Memang, sebelum menjewer operator yang bandel, pemerintah yang bijak memeriksa business process yang terjadi, dan menjewer aparatur birokrasinya bila terkesan "mempersulit".
Namun kalau kita sisir jauh ke dalam, maka masih banyak pekerjaan rumah penyederhanaan birokrasi yang harus dilakukan. Apa yang diatasi hari ini barulah seperempat dari masalah besar yang masih akan menghantui para pengemudi taksi konvensional dan persaingan.
Tanpa memahami proses bisnisnya sendiri dalam soal perijinan dan kelambatan kita menciptakan pemerintahan yang efisien, dapat dipastikan pertarungan antarmazhab sopir taksi ini masih belum selesai. Sebab muaranya adalah ancaman kesejahteraan pengemudi, bukan operator.
Kalau solusinya memaksa agar pelaku sharing economy mengikuti aturan taksi konvensional, maka jelas esensi perubahan belum ditangkap. Level of playing field-nya sama, tetapi pelanggan sudah tak rela membayar inefisiensi.
Inefisiensi bisa terjadi karena aturan yang belum menjawab kebutuhan zaman, belum smart government; namun bisa juga karena desain bisnis korporasi yang kurang fit dengan tuntutan baru pelanggannya. Downshifting (perpindahan pasar) masih akan terus terjadi. Dan kesejahteraan pengemudi taksi konvensional masih menghadapi batu ujian yang besar.
Mari kita pelajari.
Teknologi Analitik
Beberapa tahun belakangan ini ada banyak mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri mendalami ilmu analitik dan big data. Sekembalinya ke tanah air, mereka jadi rebutan sejumlah start up. Teknologi yang tersedia kini mampu mengolah data populasi (bukan lagi sample) secara lebih akurat sampai memetakan perilaku riil konsumen dari menit ke menit.
Mereka jadi tahu demand yang tinggi itu ada dimana, pada jam-jam berapa saja dan berapa biaya yang bersedia dibayar pelanggan. Dengan begitu pasar tak ada yang terbuang. Semua permintaan bisa diambil asal ada akses, tools dan pasokannya.
Grabcar misalnya, tumbuh menjadi cepat bukan semata-mata karena aplikasi, melainkan karena mereka memiliki strategic weapon untuk meneropong pasar dan mengerahkan suplai seketika ada demand. Untuk menangkap semua itu, mereka menguasai ilmu manajemen tingkat tinggi, menyisir "lemak-lemak" yang membuat organisasi inefisien dan malas bergerak. Setangkas cheetah mengejar rusa, dengan analitik yang kuat mereka menyisir pasar. Memantau kepadatan lalu lintas melalui satelit.
Jabodetabek mereka bagi menjadi puluhan titik. Maka mazhab penetapan harga pun berubah. Dari putaran roda (argometer yang biasa dipakai taksi konvensional), ke hukum supply-demand karena keduanya berubah dari detik ke detik. Mereka tahu konsumen bersedia membayar lebih dalam situasi tertentu kalau diberitahu sebelum perjalanan dimulai.
Pada jam-jam tertentu di area tertentu harga boleh lebih mahal, karena konsumen butuh, sementara taksi konvensional sedang tak ada. Itulah esensi konsumen di kota besar. Butuh akses pada tempat, harga dan waktu yang tepat.
Dengan begitu harga bergerak fleksibel. Demikian pula saat demand turun, harga pun turun. Sementara taksi konvensional terikat regulasi tarif batas bawah yang melarangnya menurunkan harga kala demand turun.
Padahal jasa tak bisa disimpan, dan suplpy-demand di kawasan urban kini berubah-ubah dalam hitungan detik, bukan bulan atau tahun, juga bukan semata-mata karena perubahan harga BBM. Di sisi lain, teknologi ini membuat total biaya pelanggan lebih murah.
Tetapi teknologi yang dimiliki masing-masing operator dalam sharing economy di sini juga berbeda-beda. Ada saja yang memasukkan unsur jarak dan kemacetan. Jadi ada yang masih menggunakan putaran roda dan waktu sehingga membuat konsumen marah karena harga ditetapkan setelah jasa dikonsumsi. Itu bisa saja terjadi.
Teknologi Pengerahan Supply
Setelah tahu rumusnya, tahap kedua adalah pengerahan supply tepat pada waktunya. Ini jelas membutuhkan manajemen tingkat tinggi, termasuk melibatkan mereka yang menganggur. Bahasa ekonominya adalah memanfaatkan idle producers, atau underutilized capacity. Metode ini menjadi relevan dalam sharing economy.
Ini mengacu pada orang-orang yang tiba-tiba ingin “narik” di luar jam kerja sebagai part timer. Apakah itu buruh-buruh lepas pantai yang sedang off di rumahnya, pekerja yang sedang jobless untuk sementara waktu, mahasiswa yang sedang tidak ada tugas, atau pensiunan yang sedang tidak mengurus cucu.
Partisipasi mereka dalam sistem sharing economy terjadi sepanjang regulasi tidak menghambatnya. Lumayan, sebulan bisa dapat Rp 3-5 juta. Tapi penting dipahami, perilaku konsumen sudah berubah, dan ini lepas dari orbit taksi konvensional yang masih mengandalkan putaran roda dan jarak.
Tentu ini tidak mulus. Masih ada ketentuan yang mungkin bisa menghambat, yaitu soal karakter partisipan paruh waktu yang informal dan berskala kecil.
Misalnya, kalau partisipan paruh waktu dalam sharing economy ini diwajibkan mengurus balik nama Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) ke dalam nama badan usaha (koperasi).
Semua orang tahu Bea Balik Nama kendaraan di sini mahal dan berisiko. Tidak sesuai dengan pendapatan paruh waktu. Anda mungkin masih ingat kasus yang menimpa para mitra sebuah perusahaan travel yang tiba-tiba tumbuh pesat berkat usaha kemitraan. Saat itu para mitra (pemilik kendaraan) patuh pada aturan dan melakukan balik nama STNK.
Beberapa waktu kemudian perusahaan go public dan aset mereka dinyatakan sebagai aset korporasi yang sahamnya dimiliki publik tanpa sepengetahuan mereka. Lalu ketika perusahaan pailit mereka pun kebingungan.
Kerumitan ini bisa saja dipandang sebagai upaya pengekangan suplai yang merugikan konsumen, menimbulkan inefisiensi, namun juga bisa berarti rezeki bagi taksi konvensional. Dan akhirnya membuat masyarakat tidak happy. Saya percaya pemerintah yang bijak pasti punya solusinya.
Mengapa Konvensional Kalah
Sistem dan metode yang dibangun sebagian pelaku taksi berbasiskan teknologi ini berbeda.
Taksi konvensional yang sudah lama kita kenal hanya berbasiskan adu cepat menerima pesanan dengan perkiraan jarak. Padahal di kota-kota besar, pada jam tertentu jarak 1 kilometer bisa saja ditempuh satu jam, sementara yang 10 kilometer bisa ditempuh hanya 7 menit.
Jadi pada situasi tertentu, pesanan bisa amat terlambat tiba karena sistem pergerakan supply tidak optimal.Karena itulah, mereka yang mengembangkan teknologi pergerakan suplai menjadi lebih unggul dan lebih mampu memberi kesejahteraan. Utilisasi membaik, lebih efisien. Tinggal periksa misi perusahaan, kemana penghematan itu akan diberikan, apakah kepada pemegang saham agar terjadi capital gain, atau pengemudi/mitra usaha.
Smart Government
Dari semua uraian di atas, jelas Indonesia butuh solusi komprehensif kekinian dengan e-gov dan proses yang jelas dan adil. Sebenarnya yang dibutuhkan para pelaku usaha di kedua belah pihak, adalah sebuah sistem pemerintahan yang smart. Model smart government inilah yang menjadikan tingkat kepuasan, kesejahteraan dan happiness masyarakat meningkat (ketika supply bertemu demand), partisipasi ekonomi lebih produktif, sementara biaya perizinan turun dan waktu prosesnya lebih singkat.
Open platform, digital sharing data dari dari operator yang secara sukarela menggunakan aplikasi digital bahkan dapat digunakan negara untuk membuat rencana pengembangan sarana lalu lintas.
Akhirnya pemerintahan menjadi efisien dan agile (tangkas), yang menjamin kepastian berusaha dan mampu menciptakan kesejahteraan yang baik bagi para pekerja dan pelaku usaha.
Untuk mencapai pemerintahan yang demikian, dibutuhkan aturan yang tak berbelit-belit, pengurusan yang cepat dan responsif. Taksi konvensional sudah pasti harus dan akan berubah, sebab tanpa teknologi mereka akan terimbas gelombang disruption dan bisnisnya menjadi kurang relevan.
Di era baru ini, semua itu adalah subject to reform untuk memberi kesempatan partisipasi ekonomi bagi rakyat.
oleh Rhenald Kasali
disadur dari Kompas, Selasa, 29 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar