Editors Picks

Kamis, 19 Mei 2016

Kebijakan Pertumbuhan

 Beberapa waktu lalu, suku bunga acuan Bank Indonesia diturunkan dari 7,5 persen menjadi 6,75 persen. Selain itu, juga dilakukan penurunan giro wajib minimum atau GWM dari 7,5 persen menjadi 6,5 persen. Harapan penurunan itu adalah target penurunan suku bunga kredit di bawah 10 persen, yang selanjutnya dapat memacu investasi sehingga dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada saat ini juga diharapkan lebih ekspansif. Pertanyaannya, mampukah kebijakan fiskal dilakukan lebih ekspansif dan realistiskah target penurunan suku bunga di bawah 10 persen?

Kebijakan fiskal ekspansif
Hampir semua negara di dunia, termasuk negara-negara maju, konsumsi merupakan penyumbang terbesar dalam pendapatan nasional (PDB). Badan Pusat Statistik menyatakan, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB sampai dengan kuartal IV-2015 sebesar 56,64 persen. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) menempati urutan kedua dalam kontribusi terhadap PDB sebesar 34,97 persen. Keeratan hubungan antara konsumsi rumah tangga dan investasi swasta menimbulkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi. Pelambatan ekonomi 2015 yang masih berlanjut pada 2016 akan menyulitkan dunia usaha melakukan investasi, bahkan disinyalir telah terjadi pengurangan tenaga kerja di sektor riil. Dampaknya adalah penurunan daya beli rumah tangga yang selanjutnya berdampak kembali ke pertumbuhan investasi, dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Masih ada dua sektor lain yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu ekspor dan pengeluaran pemerintah. Di tengah melemahnya harga komoditas serta menurunnya permintaan negara mitra dagang, sulit mengharapkan ekspor menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah saat ini sangat dibutuhkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur menjadi sesuatu yang relevan dan harus dilakukan. Pengeluaran pemerintah ini dalam jangka pendek dapat memberikan efek pengganda (multiplier) bagi konsumsi dan investasi.

Dalam jangka menengah dan panjang, pembangunan infrastruktur yang lebih merata dengan berorientasi ke daerah dapat memacu lebih cepat pertumbuhan sektor industri. Persoalannya adalah konsistensi dan kemauan pemerintah dalam melakukan kebijakan. Periode 1994-1997, porsi anggaran infrastruktur mencapai 7,5 persen PDB, setelah itu kurang dari 3 persen. Tahun 2015 dan 2016 menunjukkan peningkatan. Dari sisi koefisien infrastrukturnya, efek tambahan 1 persen anggaran terhadap PDB Indonesia cukup rendah, sebesar 0,17 persen, dibandingkan Tiongkok 0,33 persen dan India 0,21 persen.

Persoalan pembiayaan juga menjadi kendala pembiayaan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur. Tahun 2015, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 1.055 triliun atau sekitar 81,5 persen dari target Rp 1.294,25 triliun dalam APBN Perubahan. Dengan kondisi ekonomi relatif tak berbeda dengan 2015, target pajak Rp 1.360,1 triliun sulit terealisasi. Target pajak yang realistis sekitar Rp 1.200 triliun dengan mengasumsikan pertumbuhan penerimaan pajak sekitar 10 persen dari realisasi. Sumber pembiayaan lain, utang pemerintah, mesti lebih ekspansif.

Berpedoman pada aturan fiskal (fiscal rules) yang mengacu kepada Maastricht Treaty tahun 1992, defisit APBN dan utang pemerintah kotor tak boleh melebihi 3 persen dan 60 persen dari PDB. Tahun 2015, defisit APBN kita sekitar 2,8 persen dari PDB, sedangkan rasio utang pemerintah dan swasta masih dalam aman, sekitar 34,9 persen dari PDB, yang berarti juga rasio utang pemerintah terhadap PDB lebih kecil lagi. Berdasarkan data tersebut, tampaknya ada ruang untuk meningkatkan utang luar negeri untuk pembiayaan yang produktif. Peningkatan utang pemerintah dapat menjadi pertimbangan pembiayaan infrastruktur dengan peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan utang pemerintah yang dibarengi dengan manajemen pengelolaan dan pengawasan yang baik akan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan. Inilah yang menjadi tugas dari pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam pengelolaan APBN.

Kebijakan moneter ekspansif
Turunnya suku bunga acuan BI menjadi 6,75 persen pada 18 Februari 2016 dan turunnya GWM dari 7,5 persen menjadi 6,5 persen pada 16 Maret 2016 merupakan langkah ekspansif yang dimotori BI untuk menggerakkan sektor riil melalui jalur kredit dengan target suku bunga kredit di bawah 10 persen. Persoalannya adalah apakah mekanisme transmisinya berjalan dengan mulus dengan mengacu pada kondisi perbankan terakhir. Mekanisme transmisi yang diharapkan melalui turunnya suku bunga acuan akan mendorong penurunan suku bunga simpanan dan selanjutnya mendorong penurunan suku bunga kredit, suku bunga surat berharga lain. Penurunan suku bunga kredit akan meningkatkan investasi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan.

Respons perbankan terkait dengan penurunan suku bunga acuan berhubungan dengan kemampuan bank menekan biaya dana pihak ketiga (DPK). Jika DPK berbiaya mahal, mekanisme transmisi penurunan suku bunga simpanan tidak akan berjalan lancar. Selain itu, premi risiko yang ditetapkan secara subyektif oleh manajemen perbankan.

Data statistik perbankan Indonesia pada 2014 dan 2016 menunjukkan, DPK didominasi deposito berjangka sebesar Rp 1.369.195 miliar atau sekitar 44,59 persen dari total DPK. Tahun 2015 meningkat menjadi Rp 2.029.513 miliar atau sekitar 45,99 persen dari total DPK. Persoalan ini akan diperberat jika deposito berjangka didominasi nasabah-nasabah utama dengan jumlah simpanan besar. Karakteristik nasabah seperti ini cukup elastis terhadap suku bunga. Deposito-deposito yang akan jatuh tempo dapat saja berpindah ke investasi tak langsung yang tak produktif di pasar sekunder. Jika hal ini yang terjadi, dapat dipastikan perbankan akan kekurangan likuiditas sehingga kemampuan menghasilkan kredit berkurang dan tentu saja peningkatan investasi yang diharapkan tak akan terjadi.

Suku bunga kredit dan struktur perbankan
Penurunan suku bunga merupakan sesuatu yang harus disikapi positif, tetapi persoalannya adalah apakah penurunan suku bunga kredit di bawah 10 persen cukup realistis jika dilihat dari sisi cost of fund (biaya dana). DPK yang didominasi dana berbiaya mahal akan menghasilkan biaya dana yang tinggi pula. Selain dipengaruhi biaya dana, penentuan base lending rate (suku bunga kredit) juga dipengaruhi cost of loanable fund (biaya dana yang dapat dipinjamkan), spread, biaya overhead, dan premi risiko.

Biaya dana yang dapat dipinjamkan ditentukan juga oleh cadangan wajib minimum (reserve requirement/RR) yang ditentukan oleh BI. Walaupun dampaknya tidak begitu besar terhadap penurunan biaya dana yang dapat dipinjamkan, kebijakan pemerintah menurunkan RR ataupun GWM dapat dilakukan.

Penentuan spread adalah selisih antara biaya dana dan tingkat bunga kredit. Secara sederhana, penghitungan spreadadalah perkiraan keuntungan dibagi rata-rata proyeksi penyaluran kredit. Kondisi ini menunjukkan spread sama sekali di luar kendali pemerintah dan sangat dipengaruhi kinerja perbankan. Komponen berikutnya dalam suku bunga kredit adalah biaya overhead, yaitu semua biaya yang dikeluarkan bank dalam kegiatan penghimpunan dana. Biaya ini jelas di luar kendali pemerintah untuk mengaturnya dan sangat tergantung efisiensi perbankan. Selanjutnya yang juga menentukan adalah premi risiko yang sangat ditentukan oleh kualitas piutang perbankan. Semakin sedikit kredit macet, semakin kecil premi risiko. Peran pemerintah dalam hal ini adalah pengawasan kinerja kredit perbankan.

Penurunan suku bunga kredit mempunyai celah untuk direalisasikan dari sudut pandang struktur pasar industri perbankan Indonesia yang cenderung oligopolis dengan kepemimpinan harga. Struktur perbankan Indonesia dari sisi DPK didominasi Bank BUKU 4 (modal intinya di atas Rp 30 triliun). Bank-bank tersebut tiga adalah bank BUMN (Mandiri, BRI, dan BNI 1946) dan satu bank swasta nasional (BCA). Keempat bank itu menguasai sekitar 46 persen DPK di seluruh perbankan Indonesia. Struktur pasar oligopolis model kepemimpinan mempunyai potensi penurunan suku bunga yang dimotori bank-bank BUMN yang akan diikuti bank-bank lain. Model seperti "Gebrakan Sumarlin" untuk menambah likuiditas di perbankan dapat membantu mendorong "keberanian" bank-bank itu menurunkan suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Penambahan likuiditas berbiaya murah memberi sinyal beban penurunan suku bunga tak hanya di pundak BUMN perbankan, tetapi juga BUMN secara keseluruhan.

Kredit yang akan disalurkan oleh perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kredit kepada sektor yang produktif yang mempunyai multiplier besar. Data statistik perbankan Indonesia menunjukkan, pada kuartal IV-2014 dan 2015, penyaluran kredit ke sektor rumah tangga menempati urutan pertama masing-masing 22,66 persen dan 22,58 persen. Kredit ke sektor rumah tangga pada umumnya kredit konsumsi yang kurang produktif. Urutan kedua adalah perdagangan besar dan eceran sebesar 19,51 persen dan 19,53 persen. Sektor perdagangan besar dan eceran tak berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Industri pengolahan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi menempati urutan ketiga, sebesar 17,98 persen pada kuartal IV-2014 dan 18,73 persen pada kuartal IV-2015. Sementara penyaluran kredit di sektor lain, seperti pertanian, pertambangan, listrik, gas, dan air, serta konstruksi, kurang dari 5 persen. Tampaknya, dalam jangka menengah dan panjang, perlu semacam perangkat insentif untuk mendorong penyaluran kredit di sektor-sektor produktif industri pengolahan yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter tetap harus dilakukan. Persoalan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif mau tidak mau harus dilakukan dengan meningkatkan sumber penerimaan APBN berupa utang pemerintah yang masih mempunyai celah untuk ditingkatkan. Dari sisi kebijakan mendorong penurunan suku bunga kredit melalui kebijakan moneter, memang tak bisa terjadi dalam jangka pendek peran kinerja dan efisiensi perbankan serta pilihan investasi nasabah perlu mendapat perhatian tersendiri, tetapi struktur pasar kredit perbankan yang oligopolis dalam kepemimpinan harga menjadi celah untuk memperlancar mekanisme penurunan suku bunga.

Oleh YB Suhartoko
Disadur dari Kompas, Senin, 18 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar