Editors Picks

Senin, 16 Mei 2016

Menimbang Predikat Layak Investasi


Apa artinya peringkat layak investasi bagi kita? Secara teknis, kenaikan peringkat utang akan menurunkan biaya penerbitan surat utang pemerintah. Paling tidak begitulah asumsi normatifnya. Namun, pada kenyataannya, masih banyak faktor lain yang akan menentukan bunga obligasi pemerintah. Artinya, kalaupun kita memperoleh peringkat layak investasi, tak serta-merta bunga akan turun signifikan.

Sementara itu, harapan atas predikat layak investasi begitu besar. Rentetan dampaknya diharapkan sampai pada terlaksananya transformasi demi meningkatkan kapasitas ekonomi domestik. Di sini terlihat betapa harapan dan realitas bisa mengandung kesenjangan luar biasa.

Minggu lalu, setelah para petinggi Standard & Poor's (S&P) bertemu Presiden, proyeksi peringkat utang kita dinaikkan dari kategori stabil ke positif. Meski masih di level spekulatif (BB+), potensi naik menjadi layak investasi dalam 12 bulan ke depan sudah terbuka lebar. Lembaga pemeringkat lainnya, Moody's Investor Service dan Fitch Rating, sudah lama menempatkan Indonesia pada level layak investasi. Japan Credit Rating Agency dan Rating Investment Information Inc bahkan sudah lebih lama lagi memosisikan Indonesia pada level itu.

Lembaga pemeringkat S&P masih menunggu perkembangan, setidaknya dalam dua hal pokok. Pertama, perkembangan fiskal terkait pelaksanaan UU Pengampunan Pajak. Seperti dijanjikan pemerintah, kebijakan pengampunan pajak akan meningkatkan pendapatan pajak selain meningkatkan aliran modal pada perekonomian domestik. Lalu bagaimana jika UU ini gagal disahkan? Ada potensi penerimaan pajak meleset Rp 300 triliun atau lebih dari target. Kedua, keberhasilan melakukan sinkronisasi dalam implementasi paket kebijakan ekonomi.

Paket kebijakan jilid I hingga XII diluncurkan guna menyederhanakan prosedur investasi sekaligus mempermudah menjalankan usaha di Indonesia. Namun, untuk mempermudah menjalankan usaha, tak sekadar perlu merilis aturan, tetapi juga lebih jauh lagi, yaitu menjalankan transformasi perekonomian, bahkan hingga level daerah.

Dalam laporan Kemudahan Menjalankan Bisnis 2016 terbitan Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-109, jauh lebih buruk dari Malaysia (peringkat ke-18), Tiongkok (84), dan Filipina (103). Dibandingkan dengan India (130), kita memang lebih baik.

Peringkat Kemudahan Menjalankan Bisnis itu dinilai dari siklus menjalankan usaha, mulai dari pengurusan izin, permodalan, hingga penyelesaian sengketa dan prosedur kepailitan. Komitmen Presiden meningkatkan peringkat kemudahan bisnis setara dengan Thailand patut didukung. Upaya ini tak semata-mata diarahkan untuk mencapai peringkat layak investasi. Justru sebaliknya, pencapaian peringkat layak investasi harus diletakkan dalam upaya melakukan transformasi bisnis yang salah satu indikasinya ditunjukkan dengan perbaikan peringkat kemudahan berbisnis.

Rabun jauh
Jika orientasi utamanya hanya mengejar peringkat layak investasi dari lembaga pemeringkat, justru kita sedang mengerdilkan cita-cita pembangunan ekonomi. Bahaya jika para pengambil kebijakan punya tendensi mengidap "penyakit rabun jauh". Hanya peduli pada pencapaian jangka pendek, tanpa melihat kepentingan jangka panjang.

Di negara maju sejak krisis 2008, lembaga pemeringkat sudah banyak digugat karena ketidakmampuan (ketidakmauan) melihat konteks yang lebih luas. Banyak institusi keuangan mendapatkan predikat bagus, padahal neracanya penuh rekayasa. Fenomena ini hanyalah contoh bagaimana upaya mengejar kepentingan jangka pendek telah membutakan fakta serta kepentingan jangka panjang.

Baru-baru ini, Joseph Stiglitz merilis buku berjudul Rewriting the Rules of the American Economy. Buku ini cukup getir menggambarkan, seberapa pun pemulihan dan pertumbuhan mulai berdengung di Amerika Serikat, masyarakat tetap merasa pendapatan mereka tak meningkat, sedangkan kemampuan membayar utang terus menurun. Salah satu akar masalahnya, kebijakan pemerintah yang cenderung membiarkan kesenjangan justru merajalela, baik saat krisis maupun pada fase pemulihan. Pemulihan ekonomi hanya menyentuh segelintir elite, sedangkan kelompok lainnya terabaikan. Hal itu disebabkan pemerintah hanya peduli pada pencapaian jangka pendek.

Belajar dari pengalaman banyak negara, ada baiknya rancang bangun kebijakan kita dikonsolidasikan dengan baik. Jangan sampai target jangka pendek justru mengorbankan kepentingan jangka panjang.

Di bidang fiskal, pencapaian target jangka pendek penerimaan pajak memang sangat diperlukan. Namun, jangan sampai hal itu "dibayar" dengan transaksi politik terkait UU Pengampunan Pajak. Mencapai peringkat layak investasi penting, tetapi bukanlah tujuan akhir karena yang lebih penting adalah transformasi ekonomi secara menyeluruh.

Paling tidak, ada dua pertanyaan yang layak diajukan. Pertama, jika kita berhasil mendapatkan predikat layak investasi dalam 12 bulan ke depan, kebijakan lanjutan macam apa yang harus disiapkan dari sekarang. Kedua, jika kita gagal mendapatkan predikat itu, langkah antisipasi seperti apa yang harus kita rancang. Pendek kata, tanpa atau dengan predikat layak investasi, transformasi ekonomi harus tetap berjalan. Perspektif kita pun harus bersifat jangka panjang dan menyeluruh, jangan parsial dan myopic.

oleh A. Prasetyantoko
disadur dari Kompas, Senin, 16 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar