Beberapa
tahun lalu saya diminta menjadi pembicara dalam seminar tentang peran iman dan
moral sebagai penangkal korupsi demi keberlanjutan pembangunan. Sungguh tidak
mudah untuk merumuskan peran itu. Data yang ada menunjukkan bahwa agama atau
iman ternyata tidak sepenuhnya mampu menangkal korupsi.
Survei
Gallup (lembaga survei AS) beberapa tahun lalu di 40 negara dan 1.000
responden/negara menunjukkan bahwa makin miskin suatu negara, penduduknya
menganggap makin penting peran agama di dalam kehidupan. Untuk negara dengan
PDB per kapita kurang dari 2.000 dollar AS, 99 persen berpendapat agama sangat
penting bagi kehidupan masyarakat. Di Indonesia dan sejumlah negara berkembang lain,
kondisinya sama.
Di
negara dengan PDB per kapita lebih dari 25.000 dollar AS, hanya 47 persen
berpendapat seperti itu, kecuali di AS yang mencapai 65 persen. Warga Denmark
hanya 19 persen berpendapat seperti itu. Padahal, saat survei diadakan, Denmark
negara paling bersih dari korupsi dan Indonesia berada di peringkat ke-111.
Negara Muslim lain, di bawah Indonesia.
Beberapa
pertanyaan diajukan dalam TOR seminar. Pertama, mengapa seruan moral dan agama
sebagai upaya pemberantasan korupsi sejauh ini tak juga berdampak tegas dan
memuaskan? Kedua, bagaimana memahami gejala korupsi yang terus meluas di tengah
kuatnya gaung klaim berketuhanan dan keadilan sosial sebagai watak dasar bangsa
ini? Ketiga, jika pendidikan tetap dipandang penting sebagai sarana
pemberantasan korupsi dari segi iman dan moral, substansi seperti apa yang
diperlukan sebagai isi kurikulum untuk semua jenjang pendidikan?
Tipikor atau perilaku korup?
Kita
harus membedakan tindak pidana korupsi (tipikor) dengan perilaku korup.
Perilaku korup jauh lebih luas lingkupnya dibandingkan dengan tipikor dan jauh
lebih banyak terjadi dalam kehidupan bernegara. Tipikor ialah pelanggaran hukum
yang memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dengan bahasa dan logika hukum yang
rumit yang sering kali menimbulkan beragam tafsir. Berbagai jenis tindak
kriminal yang mudah kita kenali dan terjadi di banyak lembaga negara kita
biarkan dan dianggap lumrah karena tak mudah membuktikan secara hukum.
Contohnya, penurunan mutu bangunan akibat pemotongan dana dalam jumlah besar
terhadap rekanan yang memperoleh proyek APBN/APBD.
Perilaku
korup adalah pelanggaran yang mengakibatkan kenyamanan atau hak sesama warga
terabaikan, terganggu, atau bahkan terampas. Juga merugikan negara dan
masyarakat. Salah satu perilaku korup yang sudah lama terjadi ialah membayar
kepada pejabat di daerah tertentu untuk mengurus izin pembangunan mal,
perumahan dalam skala besar. Juga praktik membayar kepala daerah untuk menjadi
pejabat di kabupaten/kota atau kepada pejabat tertentu untuk menjadi direksi
BUMN.
Praktik
yang baru tumbuh beberapa tahun terakhir adalah mahar politik, yaitu menyewakan
kendaraan partai untuk kepentingan menjadi calon dalam pilkada. Perilaku korup
lain yang sering terjadi ialah membayar pemilih untuk memilih partai atau tokoh
tertentu dalam pemilu legislatif atau pilkada. Selain itu, juga pembayaran
kepada anggota KPU di beberapa daerah untuk membeli suara oleh salah satu calon
yang dilakukan dengan mengambil suara calon lain dari satu partai. Jangan
dilupakan adanya praktik membeli suara dalam kongres parpol, organisasi
mahasiswa/pemuda, bahkan organisasi keagamaan tertentu.
Yang
juga sering kita dengar ialah pembayaran kepada anggota DPR untuk memuluskan UU
tertentu dan kepada anggota DPRD untuk meluluskan perda, seperti dilakukan
Sanusi, anggota DPRD DKI yang sudah ditangkap KPK. Juga praktik pembayaran
untuk memperoleh jatah proyek kepada anggota DPR/DPRD, seperti pada kasus Dewi
Yasin Limpo. Dulu, perilaku korup ini (sebenarnya ini tipikor) tidak terjangkau
oleh lembaga penegak hukum, tetapi kini bisa tertangkap tangan karena adanya
wewenang penyadapan oleh KPK.
Tipikor
dan perilaku korup adalah masalah hilir dan pendidikan-termasuk pendidikan
agama-adalah masalah hulu. Demikian juga dengan maraknya kekerasan seksual
akhir-akhir ini. Pemberatan/peningkatan hukuman adalah masalah hilir dan
pendidikan anti kekerasan adalah masalah hulu. Menurut para ahli, pendidikan
itu bertujuan menanamkan "kesadaran nilai", yang secara garis besar
meliputi tiga hal. Pertama, pengetahuan dan pemahaman tentang nilai. Kedua,
penghayatan terhadap nilai-nilai. Ketiga, pengikatan diri secara sukarela
(komitmen) terhadap nilai-nilai itu.
Kebanyakan
sekolah/madrasah/pesantren terlalu memberi penekanan pada aspek pengetahuan,
termasuk di dalamnya tentang nilai-nilai, dan pada saat yang sama mengabaikan
pendidikan dalam hal penghayatan maknanya lebih mendalam sehingga anak-anak
didik mau mengikatkan diri pada nilai itu.
Dalam
pendidikan nilai, transformasi pemahaman menjadi tindakan harus melalui suatu
proses yang panjang. Suatu nilai etika tak secara otomatis dapat diejawantahkan
ke dalam perilaku segera setelah nilai-nilai itu diajarkan kepada siswa. Guru
sering lupa bahwa siswa-siswa yang mereka ajar belum tentu benar-benar memahami
nilai-nilai yang diajarkan, apalagi melakukan internalisasi nilai itu ke dalam
penghayatan dan lalu muncul kesadaran.
Selanjutnya,
para ahli mengatakan bahwa dalam keadaan sebenarnya, internalisasi nilai
mencakup proses transformasi mental yang cukup panjang. Proses tersebut dimulai
dari memahami nilai-nilai yang diajarkan, merasakan nilai-nilai yang dipahami,
menghormati apa yang dirasakan, meyakini dan bersedia terikat (punya komitmen)
dengan nilai-nilai yang dihormati dan terdorong untuk melakukan nilai-nilai
yang diyakini tersebut.
Jadi,
pengertian dan pemahaman kita terhadap suatu atau sejumlah nilai tidak
serta-merta dapat mendorong perubahan perilaku. Jika kita tak cukup merasakan,
tak cukup menghormati, kurang meyakini dan kurang terikat dengannya, dan belum
terdorong melakukannya, nilai-nilai tersebut tak akan memiliki dampak apa pun
pada perilaku kita. Kita harus menentukan nilai-nilai apa yang akan kita tanamkan
kepada anak-anak kita dan anak didik kita di sekolah? Dalam konteks kondisi
kebangsaan mutakhir, kejujuran adalah paling mendesak, lalu anti tindak
kekerasan, keadilan, tanggung jawab, toleransi, gotong royong, dan kepedulian
sosial.
Kondisi tak mendukung
Sejauh
pengamatan saya, agama kurang bisa berperan dalam perjuangan melawan korupsi
dan melawan fenomena maraknya tindak kekerasan karena pendidikan agama lebih
ditekankan pada aspek kognitif (pengajaran), bukan pada aspek afektif yang
berdasar pada pembiasaan dan keteladanan. Perlu ada langkah nyata untuk
mendorong penghayatan, internalisasi nilai dan transformasinya menjadi tindakan
seperti diuraikan di atas.
Proses
di atas tentu menghadapi sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Seseorang yang
dibesarkan dalam keluarga pengusaha yang sering menyuap pejabat pengambil
keputusan akan terbiasa dengan praktik korup itu, walaupun dia diberi pelajaran
bahwa praktik itu dilarang agama. Pemuda yang dibesarkan dalam keluarga
politisi yang terbiasa memilih pengurus dengan membeli suara dan membeli suara
di KPU amat mungkin akan mengikuti kebiasaan itu.
Pejabat
di lembaga negara sudah terbiasa dengan kondisi bahwa untuk menduduki posisi
tertentu perlu melakukan praktik setoran atau upeti kepada pejabat yang
berwenang. Kalau dia mau promosi atau mutasi ke posisi strategis dan daerah
yang baik, dia harus membayar sejumlah dana. Kondisi seperti itu membuat
kebanyakan orang menjadi terbiasa dengan praktik buruk itu. Tidak mudah untuk
melawannya.
Di
sejumlah sekolah yang kurang bermutu (guru-gurunya kurang baik), sering kali
kita melihat kenyataan bahwa para guru membantu murid mereka dengan berbagai
cara yang tidak mendidik, termasuk membeli soal UN. Maka, murid-murid itu sejak
kecil diajari untuk tidak jujur. Mereka akan terbiasa dengan kebiasaan bahwa
perilaku jujur akan menyusahkan. Maka, lengkaplah sudah contoh yang tersaji di
depan mata murid bahwa kejujuran itu hanya akan mempersulit diri kita.
Di
sebuah media diungkap bahwa seorang pejabat tinggi lembaga penegak hukum
mengajak keluarganya untuk menyembunyikan uang dollar yang dipunyainya ke dalam
water closet (WC) di dalam kamar mandinya. Keluarga ini sudah terbiasa
melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum negara dan agama. Kebiasaan
ini akan membentuk anak-anak mereka menjadi orang yang amat mungkin meneladani
perilaku orangtua.
Dalam
kenyataan hidup dalam masyarakat kita saat ini, semakin banyak koruptor
ditangkap, semakin banyak pula yang ingin menjalankan perilaku korup dan
melakukan tipikor. Seakan-akan mereka tak sadar bahwa mereka tengah diintai
petugas KPK dan lalu disadap. Mengapa mereka masih tetap nekat melakukan
perbuatan melawan hukum itu?
Pertama,
mereka sudah merasa tidak bersalah melakukan tipikor itu karena diri mereka
sudah dikuasai keserakahan. Kedua, mereka sudah tidak merasa malu karena banyak
sekali pejabat negara yang melakukan tindakan busuk itu. Ketiga, mereka sudah
tidak merasa takut lagi terhadap hukuman Tuhan dan hukuman pengadilan. Mereka
berpikir, toh, nanti setelah bebas dari hukuman penjara, mereka masih punya
uang yang amat banyak. Mungkin yang bisa membuat mereka takut adalah ancaman
dimiskinkan atau dihukum mati. Keempat, masyarakat sama sekali tak memberi
sanksi sosial. Para pejabat yang sudah jelas melakukan tipikor masih dihormati
masyarakat.
oleh Salahuddin
Wahid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar