Bank BUMN merupakan kelompok bank paling berpengaruh dalam industri perbankan Indonesia.
Keempat bank BUMN yakni Bank BRI, Mandiri, BNI, dan BTN berturut-turut merupakan bank terbesar nomor satu, dua, empat, dan enam dari total 118 bank di Indonesia. Per akhir 2015, total aset keempat Bank BUMN tersebut mencapai Rp 2.445,47 triliun, atau 40 persen dari total aset industri perbankan nasional sebesar Rp 6.132,58 triliun. Karena berposisi sebagai market leader dengan pangsa pasar yang besar, kinerja Bank BUMN sangat memengaruhi kinerja perbankan nasional.
Jika kinerja bank-bank BUMN bagus, maka kinerja industri perbankan keseluruhan juga akan bagus. Begitu pula sebaliknya. Seminggu terakhir, sebagian besar bank telah mempublikasikan kinerja keuangannya selama triwulan I 2016, begitu pula bank-bank BUMN. Dari potret kinerja triwulan I 2016, ada sejumlah isu yang menarik untuk dibahas. Secara umum, kinerja bank BUMN selama triwulan I 2016 masih lemah seiring terus berlanjutnya perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Perlambatan ekonomi domestik tidak terlepas dari pemulihan ekonomi global yang masih lemah.
Ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat pun belum solid.
Sementara ekonomi Tiongkok, meskipun mengarah ke kondisi yang lebih stabil, namun risiko pelemahan masih tinggi.
Di dalam negeri, akselerasi belanja modal dan barang pemerintah pusat terkait pembangunan infrastruktur belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, faktor pendorong lain yakni investasi, ekspor, dan konsumsi rumah tangga belum menggembirakan. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia selama triwulan I 2016 hanya 4,92 persen, melambat dibandingkan triwulan IV 2015 yang sebesar 5,04 persen.
Karena sektor riil lesu, penyaluran kredit, termasuk oleh bank-bank BUMN pun melemah. Pertumbuhan kredit BRI, BNI, dan BTN per akhir Maret 2016 dibandingkan akhir tahun 2015 berturut-turut hanya 0,48 persen, 0,19 persen, dan 2,87 persen. Perbandingan menggunakan posisi akhir 2015 karena yang ingin dipotret hanyalah kinerja bank BUMN selama triwulan I 2016. Bank Mandiri belum mempublikasikan laporan keuangan bulan Maret 2016. Laporan Bank Mandiri yang tersedia hanya sampai Februari 2016. Jika melihat kinerja Bank Mandiri sampai bulan Februari 2016, pertumbuhan kreditnya justru minus. Posisi kredit Bank Mandiri per akhir Februari 2016 sebesar Rp 508,97 triliun, turun dibandingkan posisi akhir 2015 yang sebesar Rp 595,46 triliun. Kinerja Bank Mandiri pada triwulan I 2016 bisa saja lebih baik jika selama bulan Maret mampu menyalurkan kredit secara signifikan.
Jaringan Kantor Bank BRI
Jaringan Kantor Bank Mandiri
Kredit bermasalah melonjak
Di tengah perlambatan laju kredit, pinjaman bermasalah (non performing loan/NPL) bank BUMN justru melonjak. Banyak debitor di sektor pertambangan kolaps sehingga tak mampu lagi membayar utangnya ke bank, termasuk bank BUMN. Sektor pertambangan merupakan sektor yang paling menderita akibat pelemahan ekonomi global serta kejatuhan harga minyak dan batubara.
Angka NPL Bank BRI naik dari 2,02 persen pada akhir 2015 menjadi 2,22 persen pada akhir Maret 2016. Angka NPL BNI naik dari 2,7 persen menjadi 2,8 persen. Di antara bank BUMN, NPL Bank BTN adalah yang paling tinggi karena naik dari 3,42 persen menjadi 3,59 persen. Pada 2015, BTN sebenarnya mampu menurunkan NPL dari 4,78 persen pada akhir triwulan I 2015 menjadi 3,42 persen pada akhir 2015. Namun, selama triwulan I 2016, NPL BTN kembali naik.
Akibat lonjakan NPL, Bank-bank BUMN tentu harus menyisihkan pencadangan, yang dananya diambil dari laba. Dengan kata lain, kenaikan NPL akan menggerus laba bank. Lambatnya penyaluran kredit juga berpotensi menurunkan pendapatan dan laba bank. Jadi, selama triwulan I 2016, laba bank BUMN tertekan akibat lambatnya penyaluran kredit dan lonjakan NPL.
Di sisi lain, bank-bank BUMN tentu tak ingin labanya anjlok. Sebab, laba merupakan parameter utama yang digunakan pemegang saham untuk menilai keberhasilan manajemen. Pemegang saham hanya mau melihat dividen yang mereka terima terus meningkat setiap tahunnya. Kredit boleh turun, NPL boleh naik, tapi laba harus tetap tumbuh, begitu hukumnya. Jika laba anjlok, pemegang saham bisa saja mengganti manajemen banknya.
Lalu, bagaimana manajemen bank mengatasi situasi pelik seperti ini?
Salah satu strategi yang ditempuh adalah memainkan suku bunga kredit dan suku bunga simpanan.
Karena tidak bisa mengandalkan volume penyaluran kredit, maka bank menaikkan margin keuntungan. Caranya, dengan menurunkan bunga simpanan secepat mungkin dan menurunkan bunga kredit selambat mungkin.
Seiring pelemahan ekonomi dan rendahnya inflasi, selama triwulan I 2016, Bank Indonesia memberlakukan kebijakan moneter longgar yang berarti suku bunga berada dalam tren menurun.
Berdasarkan data OJK, rata-rata suku bunga deposito jangka 1 bulan turun 28 basis poin (bp) dari 7,60 persen pada akhir Desember 2015 menjadi 7,32 persen pada akhir Februari 2016. Namun, selama periode yang sama, rata-rata suku bunga kredit modal kerja hanya turun 6 bp dari 12,46 persen menjadi 12,40 persen.
Dengan strategi ini, bank bisa mempertahankan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) tetap stabil. Tidak semua bank memperbesar margin bunga. Beberapa bank menempuh strategi lain untuk mengamankan laba semisal mendorong fee based income atau pendapatan jasa dan layanan di luar bunga.
pihak ketiga turun
Strategi memperbesar margin bunga tentu membawa konsekuensi. Karena ditekan turun, suku bunga deposito tak lagi kompetitif. Para deposan akhirnya menarik dananya dari bank dan mengalihkannya ke instrumen yang lebih menguntungkan semisal Surat Berharga Negara (SBN). Dampaknya, dana pihak ketiga (DPK) bank BUMN menurun selama triwulan I 2016. DPK BRI turun 1,71 persen dari Rp 642,77 triliun pada akhir 2015 menjadi Rp 631,78 triliun pada akhir Maret 2016. DPK BNI tergolong stabil dari Rp 370,42 triliun menjadi Rp 371,55 triliun. Hanya Bank BTN yang tetap mampu menumbuhkan DPK dari Rp 127,75 triliun menjadi Rp 131,16 triliun. Sampai akhir Februari 2016, DPK Bank Mandiri juga anjlok sebesar 9,18 persen dari Rp 636,4 triliun menjadi Rp 578 triliun.
Kendati bank berjuang sekuat tenaga, laba perbankan diperkirakan tetap akan tertekan. Sebab, faktor fundamentalnya, yakni kinerja sektor riil dan ekonomi secara keseluruhan masih lesu. Karena itu, laba bank-bank BUMN tahun 2016 diperkirakan bakal stagnan, atau tidak jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya.
Stagnannya laba tercermin dari kinerja triwulan I 2016. Selama triwulan I 2016, BRI hanya mampu meraih laba sebesar Rp 6,14 triliun, tak jauh berbeda dengan triwulan I 2015 yang sebesar Rp 6,1 triliun. Laba BNI tumbuh 5,5 persen dari Rp 2,82 triliun menjadi Rp 2,97 triliun. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan laba mencapai 15 – 20 persen. Hanya BTN yang mencatatkan pertumbuhan laba signifikan yakni sebesar 22,14 persen dari Rp 402 miliar menjadi Rp 491 miliar.
Jadi, hambatan bank-bank BUMN tahun ini masih sangat terjal. Bank BUMN harus membuka akses pembiayaan yang lebih luas dan menerapkan strategi “jemput bola” untuk mendorong penyaluran kredit. Masih banyak pelaku usaha yang belum tersentuh bank, padahal mereka sangat membutuhkan pinjaman. Bank-bank BUMN juga harus menyetop peningkatan NPL. Jika tidak, laba mereka akan makin tertekan.
Meskipun kondisi sedang berat, bank BUMN jangan memikirkan dirinya sendiri. Bank BUMN tetap harus menjadi pioner penurunan suku bunga kredit menuju single digit demi perbaikan ekonomi Indonesia ke depan.
Jaringan Kantor Bank BNI
Perkembangan Kantor Bank BTN
oleh: M. Fajar Marta
disadur dari Kompas, Senin, 9 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar