Beberapa waktu lalu, suku bunga acuan Bank
Indonesia diturunkan dari 7,5 persen menjadi 6,75 persen. Selain itu, juga
dilakukan penurunan giro wajib minimum atau GWM dari 7,5 persen menjadi 6,5
persen. Harapan penurunan itu adalah target penurunan suku bunga kredit di
bawah 10 persen, yang selanjutnya dapat memacu investasi sehingga dapat
menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan fiskal yang
dilakukan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada saat ini juga
diharapkan lebih ekspansif. Pertanyaannya, mampukah kebijakan fiskal dilakukan
lebih ekspansif dan realistiskah target penurunan suku bunga di bawah 10
persen?
Kebijakan
fiskal ekspansif
Hampir semua negara di dunia, termasuk
negara-negara maju, konsumsi merupakan penyumbang terbesar dalam pendapatan
nasional (PDB). Badan Pusat Statistik menyatakan, kontribusi konsumsi rumah
tangga terhadap PDB sampai dengan kuartal IV-2015 sebesar 56,64 persen. Pembentukan
modal tetap bruto (PMTB) menempati urutan kedua dalam kontribusi terhadap PDB
sebesar 34,97 persen. Keeratan hubungan antara konsumsi rumah tangga dan
investasi swasta menimbulkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pelambatan ekonomi 2015 yang masih berlanjut pada 2016 akan menyulitkan dunia
usaha melakukan investasi, bahkan disinyalir telah terjadi pengurangan tenaga
kerja di sektor riil. Dampaknya adalah penurunan daya beli rumah tangga yang
selanjutnya berdampak kembali ke pertumbuhan investasi, dan akhirnya berdampak
pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Masih ada dua sektor lain yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu ekspor dan pengeluaran pemerintah. Di
tengah melemahnya harga komoditas serta menurunnya permintaan negara mitra
dagang, sulit mengharapkan ekspor menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi.
Pengeluaran pemerintah saat ini sangat dibutuhkan untuk mendongkrak pertumbuhan
ekonomi. Pembangunan infrastruktur menjadi sesuatu yang relevan dan harus
dilakukan. Pengeluaran pemerintah ini dalam jangka pendek dapat memberikan efek
pengganda (multiplier) bagi
konsumsi dan investasi.
Dalam jangka menengah dan panjang,
pembangunan infrastruktur yang lebih merata dengan berorientasi ke daerah dapat
memacu lebih cepat pertumbuhan sektor industri. Persoalannya adalah konsistensi
dan kemauan pemerintah dalam melakukan kebijakan. Periode 1994-1997, porsi
anggaran infrastruktur mencapai 7,5 persen PDB, setelah itu kurang dari 3
persen. Tahun 2015 dan 2016 menunjukkan peningkatan. Dari sisi koefisien
infrastrukturnya, efek tambahan 1 persen anggaran terhadap PDB Indonesia cukup
rendah, sebesar 0,17 persen, dibandingkan Tiongkok 0,33 persen dan India 0,21
persen.
Persoalan pembiayaan juga menjadi kendala
pembiayaan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur. Tahun 2015, realisasi
penerimaan pajak hanya Rp 1.055 triliun atau sekitar 81,5 persen dari target Rp
1.294,25 triliun dalam APBN Perubahan. Dengan kondisi ekonomi relatif tak
berbeda dengan 2015, target pajak Rp 1.360,1 triliun sulit terealisasi. Target
pajak yang realistis sekitar Rp 1.200 triliun dengan mengasumsikan pertumbuhan
penerimaan pajak sekitar 10 persen dari realisasi. Sumber pembiayaan lain,
utang pemerintah, mesti lebih ekspansif.
Berpedoman pada aturan fiskal (fiscal rules) yang mengacu kepada
Maastricht Treaty tahun 1992, defisit APBN dan utang pemerintah kotor tak boleh
melebihi 3 persen dan 60 persen dari PDB. Tahun 2015, defisit APBN kita sekitar
2,8 persen dari PDB, sedangkan rasio utang pemerintah dan swasta masih dalam
aman, sekitar 34,9 persen dari PDB, yang berarti juga rasio utang pemerintah
terhadap PDB lebih kecil lagi. Berdasarkan data tersebut, tampaknya ada ruang
untuk meningkatkan utang luar negeri untuk pembiayaan yang produktif.
Peningkatan utang pemerintah dapat menjadi pertimbangan pembiayaan
infrastruktur dengan peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan utang
pemerintah yang dibarengi dengan manajemen pengelolaan dan pengawasan yang baik
akan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan. Inilah yang menjadi tugas dari
pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam pengelolaan APBN.
Kebijakan
moneter ekspansif
Turunnya suku bunga acuan BI menjadi 6,75
persen pada 18 Februari 2016 dan turunnya GWM dari 7,5 persen menjadi 6,5
persen pada 16 Maret 2016 merupakan langkah ekspansif yang dimotori BI untuk
menggerakkan sektor riil melalui jalur kredit dengan target suku bunga kredit
di bawah 10 persen. Persoalannya adalah apakah mekanisme transmisinya berjalan
dengan mulus dengan mengacu pada kondisi perbankan terakhir. Mekanisme
transmisi yang diharapkan melalui turunnya suku bunga acuan akan mendorong
penurunan suku bunga simpanan dan selanjutnya mendorong penurunan suku bunga
kredit, suku bunga surat berharga lain. Penurunan suku bunga kredit akan meningkatkan
investasi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada penyerapan
tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan.
Respons perbankan terkait dengan
penurunan suku bunga acuan berhubungan dengan kemampuan bank menekan biaya dana
pihak ketiga (DPK). Jika DPK berbiaya mahal, mekanisme transmisi penurunan suku
bunga simpanan tidak akan berjalan lancar. Selain itu, premi risiko yang
ditetapkan secara subyektif oleh manajemen perbankan.
Data statistik perbankan Indonesia pada
2014 dan 2016 menunjukkan, DPK didominasi deposito berjangka sebesar Rp
1.369.195 miliar atau sekitar 44,59 persen dari total DPK. Tahun 2015 meningkat
menjadi Rp 2.029.513 miliar atau sekitar 45,99 persen dari total DPK. Persoalan
ini akan diperberat jika deposito berjangka didominasi nasabah-nasabah utama
dengan jumlah simpanan besar. Karakteristik nasabah seperti ini cukup elastis
terhadap suku bunga. Deposito-deposito yang akan jatuh tempo dapat saja
berpindah ke investasi tak langsung yang tak produktif di pasar sekunder. Jika
hal ini yang terjadi, dapat dipastikan perbankan akan kekurangan likuiditas
sehingga kemampuan menghasilkan kredit berkurang dan tentu saja peningkatan
investasi yang diharapkan tak akan terjadi.
Suku
bunga kredit dan struktur perbankan
Penurunan suku bunga merupakan sesuatu
yang harus disikapi positif, tetapi persoalannya adalah apakah penurunan suku
bunga kredit di bawah 10 persen cukup realistis jika dilihat dari sisi cost of fund (biaya dana).
DPK yang didominasi dana berbiaya mahal akan menghasilkan biaya dana yang
tinggi pula. Selain dipengaruhi biaya dana, penentuan base lending rate (suku bunga
kredit) juga dipengaruhi cost
of loanable fund (biaya dana yang dapat dipinjamkan), spread, biaya overhead, dan premi risiko.
Biaya dana yang dapat dipinjamkan
ditentukan juga oleh cadangan wajib minimum (reserve
requirement/RR) yang ditentukan oleh BI. Walaupun dampaknya tidak
begitu besar terhadap penurunan biaya dana yang dapat dipinjamkan, kebijakan
pemerintah menurunkan RR ataupun GWM dapat dilakukan.
Penentuan spread adalah
selisih antara biaya dana dan tingkat bunga kredit. Secara sederhana,
penghitungan spreadadalah
perkiraan keuntungan dibagi rata-rata proyeksi penyaluran kredit. Kondisi ini
menunjukkan spread sama
sekali di luar kendali pemerintah dan sangat dipengaruhi kinerja perbankan.
Komponen berikutnya dalam suku bunga kredit adalah biaya overhead, yaitu semua biaya yang
dikeluarkan bank dalam kegiatan penghimpunan dana. Biaya ini jelas di luar
kendali pemerintah untuk mengaturnya dan sangat tergantung efisiensi perbankan.
Selanjutnya yang juga menentukan adalah premi risiko yang sangat ditentukan
oleh kualitas piutang perbankan. Semakin sedikit kredit macet, semakin kecil
premi risiko. Peran pemerintah dalam hal ini adalah pengawasan kinerja kredit
perbankan.
Penurunan suku bunga kredit mempunyai
celah untuk direalisasikan dari sudut pandang struktur pasar industri perbankan
Indonesia yang cenderung oligopolis dengan kepemimpinan harga. Struktur
perbankan Indonesia dari sisi DPK didominasi Bank BUKU 4 (modal intinya di atas
Rp 30 triliun). Bank-bank tersebut tiga adalah bank BUMN (Mandiri, BRI, dan BNI
1946) dan satu bank swasta nasional (BCA). Keempat bank itu menguasai sekitar
46 persen DPK di seluruh perbankan Indonesia. Struktur pasar oligopolis model
kepemimpinan mempunyai potensi penurunan suku bunga yang dimotori bank-bank
BUMN yang akan diikuti bank-bank lain. Model seperti "Gebrakan
Sumarlin" untuk menambah likuiditas di perbankan dapat membantu mendorong
"keberanian" bank-bank itu menurunkan suku bunga simpanan dan suku
bunga kredit. Penambahan likuiditas berbiaya murah memberi sinyal beban
penurunan suku bunga tak hanya di pundak BUMN perbankan, tetapi juga BUMN
secara keseluruhan.
Kredit yang akan disalurkan oleh
perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kredit kepada sektor yang
produktif yang mempunyai multiplier besar.
Data statistik perbankan Indonesia menunjukkan, pada kuartal IV-2014 dan 2015,
penyaluran kredit ke sektor rumah tangga menempati urutan pertama masing-masing
22,66 persen dan 22,58 persen. Kredit ke sektor rumah tangga pada umumnya
kredit konsumsi yang kurang produktif. Urutan kedua adalah perdagangan besar
dan eceran sebesar 19,51 persen dan 19,53 persen. Sektor perdagangan besar dan
eceran tak berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Industri pengolahan yang berdampak pada
pertumbuhan ekonomi menempati urutan ketiga, sebesar 17,98 persen pada kuartal
IV-2014 dan 18,73 persen pada kuartal IV-2015. Sementara penyaluran kredit di
sektor lain, seperti pertanian, pertambangan, listrik, gas, dan air, serta
konstruksi, kurang dari 5 persen. Tampaknya, dalam jangka menengah dan panjang,
perlu semacam perangkat insentif untuk mendorong penyaluran kredit di
sektor-sektor produktif industri pengolahan yang berpengaruh besar terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui kebijakan fiskal dan moneter tetap harus dilakukan. Persoalan kebijakan
fiskal yang lebih ekspansif mau tidak mau harus dilakukan dengan meningkatkan
sumber penerimaan APBN berupa utang pemerintah yang masih mempunyai celah untuk
ditingkatkan. Dari sisi kebijakan mendorong penurunan suku bunga kredit melalui
kebijakan moneter, memang tak bisa terjadi dalam jangka pendek peran kinerja
dan efisiensi perbankan serta pilihan investasi nasabah perlu mendapat
perhatian tersendiri, tetapi struktur pasar kredit perbankan yang oligopolis
dalam kepemimpinan harga menjadi celah untuk memperlancar mekanisme penurunan
suku bunga.
Oleh YB Suhartoko
Disadur dari
Kompas, Senin, 18 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar