Editors Picks

Senin, 20 Juni 2016

Dakwah Versus Menolak Kemungkaran



Di bulan Ramadhan ini, bulan yang seharusnya penuh kasih sayang dan pengampunan, kita disuguhi berbagai peristiwa tragis: penggerudukan, penghukuman, bahkan penganiayaan terhadap orang-orang yang dianggap menodai bulan puasa.

Tak ada yang tak sepakat bahwa bulan Ramadhan adalah memang bulan yang suci. Bahwa setiap Muslim dianjurkan untuk melipatgandakan kebaikan dan menghindarkan diri dari berbuat keburukan semampunya. Tapi, apakah dengan demikian Muslim juga dibolehkan melakukan pemaksaan/represi kepada orang-orang yang tak menaati atau tak terikat perintah tersebut?

Bijaksana dan persuasif
Ada sedikitnya dua hal yang perlu didiskusikan terkait soal ini. Pertama, ibadah puasa adalah ibadah yang bersifat tarkiy atau nafiy (pasif, menghindarkan diri dari hal-hal atau keburukan-keburukan yang bisa membatalkan atau mengurangi kesempurnaan puasa). Dengan kata lain, puasa adalah soal personal dan tidak bersifat aktif, apalagi agresif.

Kedua, masih terkait dengan yang pertama, adanya gagasan tentang menolak kemungkaran (nahi mungkar) yang oleh sebagian orang dijadikan dalih kewajiban melakukan sweeping, dan sebagainya, atas orang-orang yang dianggap menodai kesucian bulan puasa. Parahnya, sebagian malah menjadikan peristiwa-peristiwa peperangan yang terjadi pada bulan Ramadhan di zaman Nabi sebagai dalih sikap-sikap agresif mereka. Padahal, perang-perang Nabi sepenuhnya bersifat defensif, sebagai pertahanan diri terhadap agresi musuh. Yang lebih pantas dijadikan contoh justru sikap Nabi memaafkan semua musuh bebuyutannya saat beliau membebaskan Mekkah yang terjadi pada bulan Ramadhan juga.

Kembali ke soal gagasan menolak kemungkaran ini, ada dua hal lagi yang sangat penting untuk dibahas. Pertama, apakah menolak kemungkaran-betapa pun memang merupakan suatu kewajiban-harus selalu dilakukan dengan represi/persekusi, bahkan sikap-sikap kasar? Kedua, bagaimana kita harus mengintegrasikan gagasan tentang nahi mungkar ini dengan gagasan dakwah, yang malah mempromosikan kelemahlembutan?

Dakwah berasal dari kata da'a yang berarti 'memanggil', 'menyeru', atau 'mengajak'. Dan, inilah kata Al-Quran tentangnya: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan, yakni ilmu dan akhlak) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS, 16:125). Segera tampak, dakwah harus mengutamakan cara- cara yang baik atau persuasif dan mengambil bentuk penyadaran.

Di sisi lain memang ada kewajiban menolak kemungkaran. "Dan, hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (QS, 3:104). Namun, lihatlah, persis sebelum ayat tersebut Tuhan sendiri mengingatkan: "Dan, berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, dan jangan bercerai-berai" (QS, 3:103).

Hal ini menunjukkan bahwa-di atas segalanya-persatuan di tengah masyarakat harus tetap dijaga dalam proses nahi mungkar tersebut. Dengan kata lain, diperlukan kebijaksanaan dan persuasi juga dalam kegiatan menolak kemungkaran ini. Lebih jauh dari itu, pelaku kegiatan menolak kemungkaran diwajibkan terlebih dulu mengembangkan budi pekerti yang luhur, hati yang lapang, sabar, dan penuh kebaikan sebagai prasyarat. "Orang-orang yang bertobat, orang-orang yang menghamba dan mengagungkan-Nya, mengembara, rukuk dan sujud, (dan) mereka melakukan amar makruf nahi mungkar, serta memelihara hukum-hukum Allah. Maka berilah kabar gembira kepada orang-orang beriman" (QS, 9:112).

Pengendalian diri
Perhatikan bahwa syarat awal bagi pelaku amar makruf nahi mungkar adalah "bertobat". Sebelum dapat berbuat baik, seseorang harus melakukan pertobatan sesungguh-sungguhnya. Dengan pertobatan ini diharapkan hati jadi bersih dan dipenuhi semangat berbuat baik, dengan cara-cara yang lebih bijaksana. Dengan kata lain, hati terbebas dari nafsu rendah, seperti kedengkian, dendam, kebencian, dan niat buruk.

Lalu, pelaku amar makruf nahi mungkar juga harus mengembara agar memiliki kesadaran budaya, kemasyarakatan, dan historis sebagai bekal upaya reformasi yang dilancarkannya. Menurut sebagian penafsir, kata sa'ihun, yang diterjemahkan sebagai "mengembara" itu sesungguhnya bisa juga dimaknai sebagai "berpuasa", yang makin menegaskan keharusan melatih kemampuan pengendalian diri.

Sejalan dengan itu, prasyarat selanjutnya, yang disebutkan dalam ayat yang sama adalah bahwa mereka menjadikan keikhlasan kepada Allah sebagai pusat segala tindakannya, bukan nafsunya sendiri. Dalam kaitan ini, Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan, "Betapa mudah mengungkapkan kebenaran, tetapi betapa sulit melaksanakannya.... Hanya orang-orang yang mampu membenahi dirinyalah yang dapat membenahi masyarakatnya."

Al Quran sendiri dengan tegas mempromosikan pentingnya kelembutan, bahkan ketika orang melancarkan kegiatan menolak kemungkaran di hadapan seorang tiran. Dalam hubungannya dengan upaya menolak tirani Fir'aun yang zalim, Tuhan memerintah Musa: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut agar mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS, 20:43-44).

Seolah menyimpulkan itu semua, Ibn Taymiyah yang menjadi patron banyak kelompok "keras" di kalangan umat Islam, menyatakan, "Orang yang ingin beramar makruf nahi mungkar semestinya memiliki tiga bekal: ilmu, kelemahlembutan, dan kesabaran." Kepemilikan ilmu diperlukan agar orang memahami persoalan yang dihadapi sebelum melancarkan kegiatan nahi mungkar itu sendiri. Lalu, kelemahlembutan harus mewarnai proses menolak kemungkaran itu sendiri. Akhirnya, sikap sabar harus dirawat sesudahnya untuk memastikan bahwa kita terus memelihara ketelatenan untuk melakukannya dengan penuh kebijaksanaan.

oleh Haidar Bagir
disadur dari Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar