Editors Picks

Senin, 20 Juni 2016

Revisi RUU Pengampunan Pajak



Akibat terhimpit defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo mendesak DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. RUU yang sedang dibahas DPR itu diharapkan segera disahkan menjadi UU dan bisa berlaku efektif per 1 Juli 2016 (Kompas, 9/6/2016).

Dengan begitu, pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak untuk mendapatkan dana segar sekitar Rp 165 triliun guna mengurangi defisit APBN. Namun, menyimak pemberitaan media massa berkenaan dengan substansi RUU Pengampunan Pajak, saya menilai RUU tersebut mengandung ketidakadilan yang serius dan mesti direvisi.

Tidak adil
Substansi RUU yang justru juga memberikan amnesti pajak kepada para individu dan korporasi pelaku kejahatan keuangan yang selama ini berhasil mengelabui dan merugikan keuangan negara, dengan menyembunyikan aset-aset haram mereka di sejumlah negara surga pajak, sungguh sangat aneh dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Apalagi tarif amnesti pajak yang bakal diberikan juga sangat rendah, berkisar 1 persen-3 persen bagi yang mau repatriasi aset, dan 4 persen-6 persen bagi yang tidak melakukan repatriasi aset. Bahkan, dalam RUU tersebut muncul sejumlah pasal aneh yang berusaha memproteksi kerahasiaan data wajib pajak nakal yang mengikuti program amnesti pajak dari kejaran penegak hukum.

Substansi RUU tersebut sangat tak adil dan sangat mungkin bakal digugat masyarakat luas apabila disahkan menjadi UU. Pertanyaan, mengapa pemerintah (dan DPR) justru memberikan amnesti pajak kepada para pelaku kejahatan keuangan negara? Apakah hanya karena terimpit defisit APBN dan karena para wajib pajak pelaku kejahatan keuangan memiliki aset yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah, lalu Presiden Jokowi rela mengalah demi mendapatkan dana amnesti pajak sekitar Rp 165 triliun? Ataukah, RUU Pengampunan Pajak yang sedang dibahas di DPR sesungguhnya adalah produk hasil rancangan dari sejumlah pihak (elite) yang bakal mendapatkan amnesti pajak akibat mereka mulai terdesak oleh bocornya Dokumen Panama beberapa waktu lalu?

Entahlah! Namun, yang pasti, melegalkan program amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan keuangan negara via UU adalah salah kaprah dan sangat tidak adil. Program tersebut jika diterapkan justru akan menjadi bumerang karena akan menimbulkan kerugian dan sejumlah dampak negatif yang jauh lebih besar dibandingkan manfaat ekonominya.

Meski berdalih demi menutup defisit APBN, secara etika pemberian amnesti tersebut tidak bisa dibenarkan. Mengapa?

Pertama, selama ini terhadap individu dan korporasi yang ketahuan dan terbukti melakukan kejahatan keuangan, seperti korupsi, penyuapan, penipuan, pemerasan, penggelapan pajak, atau pencucian uang yang merugikan keuangan negara, aparat penegak hukum bertindak tegas: memberikan sanksi hukum yang berat kepada mereka. Selain dipenjara dan didenda, aset-aset hasil kejahatan mereka juga disita. Karena itu, substansi RUU Amnesti Pajak yang juga akan memberikan amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan keuangan negara sungguh sangat aneh dan tidak adil. Mereka seharusnya dikecualikan dari program amnesti pajak, diusut tuntas asal-usul asetnya, dan mendapatkan perlakuan hukum yang sama.

Kedua, selama ini para wajib pajak patuh membayar pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak atas aset (PBB), dan pajak lainnya secara rutin kepada negara berdasarkan ketentuan dan tarif perpajakan yang berlaku. Jumlah pajak yang disetorkan ke negara untuk mendukung APBN dan pelaksanaan pembangunan sangat besar, bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, substansi RUU Amnesti Pajak yang hendak memberikan amnesti pajak dengan tarif sangat rendah kepada para wajib pajak nakal yang selama ini berhasil melakukan kebohongan dan penggelapan pajak dengan cara menyembunyikan dana hasil kejahatannya di sejumlah negara surga pajak sangat tidak adil. Substansi tersebut sangat menyakitkan dan mengusik rasa keadilan wajib pajak yang selama ini jujur dan patuh membayar pajak ke negara.

Dalam sejumlah kesempatan, mereka bahkan mulai mengeluh dan mempertanyakan sikap ambigu pemerintah yang akan menerapkan program amnesti pajak. Mereka mengatakan lebih baik beralih jadi wajib pajak nakal karena bakal mendapat amnesti pajak dan perlakuan istimewa dari negara daripada jadi wajib pajak patuh. Jika kebanyakan wajib pajak patuh akhirnya berperilaku begitu, maka program amnesti pajak yang ingin segera dilaksanakan pemerintah justru akan jadi bumerang bagi penerimaan pajak dan mengganggu APBN dalam jangka panjang.

Keadilan sosial-ekonomi
Berdasarkan uraian di atas, DPR dan pemerintah sangat diharapkan segera mengkaji kembali dan merevisi sejumlah pasal dalam RUU Pengampunan Pajak yang mengatur tentang amnesti pajak dan perlindungan hukum kepada para pelaku kejahatan keuangan negara. Untuk para koruptor dan penggelap pajak yang konon data identitas lengkapnya sudah dikantongi Kementerian Keuangan, mereka tidak boleh diberikan amnesti pajak. Data asal-usul aset mereka harus diusut tuntas. Apabila aset-aset mereka diperoleh dengan cara-cara yang melanggar hukum, pemerintah harus melakukan penyitaan. Mereka layak dihukum dan didenda karena telah merugikan keuangan negara.

Bagi para individu dan korporasi penggelap dan penghindar pajak yang selama ini menyembunyikan aset di luar negeri, atau menempatkan aset-asetnya di sejumlah negara dengan alasan untuk manajemen aset, mereka bisa diberikan skema amnesti pajak dengan tarif yang lebih tinggi. Besar-kecil tarif dan jumlah denda pajak yang harus dibayarkan kepada negara juga harus didasarkan pada perhitungan akurat, seberapa besar kerugian negara yang telah mereka timbulkan. Dengan begitu, para wajib patuh tidak akan merasa iri dan mempermasalahkan kebijakan amnesti pajak yang akan diterapkan pemerintah.

Dengan merevisi substansi RUU dan memperlakukan secara berbeda para individu dan korporasi pelaku kejahatan keuangan, maka rasa keadilan sosial-ekonomi masyarakat luas tidak akan terusik oleh pemberlakuan UU Pengampunan Pajak. Perlakuan secara berbeda tersebut tentu akan menghasilkan pendapatan pajak yang jumlahnya jauh lebih besar daripada yang diharapkan Menteri Keuangan. Selain itu, kewibawaan negara dan pemerintahan Jokowi tidak akan tergerus oleh para pelaku kejahatan keuangan negara.

oleh Andreas Lako
disadur dari Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar