Editors Picks

Kamis, 19 Mei 2016

Mengendalikan Konsumsi Pangan

Harga pangan yang kian mahal sudah sering menjadi diskusi publik. Penyumbang terbesar inflasi pada Maret 2016 adalah bahan makanan sebesar 0,69% (BPS, April 2016).

Meski harga beras turun, ke depan patut dikendalikan lebih baik lagi mengingat sudah semakin dekat bulan puasa dan konsumsi Januari 2016 bisa menjadi pelajaran. Lonjakan harga beras mulai kualitas premium, medium, hingga rendah, menjadi salah satu pemicu inflasi dan tercatat sebesar 0,51%. Rantai pasok beras yang panjang dari hulu ke hilir menyebabkan banyak kutipan yang mendorong harga beras makin mahal, namun petani semakin terpinggirkan. Petani tidak bisa menentukan nasib sendiri karena hampir semua lini dikuasai pedagang dan perantara.

Pelaku pemasaran dianggap sumber masalah yang membuat harga bergejolak karena terlalu besar mengambil keuntungan. Karena itu, rantai pemasaran perlu diperpendek dan pelakunya dikurangi untuk mengurangi ruang gerak para penari rente dari bisnis perut rakyat ini.

Gejolak Harga
Para pengamat kedaulatan pangan melihat terjadi permainan mafia di balik kenaikan harga beras akhir-akhir ini, yang menetaskan gejolak harga pangan. Muaranya, pemerintah membuka kran impor beras untuk menstabilkan harga. Pemerintah menuding perusahaan-perusahaan beras skala besar melakukan kartel untuk memengaruhi kebijakan pemerintah mengimpor beras.

Pasokan beras di sejumlah sentra produksi seperti Karawang, Jawa Barat, melimpah akhir 2015. Ironisnya, beras ini tidak bisa masuk ke Jakarta. Di sisi lain melihat data produksi dan stok beras nasional, sebenarnya ketersediaan beras dalam kondisi aman. Data terkini menunjukkan produksi padi nasional 2015 mencapai 74 juta ton gabah kering giling. Jika jumlah ini dikonversi ke beras, sudah mencapai 45 juta ton. Berdasarkan data produksi padi 2015, Indonesia sesungguhnya sudah surplus beras sekitar 10 juta ton.

Kebutuhan beras nasional versi Kementerian Pertanian dengan asumsi jumlah penduduk 253 juta orang, konsumsi per kapita per tahun 139 kilogram per kapita per tahun, hanya mencapai 35 juta ton. Lantas pertanyaannya, mengapa harga kebutuhan pokok ini naik secara signifikan? Apabila pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya, diprediksi akan terjadi gejolak sosial yang bisa memantik kerusuhan. Perut tidak bisa diajak kompromi jika sudah lapar.

Penyediaan pangan pokok tidak bisa lagi hanya mengandalkan beras, dan tergantung pada negara lain, karena tiap negara akan mendahulukan kepentingan negaranya. Produksi pangan harus bisa dilakukan secara mandiri agar Indonesia yang dikenal sebagai bangsa agraris bisa berdaulat atas pangan. Sistem usaha tani harus disesuaikan dengan sumber daya lokal untuk mengendalikan gejolak pangan.

Selama ini harga beras yang semakin mahal ternyata efeknya tidak dinikmati petani untuk mengontrol kesejahteraannya. Justru mereka dikendalikan para pengijon bergaya mafia. Petani menjual gabah sebelum panen berlangsung atas desakan ekonomi. Stok beras pun ada di tangan pedagang –bahkan dikendalikan oleh segelintir pemain bermodal besar– dan mereka pun bisa membuat harga beras tetap mahal meski baru panen. Lonjakan harga yang sangat signifikan bisa terjadi karena ulah mafia pangan, yang bisa mengendalikan secara lihai sistem ketersediaan dan distribusi.

Para mafia ini memanfaatkan secara baik kegaduhan politik di dalam negeri. Energi pemerintah habis terkuras untuk persoalan Panama Papers, Pilkada DKI 2017, korupsi di berbagai lembaga pemerintahan, dan persoalan politik lainnya sehingga lalai menata politik kedaulatan pangan. Dengan semakin dekatnya bulan puasa, pemerintah harus bisa memastikan ketersediaan beras, daging, dan kelompok pangan lainnya dalam posisi aman dengan harga terjangkau daya beli masyarakat. Beras mi-salnya, sebagai makanan pokok, seperti selama ini ketersediaannya, bisa dipermainkan para pemburu rente bermodal gede.

Upaya menciptakan kelangkaan beras untuk memicu kenaikan harga acap direkayasa sedemikian rupa. Tujuannya agar pemerintah menutup kelangkaan dengan beras impor. Permainan para mafia semakin sempurna. Kenaikan harga di tingkat grosir secara otomatis diikuti pedagang eceran. Sambil melakukan penimbunan, efek domino kenaikan harga menjadi kekuatan mereka untuk bermain lebih leluasa di ruang ketersediaan dan distribusi beras.

Melakukan Perbaikan
Pemerintah harus lebih serius melakukan stabilitas harga beras dengan membuat perbaikan dan pengawasan produksi, distribusi, dan konsumsi. Operasi beras secara langsung kepada konsumen merupakan pilihan terbaik. Selain itu, pemerintah juga sudah sepatutnya memperbaiki sistem distribusi beras nasional dari hulu ke hilir. Merujuk pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa tahun lalu, produksi beras nasional tidak sesuai target dan sering memboroskan anggaran karena lemahnya pengawasan.

Ketidakefektifan penggunaan anggaran juga terjadi pada program perluasan lahan pertanian dan percetakan sawah baru. Politik kedaulatan pangan seakan berjalan dengan sendirinya, tanpa kehadiran kinerja yang baik dari pemerintah. Negara mengalami autopilot karena pemerintah belum berhasil membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian peningkatan produksi beras nasional kerap ”dinyanyikan” pemerintah pusat, sebagai kinerjanya di tengah harga pangan global yang makin mahal.

Gerakan masyarakat petani lokal yang berjalan dengan sendirinya tanpa dikelola secara baik oleh otoritas pemerintah sesungguhnya adalah lokomotif yang menarik gerbong percepatan produksi beras nasional. Ketika harga berbagai kebutuhan pokok terkatrol oleh permainan mafia pangan, masyarakat merasakan ketidakhadiran pemerintah untuk menstabilkan. Pemerintah kerap bertindak seperti pemadam kebakaran untuk memadamkan gejolak tanpa memadamkan akar masalah.

Masyarakat tetap dibiarkan dengan pola konsumsi pangan yang mengkristal pada beras sehingga menjadi ruang inkubasi yang dimanfaatkan para mafia beras si pemburu rente. Meskipun sudah digulirkan sejak tujuh tahun lalu Perpres Nomor 22/2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, upaya mencari solusi terhadap tingginya konsumsi beras sangat lamban dan kurang menyentuh akar permasalahan.

Menyangkut upaya pengurangan konsumsi beras sekitar 1,5% per tahun misalnya, pemerintah dalam memformat model pengembangan pangan pokok lokal (MP3L) untuk mensubstitusi beras nyaris jalan di tempat, untuk tidak mengatakan gagal. Pemerintah belum serius mengembangkan tanaman umbi-umbian yang relatif lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim dibanding tanaman padi.

Dengan semakin mahalnya harga beras, pemerintah seharusnya tidak perlu panik dengan membuka kran impor beras yang efek jangka panjangnya sangat merugikan petani lokal. Yang patut dilakukan adalah mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal dan memperpendek rantai pasok. Mengendalikan konsumsi pangan patut dilakukan secara lebih serius untuk mengurangi ruang gerak permainan para mafia beras dengan meningkatkan upaya percepatan diversifikasi konsumsi pangan seraya mengurangi volume penyaluran raskin setiap tahun.

Pengurangan konsumsi beras secara bertahap harus didukung dengan program MP3L berkelanjutan. Program ini langkah strategis untuk dilakukan pemerintah sebagai mesin percepatan diversifikasi konsumsi pangan. Paling tidak tiga cara berikut patut dipertimbangkan dilakukan untuk pengembangan produk pangan pokok lokal yang mendukung penguatan kedaulatan pangan. Pertama, masyarakat didorong untuk meningkatkan proporsi konsumsi pangan sumber karbohidrat lokal nonberas.

Kedua, menumbuhkan kelembagaan usaha kecil, menengah industri pangan nonberas berbasis sumber daya lokal. Ketiga, pengembangan teknologi tepat guna untuk pengolahan pangan pokok lokal yang mudah diakses masyarakat. Ke depan tiga langkah itu bisa dijadikan sebagai gerbong yang menarik percepatan penganekaragaman konsumsi pangan dan mesin penghela one day no rice guna mengurangi konsumsi beras.

Mengendalikan konsumsi pangan bisa dilakukan lewat kampanye program one day no rice secara berkelanjutan dengan mengajak dan menyapa publik bahwa makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi, mi, atau roti dari terigu. Jika program ini dirancang lebih persuasif, masyarakat mau diajak terlibat untuk meningkatkan konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal.

oleh Posman Sibuea
disadur dari Koran Sindo, Rabu, 18 Mei 2016
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar