Akibat
terhimpit defisit APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun, Presiden Joko Widodo
mendesak DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. RUU yang
sedang dibahas DPR itu diharapkan segera disahkan menjadi UU dan bisa berlaku
efektif per 1 Juli 2016 (Kompas, 9/6/2016).
Dengan
begitu, pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak untuk
mendapatkan dana segar sekitar Rp 165 triliun guna mengurangi defisit APBN.
Namun, menyimak pemberitaan media massa berkenaan dengan substansi RUU
Pengampunan Pajak, saya menilai RUU tersebut mengandung ketidakadilan yang
serius dan mesti direvisi.
Tidak adil
Substansi
RUU yang justru juga memberikan amnesti pajak kepada para individu dan
korporasi pelaku kejahatan keuangan yang selama ini berhasil mengelabui dan
merugikan keuangan negara, dengan menyembunyikan aset-aset haram mereka di
sejumlah negara surga pajak, sungguh sangat aneh dan mengusik rasa keadilan
masyarakat. Apalagi tarif amnesti pajak yang bakal diberikan juga sangat
rendah, berkisar 1 persen-3 persen bagi yang mau repatriasi aset, dan 4
persen-6 persen bagi yang tidak melakukan repatriasi aset. Bahkan, dalam RUU
tersebut muncul sejumlah pasal aneh yang berusaha memproteksi kerahasiaan data
wajib pajak nakal yang mengikuti program amnesti pajak dari kejaran penegak
hukum.
Substansi
RUU tersebut sangat tak adil dan sangat mungkin bakal digugat masyarakat luas
apabila disahkan menjadi UU. Pertanyaan, mengapa pemerintah (dan DPR) justru
memberikan amnesti pajak kepada para pelaku kejahatan keuangan negara? Apakah
hanya karena terimpit defisit APBN dan karena para wajib pajak pelaku kejahatan
keuangan memiliki aset yang nilainya mencapai ribuan triliun rupiah, lalu
Presiden Jokowi rela mengalah demi mendapatkan dana amnesti pajak sekitar Rp
165 triliun? Ataukah, RUU Pengampunan Pajak yang sedang dibahas di DPR
sesungguhnya adalah produk hasil rancangan dari sejumlah pihak (elite) yang
bakal mendapatkan amnesti pajak akibat mereka mulai terdesak oleh bocornya
Dokumen Panama beberapa waktu lalu?
Entahlah!
Namun, yang pasti, melegalkan program amnesti pajak dan melindungi para pelaku
kejahatan keuangan negara via UU adalah salah kaprah dan sangat tidak adil.
Program tersebut jika diterapkan justru akan menjadi bumerang karena akan
menimbulkan kerugian dan sejumlah dampak negatif yang jauh lebih besar
dibandingkan manfaat ekonominya.
Meski
berdalih demi menutup defisit APBN, secara etika pemberian amnesti tersebut
tidak bisa dibenarkan. Mengapa?
Pertama,
selama ini terhadap individu dan korporasi yang ketahuan dan terbukti melakukan
kejahatan keuangan, seperti korupsi, penyuapan, penipuan, pemerasan,
penggelapan pajak, atau pencucian uang yang merugikan keuangan negara, aparat
penegak hukum bertindak tegas: memberikan sanksi hukum yang berat kepada
mereka. Selain dipenjara dan didenda, aset-aset hasil kejahatan mereka juga
disita. Karena itu, substansi RUU Amnesti Pajak yang juga akan memberikan
amnesti pajak dan melindungi para pelaku kejahatan keuangan negara sungguh
sangat aneh dan tidak adil. Mereka seharusnya dikecualikan dari program amnesti
pajak, diusut tuntas asal-usul asetnya, dan mendapatkan perlakuan hukum yang
sama.
Kedua,
selama ini para wajib pajak patuh membayar pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai (PPN), pajak atas aset (PBB), dan pajak lainnya secara rutin
kepada negara berdasarkan ketentuan dan tarif perpajakan yang berlaku. Jumlah
pajak yang disetorkan ke negara untuk mendukung APBN dan pelaksanaan
pembangunan sangat besar, bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Karena
itu, substansi RUU Amnesti Pajak yang hendak memberikan amnesti pajak dengan
tarif sangat rendah kepada para wajib pajak nakal yang selama ini berhasil
melakukan kebohongan dan penggelapan pajak dengan cara menyembunyikan dana
hasil kejahatannya di sejumlah negara surga pajak sangat tidak adil. Substansi
tersebut sangat menyakitkan dan mengusik rasa keadilan wajib pajak yang selama
ini jujur dan patuh membayar pajak ke negara.
Dalam
sejumlah kesempatan, mereka bahkan mulai mengeluh dan mempertanyakan sikap
ambigu pemerintah yang akan menerapkan program amnesti pajak. Mereka mengatakan
lebih baik beralih jadi wajib pajak nakal karena bakal mendapat amnesti pajak
dan perlakuan istimewa dari negara daripada jadi wajib pajak patuh. Jika
kebanyakan wajib pajak patuh akhirnya berperilaku begitu, maka program amnesti
pajak yang ingin segera dilaksanakan pemerintah justru akan jadi bumerang bagi
penerimaan pajak dan mengganggu APBN dalam jangka panjang.
Keadilan sosial-ekonomi
Berdasarkan
uraian di atas, DPR dan pemerintah sangat diharapkan segera mengkaji kembali
dan merevisi sejumlah pasal dalam RUU Pengampunan Pajak yang mengatur tentang
amnesti pajak dan perlindungan hukum kepada para pelaku kejahatan keuangan
negara. Untuk para koruptor dan penggelap pajak yang konon data identitas
lengkapnya sudah dikantongi Kementerian Keuangan, mereka tidak boleh diberikan
amnesti pajak. Data asal-usul aset mereka harus diusut tuntas. Apabila aset-aset
mereka diperoleh dengan cara-cara yang melanggar hukum, pemerintah harus
melakukan penyitaan. Mereka layak dihukum dan didenda karena telah merugikan
keuangan negara.
Bagi
para individu dan korporasi penggelap dan penghindar pajak yang selama ini
menyembunyikan aset di luar negeri, atau menempatkan aset-asetnya di sejumlah
negara dengan alasan untuk manajemen aset, mereka bisa diberikan skema amnesti
pajak dengan tarif yang lebih tinggi. Besar-kecil tarif dan jumlah denda pajak
yang harus dibayarkan kepada negara juga harus didasarkan pada perhitungan
akurat, seberapa besar kerugian negara yang telah mereka timbulkan. Dengan
begitu, para wajib patuh tidak akan merasa iri dan mempermasalahkan kebijakan
amnesti pajak yang akan diterapkan pemerintah.
Dengan
merevisi substansi RUU dan memperlakukan secara berbeda para individu dan
korporasi pelaku kejahatan keuangan, maka rasa keadilan sosial-ekonomi
masyarakat luas tidak akan terusik oleh pemberlakuan UU Pengampunan Pajak.
Perlakuan secara berbeda tersebut tentu akan menghasilkan pendapatan pajak yang
jumlahnya jauh lebih besar daripada yang diharapkan Menteri Keuangan. Selain
itu, kewibawaan negara dan pemerintahan Jokowi tidak akan tergerus oleh para
pelaku kejahatan keuangan negara.
oleh Andreas
Lako
disadur
dari Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar