupsi, dalam satu momentum, mungkin saja bisa menjadi pelumas roda pembangunan (grease the wheels hypothesis/GWH). Namun itu dipastikan tidak akan bertahan lama. Negara yang membiarkan korupsi merajalela, selamanya tidak akan pernah menjadi makmur. Berbagai penelitian di dunia menunjukkan, dalam jangka menengah panjang, korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian.
Dampak korupsi terhadap pembangunan juga bisa diukur dengan berbagai indikator. Transparency International (TI), misalnya, membandingkan indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) suatu negara dengan sejumlah indikator ekonomi, seperti produk domestik bruto, tingkat pengangguran, dan indeks gini.
Hasil kajian NGO global anti korupsi itu menunjukkan, semakin parah tingkat korupsi di suatu negara, semakin tinggi ketimpangan pendapatan yang terjadi di negara tersebut. Artinya, korupsi membuat si kaya semakin kaya dan si miskin tambah miskin. Hasil analisis TI juga menunjukkan, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin tinggi pula tingkat pengangguran di negara bersangkutan.
Selanjutnya, hasil penelitian D Treisman (2000) bertajuk ”The Causes of Corruption: A Cross-National Study” yang dimuat dalam Journal of Public Economics menemukan bukti ada hubungan terbalik antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin rendah kinerja ekonomi negara tersebut.
Terbukti, negara-negara maju dan kaya, seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal sebagai negara-negara zero corruption. Sebaliknya, negara-negara miskin, seperti Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi.
Bukti tingginya korupsi di Indonesia juga terlihat dari Laporan Corruption Perception Index (CPI) 2015 yang menempatkan Indonesia di posisi 88 dari 168 negara dengan skor 36 dari skala 100. Meskipun membaik dari skor 34 pada tahun 2014 menjadi 36 pada tahun 2015, skor Indonesia masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 43, bahkan di bawah skor rata-rata negara Asean yang sebesar 39. Kondisi tersebut menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan negara-negara lain pada umumnya.
Dalam Naskah Akademik Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi, akademisi UGM yang banyak meneliti soal korupsi, Rimawan Pradiptyo, menyebutkan, korupsi juga akan menciptakan adverse selection masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) di suatu negara. Implikasi dari temuan tersebut adalah ketika masyarakat suatu negara membiarkan korupsi merajalela di negerinya, maka mereka akan mengundang masuknya investor asing yang telah terbiasa melakukan korupsi seperti menyuap dan memberikan gratifikasi agar bisa beroperasi di negara tersebut.
Dengan kata lain, korupsi ternyata mengundang datangnya investor asing korup dan menghalangi investor asing yang tidak korup untuk berinvestasi di negara tersebut. Dalam riset terbarunya berjudul “Mengapa Rakyat (Dipaksa) Menyubsidi Koruptor?” Rimawan Pradiptyo mengatakan, total kerugian negara dalam kurun 2001-2015 akibat korupsi mencapai Rp 203,9 triliun. Nilai tersebut merupakan kerugian negara yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Jika dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, dana sebesar itu kira-kira cukup untuk membangun jalan tol lintas Sumatera dari Aceh hingga Lampung sepanjang 2.732 kilometer ditambah beberapa pelabuhan dan bandara.
Jika tak dikorupsi, dana tersebut juga bisa dipakai untuk menciptakan kantong-kantong pertumbuhan ekonomi baru sehingga arus barang dan logistik makin lancar dan murah. Jadi jelas sudah, perekonomian yang kuat hanya bisa terwujud jika ditopang oleh pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang kokoh. Kita semua menginginkan perbaikan ekonomi, tapi kita tak ingin itu dicapai dengan “menggadaikan” hukum.
oleh: M. Fajar Marta
disadur dari Kompas, Selasa, 3 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar