Editors Picks

Minggu, 22 Mei 2016

Kegagalan Bank Sentra Bernama BI Rate


Hampir sebelas tahun lalu, tepatnya  5 Juli 2005, suku bunga acuan BI Rate diperkenalkan dan digunakan untuk pertama kalinya.

“Dengan menggunakan BI Rate, kebijakan moneter dapat diterapkan lebih transparan, akuntabel, dan mudah dimengerti masyarakat. Selain itu, kebijakan moneter  juga lebih efektif dalam memengaruhi ekspektasi inflasi masyarakat,” kata Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia saat itu.
BI Rate merupakan suku bunga dengan tenor satu bulan yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan moneter. 

Dalam transmisinya, BI Rate dikaitkan dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor satu bulan yang saat itu menjadi patokan (benchmark) oleh perbankan dan pelaku pasar. Penggunaan BI Rate sebagai suku bunga kebijakan menandai era baru bank sentral (Bank Indonesia/BI) dalam mengelola moneter dan inflasi di Indonesia. Sebelumnya, BI menggunakan uang primer (base money) sebagai sasaran operasional pengendalian inflasi.

Di awal-awal penggunaannya, BI rate telah membuat heboh karena angkanya yang begitu tinggi dan disebut-sebut menjadi tonggak terciptanya suku bunga tinggi di Indonesia. Saat digunakan pertama kali pada Rapat Dewan Gubernur BI Juli 2005, BI Rate langsung berada di posisi 8,5 persen. Pada Agustus 2005, BI Rate merangkak menjadi 8,75 persen. Sebulan kemudian, BI melejit menjadi 10 persen. Pada Oktober 2005, BI Rate kembali terbang menjadi 11 persen, lalu 12,25 persen pada November 2005, dan 12,75 persen pada Desember 2005. Hanya dalam rentang 5 bulan, BI Rate naik 425 basis poin atau 4,25 persen poin, kenaikan yang terbilang sangat cepat dan tinggi. Jelas BI terlihat gagap menggunakan BI Rate kala itu.

Karena belum berpengalaman, BI belum tahu persis seberapa ampuh BI Rate sehingga dosis yang digunakan menyimpang dari takaran yang seharusnya. Kenaikan BI Rate yang sangat tinggi itu telah mengerek naik suku bunga simpanan dan kredit perbankan  ke level yang tinggi pula, yang kemudian kita tahu, tidak mudah menurunkannya hingga saat ini. Kemunculan yang heboh itu seolah menjadi penanda kegagalan-kegagalan BI berikutnya dalam menggunakan BI Rate.
 
Inflasi
BI Rate pada dasarnya merupakan instrumen moneter dalam bentuk suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi agar selalu berada dalam koridor target yang ditentukan. Misalnya, tahun 2016 ini, BI dan pemerintah menargetkan inflasi sebesar 4 persen. Maka, tugas BI sebagai otoritas moneter adalah menjaga agar sepanjang tahun 2016, inflasi bergerak dalam koridor di kisaran 4 persen. Bagaimana BI Rate bisa mengendalikan inflasi?

Secara sederhana, jika inflasi berada di bawah koridor target, maka BI akan menurunkan BI Rate. Jika inflasi berada di atas koridor target, maka bank sentral akan menaikkan BI Rate. Inflasi merupakan fenomena kenaikan harga barang akibat tidak seimbangnya permintaan dan penawaran (pasokan). Jika permintaan tinggi, namun pasokannya tidak mencukupi, maka harga akan naik sehingga terjadi inflasi. Sebaliknya, jika pasokan lebih besar dari permintaan, maka harga akan turun sehingga terjadi deflasi. Begitulah hukum permintaan dan penawaran.

Inflasi sendiri merupakan cerminan dari aktivitas perekonomian. Saat aktivitas perekonomian meningkat, yang ditandai dengan tingginya permintaan barang oleh masyarakat, maka akan terjadi inflasi. Dengan menurunkan BI Rate, BI memberi sinyal pelonggaran moneter, yang berarti BI menginginkan permintaan naik. Dalam transmisinya, penurunan BI Rate akan membuat suku bunga bank, termasuk kredit juga turun. Dengan suku bunga kredit yang turun, masyarakat akan terangsang untuk meminjam uang guna kepentingan konsumsi atau investasi. Dampaknya, permintaan barang akan naik. Sebaliknya, jika bank sentral menaikkan BI Rate, berarti BI tengah menjalankan moneter ketat yang mencerminkan upaya BI mengerem permintaan. Kenaikan BI Rate akan memicu kenaikan suku bunga kredit. Dengan bunga kredit yang tinggi, masyarakat dan sektor riil akan mengerem pinjamannya yang berarti membatasi ekspansinya.


Mengapa inflasi harus dikendalikan?
Jika inflasi dibiarkan terus naik akibat permintaan yang tinggi, maka justru akan merugikan perekonomian. Kenaikan harga barang yang tidak terkendali akan membuat pertumbuhan ekonomi macet karena akhirnya semua orang tidak bisa membeli barang. Perekonomian akan mengalami hard-landing atau turun secara drastis.

Inflasi yang tidak terkendali juga akan membuat banyak orang jatuh miskin karena nilai kekayaannya tergerus. Orang miskin pun akan semakin menderita. Karena itulah, inflasi harus dikendalikan agar pertumbuhan tetap melaju dengan stabil dan berkelanjutan.

Tidak efektif
Nah, bagaimana efektivitas BI Rate selama hampir 11 tahun ini dalam mengendalikan inflasi? Ternyata BI Rate tak cukup efektif untuk mengendalikan inflasi. Buktinya, pencapaian inflasi di akhir tahun selalu meleset dari target yang dicanangkan di awal tahun. Bahkan, setelah target inflasi direvisi di pertengahan tahun, pencapaiannya di akhir tahun juga meleset.

Ambil contoh tahun 2005, yang merupakan tahun pertama BI Rate digunakan. Pada APBN 2005, inflasi ditargetkan sebesar 5,5 persen. Namun, pada akhir tahun 2005, inflasi ternyata bertengger di level 17,11 persen, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Contoh lainnya, tahun 2008, target inflasi dipatok 6,5 persen. Pada pertengahan tahun, tepatnya pada APBN Perubahan (APBNP) 2008, target inflasi direvisi menjadi 6,5 persen. Faktanya, diakhir tahun, inflasi mencapai 11,1 persen.

Gagal mengantisipasi inflasi rendah
Dalam menggunakan BI Rate, BI juga gagal mengantisipasi inflasi rendah. Pada APBN 2009, target inflasi sebesar 6,2 persen yang kemudian direvisi dalam APBNP 2009 menjadi 4,5 persen. Namun di akhir tahun, inflasi hanya 2,8 persen. Dalam kurun 2005 – 2015, seluruh target inflasi tahunan bisa dikatakan meleset, bahkan dengan perbedaan angka yang mencolok. Hanya tahun 2007, perbedaannya di bawah satu persen poin yakni target 6 persen, realisasi 6,6 persen. Kesimpulannya, sinyal BI Rate sama sekali tidak efektif dalam memengaruhi ekspektasi pasar. Pasar seolah tidak peduli apapun kebijakan yang akan diambil bank sentral, apakah ingin memperketat atau melonggarkan moneter.


Suku bunga
Kegagalan BI Rate dalam mengendalikan inflasi tidak terlepas dari kurang lancarnya transmisi BI Rate ke suku bunga perbankan. Sebelum pengaruh BI Rate sampai ke inflasi, BI Rate terlebih dahulu akan melewati suku bunga perbankan. Dalam kondisi normal, pertama-tama BI Rate akan memengaruhi suku bunga pinjaman antarbank sebagai cermin likuiditas perbankan. Selanjutnya, BI Rate akan ditransmisikan ke suku bunga simpanan, terutama tabungan dan deposito. Setelah terjadi penyesuaian suku bunga simpanan, barulah bank akan menyesuaikan suku bunga kreditnya.

Namun fakta yang terjadi, transmisi BI Rate ke suku bunga perbankan tidak selalu mulus.
Bahkan, pada beberapa momen, pergerakan BI Rate dan suku bunga dana berlawanan arah.
Padahal seharusnya, pergerakan keduanya harus seiring sejalan dan seirama. Contohnya pada Desember 2008. Saat itu BI menurunkan BI Rate 25 basis poin dari 9,5 persen menjadi 9,25 persen.
Namun, pada periode yang sama, rata-rata suku bunga deposito berjangka 1 bulan perbankan malah naik 35 basis poin dari 10,4 persen menjadi 10,75 persen.

Saat terjadi tren penurunan suku bunga, transmisi juga berlangsung amat lambat. Contohnya, dalam periode Oktober – November 2011, bank sentral menurunkan BI Rate sebesar 75 basis poin menjadi 6 persen. Namun, selama periode tersebut, rata-rata suku bunga deposito satu bulan hanya turun 27 basis poin dan suku bunga kredit komersial hanya turun 10 basis poin.

Karena sama-sama bertenor satu bulan, besaran suku bunga deposito satu bulan seharusnya sama atau berada di kisaran BI rate, dengan perbedaan yang tipis. Faktanya, perbedaan suku bunga deposito dan BI Rate bisa mencapai lebih dari 100 basis poin.

Kesimpulannya, transmisi BI rate tidak berjalan mulus selama ini akibat berbagai faktor yang gagal diantisipasi Bank Sentral.


Suku bunga kebijakan baru
BI mengakui, sejak krisis global 2010 – 2012, BI Rate tidak lagi efektif untuk memengaruhi suku bunga pasar. Derasnya aliran modal asing telah menyebabkan perbedaan yang besar antara suku bunga BI Rate dengan suku bunga di pasar uang antarbank (PUAB).

Besarnya ekses likuiditas di PUAB menyebabkan suku bunga PUAB tenor jangka pendek menjadi sangat rendah mendekati suku bunga Deposit Facility Bank Indonesia dan jauh di bawah bunga BI Rate.

Kondisi itu juga menyebabkan struktur bunga di PUAB tidak berkembang, khususnya untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan. Karena itulah, mulai 19 Agustus 2016, BI akan menggunakan suku bunga kebijakan yang baru yakni BI 7-day (reverse) Repo Rate atau suku bunga (reverse) repo 7 hari.
BI 7-day Repo Rate merupakan salah satu instrumen moneter yang aktif digunakan BI selama ini dalam operasi pasar terbuka (OPT).

Instrumen ini bersifat transaksional antara BI dan perbankan dengan skema repo atau repurchase agreement menggunakan surat berharga negara (SBN) atau surat utang negara (SUN). Dalam transaksi ini, bank menjual SUN-nya kepada BI dengan perjanjian akan dibeli lagi pada 7 hari mendatang. Pada saat pengembalian, bank membayar bunga yang ditetapkan BI. Atau bisa juga sebaliknya, bank membeli SUN dari BI dengan perjanjian akan dijual lagi 7 hari mendatang. Dalam transaksi reverse ini, bank mendapat bunga.

Dengan menggunakan BI 7-day Repo Rate, berarti tenor suku bunga kebijakan menjadi lebih pendek yakni hanya 7 hari. Adapun BI rate merupakan suku bunga bertenor satu bulan. Saat ini suku bunga BI 7-day Repo Rate adalah 5,5 persen, sementara BI Rate sebesar 6,75 persen.

BI menilai BI 7-day Repo Rate, yang bertenor pendek, akan membuat transmisi kebijakan moneter menjadi lebih efektif dan lebih cepat sehingga pada akhirnya, dapat mencapai target inflasi yang ditetapkan. Bank Sentral juga berharap dengan suku bunga kebijakan yang baru, sinyal kebijakan moneter menjadi lebih kuat sehingga langsung direspons pasar.

Kita tentu berharap, ke depan, kinerja BI semakin baik dalam mengelola inflasi dengan suku bunga kebijakan yang baru ini. Sebelas tahun penggunaan BI Rate menjadi pelajaran mahal yang tidak boleh terulang. Tahun 2016 ini, pemerintah menargetkan inflasi sebesar 4 persen. Kita akan melihat apakah BI bisa mencapai target tersebut di akhir tahun.

oleh: M. Fajar Marta
disadur dari Kompas, Jum'at ,29 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar