Editors Picks

Senin, 16 Mei 2016

Menghindari Jebakan Resesi

Kinerja perekonomian dunia sepanjang 2016 dipastikan masih memprihatinkan, mengarah pada stagnasi berkepanjangan yang belum tampak titik terangnya.

Meminjam istilah Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde, kondisi perekonomian global memasuki era the New Mediocre. Hampir semua kategori negara, baik maju, berkembang, maupun emerging markets, harap-harap cemas. Bahkan mesin ekonomi AS yang diharapkan menjadi satu-satunya motor penggerak ekonomi global, telah kehabisan napas.

Yang paling mengkhawatirkan menurut PBB dalam laporan bertajuk World Economic Situation and Prospect 2016, ekonomi negara berkembang diperkirakan hanya tumbuh rata-rata 3,8 persen, terendah sejak krisis keuangan global 2009, dan dapat disejajarkan dengan kondisi resesi ekonomi dunia 2001. Penyebabnya, turunnya harga komoditas dunia, yang tahun ini diperkirakan masih akan turun sekitar 10 persen.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok, menurut IMF, terus menurun lima tahun terakhir, dari 10,6 persen pada 2010 ke 6,9 persen pada 2015 dan diproyeksikan 6,3 persen pada 2016. Rusia dan Brasil terpuruk ke jurang resesi. Negara petro dollar sekelas Arab Saudi pun sempoyongan akibat anjloknya harga minyak.

Penyebab utama kelesuan ekonomi global adalah lemahnya permintaan agregat dunia yang dipicu meningkatnya ketimpangan dan pengetatan fiskal yang secara ekonomis dirasa kurang rasional. Kelompok yang di atas membelanjakan pendapatannya lebih sedikit dari kelompok di bawah, sehingga jumlah uang yang ditempatkan di keuangan jauh melebihi dana yang dibelanjakan. Dunia kelebihan uang yang menganggur yang ditempatkan di sistem keuangan, terutama di sistem perbankan.

Di samping itu, dunia sedang menghadapi proses transformasi struktural yang berat dan menyakitkan. Di AS dan Eropa sedang berlangsung transformasi dari manufaktur ke sektor jasa. Di Tiongkok dari ekonomi yang digerakkan ekspor ke ekonomi yang dimotori permintaan domestik. Begitu pula, kebanyakan negara yang ekonominya berbasis komoditas, seperti Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Asia—termasuk Indonesia—kurang mampu memanfaatkan peluang untuk mendiversifikasikan perekonomiannya selama booming harga komoditas. Akibatnya, negara-negara itu benar-benar mengalami kesulitan ekonomi akibat turunnya harga komoditas ekspor utama mereka.

Menghindari jebakan
Bagaimana dunia bisa menghindar dari jebakan stagnasi yang mengarah pada resesi global ini? Jawabnya, menurut beberapa pakar ekonomi, productive quantitative easing policies. Yaitu, suatu implementasi kebijakan dengan cara menyediakan likuiditas internasional yang memadai untuk menutup kebutuhan investasi di proyek infrastruktur. Mirip-mirip kombinasi quantitative easing AS dan Proyek Manhattan, tetapi skalanya global.

Siapa yang mampu melakukan kebijakan itu? Jawabnya: AS, zona euro, Inggris, Jepang, dan Tiongkok, yaitu negara-negara yang mata uangnya digunakan sebagai cadangan devisa resmi internasional. Namun, mencermati kondisi ekonomi negara-negara itu serta trade off yang ditimbulkannya, rasanya berat mereka mampu melakukannya. Hal ini karena bagi negara yang mengimplementasikan kebijakan itu, mereka akan menghadapi Triffin dilemma, pertentangan antara kepentingan internasional jangka panjang dan kepentingan domestik jangka pendek.

Dalam perekonomian dunia yang tingkat bunganya hampir mendekati nol, dollar AS yang menguat akan mengakibatkan deflasi di pasar global, mirip dengan kondisi masih diberlakukannya standar emas dalam transaksi keuangan internasional tahun 1930-an. Meski demikian, sebenarnya negara yang paling mampu menarik dunia dari jebakan resesi adalah AS. Namun, langkah ini perlu keberanian untuk mengatasi Triffin dilemma. Dengan memenuhi permintaan likuiditas global, negara tersebut akan mengalami peningkatan risiko, berupa pelebaran defisit transaksi berjalan.

Tampaknya, AS tak akan berani menghadapi risiko ini. Begitu pula negara maju lain yang mata uangnya digunakan sebagai cadangan devisa resmi internasional. Pertumbuhan yang stagnan dan beban utang yang tinggi di Eropa dan Jepang telah menurunkan moral pengambil kebijakan untuk menaikkan pajak atau melakukan pinjaman agar ada ruang untuk kebijakan ekspansi fiskalnya. Sebagai akibatnya, kebijakan moneter negara maju telah sangat terbebani, sehingga hampir tidak ada celah untuk bermanuver.

Dari 2007 hingga 2014, bank sentral empat negara pencipta cadangan devisa resmi internasional (AS, euro, Inggris, dan Jepang) telah melakukan ekspansi neraca mereka 7,2 triliun dollar AS. Sebagai akibatnya, uang beredar meningkat 9 triliun dollar AS, tapi kredit swasta hanya meningkat 1,8 triliun dollar AS, yang mengindikasikan kelemahan transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.

Selain itu, meski tingkat bunga mendekati nol mengurangi beban biaya pembayaran bunga pinjaman, tetapi beban utang riilnya mengalami peningkatan karena penurunan inflasi. Selama rumah tangga dan perusahaan terus melakukan pengurangan utang, pada hakikatnya neraca negara-negara tersebut telah mengalami resesi.

Satu-satunya kandidat negara berkembang yang mampu memompa likuiditas internasional adalah Tiongkok. Namun, Tiongkok dihadapkan pada penurunan kinerja perekonomian yang mencemaskan yang belum diketahui ujungnya, sehingga Tiongkok disibukkan oleh tantangan domestik yang luar biasa, sehingga perekonomiannya dikhawatirkan akan mengalami hard landing.

Mekanisme transmisi
Permasalahan global saat ini bukan tak adanya peluang, tetapi karena tak adanya kemauan politik untuk mendorong permintaan agregat global. Sebenarnya investasi di sektor publik masih terbuka lebar, yaitu investasi infrastruktur yang dibutuhkan negara berkembang dan investasi untuk memitigasi perubahan cuaca yang mampu mengangkat dunia dari jebakan resesi. Diperlukan sekitar 6 triliun dollar AS per tahun selama 15 tahun ke depan untuk investasi infrastruktur guna mengatasi pemanasan global.

G-30 juga memperkirakan perlu tambahan dana sekitar 7,1 triliun dollar AS per tahun untuk investasi di sembilan negara utama—mewakili 60 persen PDB dunia—guna mendorong pertumbuhan ekonomi global menuju dunia yang kian sejahtera.

Mengingat tak adanya negara pencipta cadangan devisa internasional (termasuk AS) yang bersedia menggelontorkan likuiditas yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan investasi di infrastruktur, harus diciptakan mata uang baru yang berlaku sebagai likuiditas internasional, di mana yang menerbitkannya tak menghadapi risiko Triffin dilemma. Tinggal hanya satu pilihan: Special Drawing Right (SDR) IMF.

Jalan untuk menjadikan SDR sebagai likuiditas internasional masih panjang, karena SDR saat ini hanya berfungsi sebagai aset cadangan (reserve asset), yang kapitalisasinya hanya 285 miliar dollar AS, relatif sangat kecil dibandingkan cadangan devisa global yang mencapai 10,5 triliun dollar AS (di luar emas moneter). Namun, perluasan peran SDR dalam arsitektur keuangan global yang baru—yang bertujuan untuk membuat mekanisme transmisi kebijakan moneter lebih efektif— dapat dicapai tanpa hambatan yang berarti. Hal ini karena, secara konseptual peningkatan SDR setara dengan peningkatan neraca bank sentral global (quantitative easing).

Bank-bank sentral memperbesar neracanya dengan cara berinvestasi melalui IMF dalam bentuk peningkatan SDR-nya. Karena SDR berfungsi sebagai ekuitas, berarti dapat diinvestasikan di bank dunia atau lembaga perbankan multilateral lainnya, untuk pembiayaan investasi di sektor publik. Penarikan SDR- nya dapat diatur sedemikian rupa untuk menghindari dampak inflatoir berlebihan.

Contoh skenarionya sebagai berikut. Bank-bank sentral meningkatkan alokasi SDR-nya di IMF, misalnya, 1 triliun dollar AS. Kalau leverage-nya lima kali, IMF dapat meningkatkan pinjaman ke anggotanya atau menginvestasikan di proyek infrastruktur melalui bank pembangunan multilateral setidak-tidaknya 5 triliun dollar AS. Di samping itu, bank pembangunan multilateral dapat meningkatkan leverage-nya dengan melakukan pinjaman di pasar modal, sehingga ketersediaan dananya bisa kian membesar. Kemudian, proyeknya dapat dijual kembali ke investor sebagai sekuritas yang dijamin aset berupa proyek infrastruktur untuk membiayai proyek-proyek baru. Meski demikian, tercipta efek pengganda yang mampu mendorong ekonomi global lari lebih kencang.

Pada sistem keuangan konvensional, dana yang tersedia untuk investasi terkendala oleh jumlah tabungan yang tercipta. Akan tetapi, dengan kerangka sistem moneter internasional yang baru tersebut, dengan menggunakan kebijakan moneter yang lebih kreatif, likuiditas, dan kredit internasional dapat diciptakan tanpa terkendala oleh pembentukan tabungan global, yang hanya berdampak relatif kecil terhadap inflasi. Syaratnya, kondisi perekonomian global mengalami kelebihan kapasitas produksi dan lemahnya permintaan agregat.
oleh Tri Winarno
disadur dari Kompas, Kamis, 12 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar