Editors Picks

Senin, 16 Mei 2016

Andai Bung Masih Ada...



Presiden Soekarno berkali-kali memprotes filsuf Inggris Bertrand Russell (1872-1970). Russel memilah umat manusia menjadi dua: penganut ajaran Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau penganut ajaran Manifesto Komunis. ”Maafkan Lord Russel, saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira tuan melupakan adanya lebih seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat Amerika Latin yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis atau Declaration of Independence...” ujar Bung Karno. ”Sesuatu itu kami namakan Pancasila,” tandas Bung Karno.

Pancasila adalah jiwa bangsa. Setelah membangun bangsa (nation-building) pada 1945, Bung Karno bergerak cepat menggelorakan pembangunan karakter bangsa (character-building). Propaganda nation and character building menjadi mantra sakti di era revolusi. Tanpa jiwa, bangsa ini ibarat manekin kosong.

Pada Sidang Umum ke-2 MPRS di Bandung, 15 Mei 1963, persis 53 tahun silam, Bung Karno menyerukan, ”Kini kita lanjutkan lagi, kita tingkatkan lagi nation-building kita ke taraf character-building dengan pembangunan watak bangsa Indonesia.” Impiannya adalah bangsa bermartabat, tidak minder di antara bangsa-bangsa lain, berjalan dengan kepala tegak.

Pada zaman Bung Karno, Indonesia mampu menjadi pemain dunia, antara lain Konferensi Asia Afrika, kekuatan baru The Emerging Forces (Nefos), dan Gerakan Non-Blok. Indonesia pun diperhitungkan oleh Blok Barat (Amerika Serikat dkk) dan Blok Timur (Uni Soviet dkk).
Dengan semangat revolusi, banyak jargon politik untuk membentuk karakter bangsa. Tersebutlah Tubapi (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi), antara lain Pancasila, UUD 1945, Manipol Usdek.
Kala itu, pembentukan watak bangsa terasa sangat sakral. Romantisisme bangsa baru memang tengah berkobar-kobar.

Namun, semua itu seakan tersisa menjadi artefak sejarah. Belakangan ini, hati terasa teriris-iris menyaksikan perilaku masyarakat kita. Di Rejang Lebong, Bengkulu, ada remaja putri diperkosa dan dibunuh 14 lelaki, sebagian pelaku masih remaja. Di Sulawesi Utara, juga remaja putri diduga diperkosa 15 lelaki. Di Medan ada dosen dibunuh mahasiswanya. Kebiadaban mengintai masyarakat? Apa yang terjadi dengan masyarakat kita kini?

Kemudian ada bupati, polisi, tentara ditangkap karena kasus narkoba. Paling parah adalah kerusakan mental elite politik kita yang tidak jera-jeranya mencoleng uang rakyat. Terlalu sedikit jari-jari kita untuk menghitung bupati/wali kota, anggota DPRD/DPR, penegak hukum/hakim/polisi yang terlibat korupsi. Beginikah citra dan watak bangsa Indonesia?

Apa mau dikata, kebobrokan mental masyarakat kita barangkali sudah kelewat batas. Paling simpel lihat perilaku berkendara di jalan. Aturan lalu lintas dilanggar, sudah ”sangat biasa”. Sampai Daffa, anak kelas III SD di Semarang, menghadang sendiri pengendara motor yang melewati trotoar, beberapa pekan lalu.

Presiden Joko Widodo datang dengan program revolusi mental, meneruskan Bung Karno. Namun, tampaknya Jokowi lebih getol mendorong pembangunan fisik (infrastruktur), seperti jalan, kereta cepat, waduk, irigasi, dan listrik. Semua itu memang dibutuhkan, terlebih selama 18 tahun reformasi ini tersia-siakan.

Namun, kalau soal pembangunan fisik, era Bung Karno juga sudah marak, bahkan masih menjadi ikon sampai hari ini. Contoh termudah Gelora Bung Karno, Monas, Gedung Parlemen, juga pabrik baja di Cilegon atau pabrik semen di Padang dan Gresik.

Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto bahkan mungkin terbanyak membangun infrastruktur. Sejak booming minyak awal 1970-an, pembangunan fisik terus digeber, mulai sektor agraris hingga kedirgantaraan. Kala itu Pak Harto menerapkan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dengan trilogi pembangunan, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan.

Meskipun demikian, Pak Harto tidak lupa membangun watak manusia Indonesia. Ada pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), ada Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Memang, caranya indoktrinasi. Sampai-sampai P4 diplesetkan menjadi ”pergi pagi pulang petang” gara-gara menyita waktu dan membosankan. Nah, revolusi mental semestinya bukan indoktrinasi dan tidak membosankan.

Gaya seperti Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), misalnya, ternyata juga bisa mengubah karakter orang. Seorang warga di Kepulauan Seribu bercerita biasanya PNS selalu duduk santai di bawah pohon di tepi pantai pada jam-jam kerja. Namun, sejak Ahok berkuasa, tidak ada lagi yang berani kongko-kongko saat jam kerja.

Sampai tahun 1990-an, di taman-taman di Singapura banyak terlihat plang nama tercantum sanksi denda (fine), misalnya larangan meludah, membuang permen karet, atau menginjak rumput. Kini, setelah karakter terinternalisasi menjadi kultur bangsa, rasanya Singapura tak merasa perlu lagi papan nama seperti itu.

Melihat ke negeri sendiri hari-hari ini teringat kembali gelombang reformasi 18 tahun silam yang penuh tragedi: penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan masif, kekerasan brutal, sampai tumbangnya rezim Soeharto. Sayang, reformasi belum mampu membangun watak bangsa lebih baik. Mungkin, karena banyak penumpang gelap yang lompat ke gerbong reformasi.

”Saya katakan, segala kegagalan-kegagalan, segala keseratan-keseratan, segala kemacetan-kemacetan dalam usaha kita yang kita alami dalam periode survival dan investment itu, tidak semata-mata disebabkan oleh kekurangan-kekurangan atau ketololan-ketololan yang inheren melekat kepada bangsa Indonesia sendiri, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang yang tolol, atau bangsa yang bodoh, atau bangsa yang tidak mampu apa-apa—tidak!—segala kegagalan, keseratan, kemacetan itu pada pokoknya adalah disebabkan oleh karena kita, sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, telah menyeleweng dari jiwa, dari dasar, dan dari tujuan revolusi,” teriak Bung Karno dalam pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita pada peringatan 17 Agustus 1959.

Ah, andai Bung masih ada....

oleh M. Subhan SD
disadur dari Kompas, Sabtu, 14 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar