Di bulan Ramadhan ini, bulan yang seharusnya penuh kasih
sayang dan pengampunan, kita disuguhi berbagai peristiwa tragis: penggerudukan,
penghukuman, bahkan penganiayaan terhadap orang-orang yang dianggap menodai
bulan puasa.
Tak ada yang tak sepakat bahwa bulan Ramadhan adalah
memang bulan yang suci. Bahwa setiap Muslim dianjurkan untuk melipatgandakan
kebaikan dan menghindarkan diri dari berbuat keburukan semampunya. Tapi, apakah
dengan demikian Muslim juga dibolehkan melakukan pemaksaan/represi kepada
orang-orang yang tak menaati atau tak terikat perintah tersebut?
Bijaksana dan
persuasif
Ada sedikitnya dua hal yang perlu didiskusikan terkait
soal ini. Pertama, ibadah puasa adalah ibadah yang bersifat tarkiy atau nafiy (pasif, menghindarkan diri dari hal-hal atau keburukan-keburukan
yang bisa membatalkan atau mengurangi kesempurnaan puasa). Dengan kata lain,
puasa adalah soal personal dan tidak bersifat aktif, apalagi agresif.
Kedua, masih terkait dengan yang pertama, adanya gagasan
tentang menolak kemungkaran (nahi mungkar)
yang oleh sebagian orang dijadikan dalih kewajiban melakukan sweeping, dan sebagainya, atas
orang-orang yang dianggap menodai kesucian bulan puasa. Parahnya, sebagian
malah menjadikan peristiwa-peristiwa peperangan yang terjadi pada bulan
Ramadhan di zaman Nabi sebagai dalih sikap-sikap agresif mereka. Padahal,
perang-perang Nabi sepenuhnya bersifat defensif, sebagai pertahanan diri
terhadap agresi musuh. Yang lebih pantas dijadikan contoh justru sikap Nabi
memaafkan semua musuh bebuyutannya saat beliau membebaskan Mekkah yang terjadi
pada bulan Ramadhan juga.
Kembali ke soal gagasan menolak kemungkaran ini, ada dua
hal lagi yang sangat penting untuk dibahas. Pertama, apakah menolak
kemungkaran-betapa pun memang merupakan suatu kewajiban-harus selalu dilakukan
dengan represi/persekusi, bahkan sikap-sikap kasar? Kedua, bagaimana kita harus
mengintegrasikan gagasan tentang nahi mungkar ini dengan gagasan dakwah, yang
malah mempromosikan kelemahlembutan?
Dakwah berasal dari kata da'a yang berarti 'memanggil', 'menyeru', atau 'mengajak'. Dan,
inilah kata Al-Quran tentangnya: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu
dengan hikmah (kebijaksanaan, yakni ilmu dan akhlak) dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS, 16:125).
Segera tampak, dakwah harus mengutamakan cara- cara yang baik atau persuasif
dan mengambil bentuk penyadaran.
Di sisi lain memang ada kewajiban menolak kemungkaran.
"Dan, hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar;
merekalah orang-orang yang beruntung" (QS, 3:104). Namun, lihatlah, persis
sebelum ayat tersebut Tuhan sendiri mengingatkan: "Dan, berpegang teguhlah
kalian dengan tali Allah, dan jangan bercerai-berai" (QS, 3:103).
Hal ini menunjukkan bahwa-di atas segalanya-persatuan di
tengah masyarakat harus tetap dijaga dalam proses nahi mungkar tersebut. Dengan kata lain, diperlukan kebijaksanaan
dan persuasi juga dalam kegiatan menolak kemungkaran ini. Lebih jauh dari itu,
pelaku kegiatan menolak kemungkaran diwajibkan terlebih dulu mengembangkan budi
pekerti yang luhur, hati yang lapang, sabar, dan penuh kebaikan sebagai
prasyarat. "Orang-orang yang bertobat, orang-orang yang menghamba dan
mengagungkan-Nya, mengembara, rukuk dan sujud, (dan) mereka melakukan amar
makruf nahi mungkar, serta memelihara hukum-hukum Allah. Maka berilah kabar
gembira kepada orang-orang beriman" (QS, 9:112).
Pengendalian diri
Perhatikan bahwa syarat awal bagi pelaku amar makruf nahi mungkar adalah
"bertobat". Sebelum dapat berbuat baik, seseorang harus melakukan
pertobatan sesungguh-sungguhnya. Dengan pertobatan ini diharapkan hati jadi
bersih dan dipenuhi semangat berbuat baik, dengan cara-cara yang lebih
bijaksana. Dengan kata lain, hati terbebas dari nafsu rendah, seperti
kedengkian, dendam, kebencian, dan niat buruk.
Lalu, pelaku amar
makruf nahi mungkar juga harus mengembara agar memiliki kesadaran budaya,
kemasyarakatan, dan historis sebagai bekal upaya reformasi yang dilancarkannya.
Menurut sebagian penafsir, kata sa'ihun,
yang diterjemahkan sebagai "mengembara" itu sesungguhnya bisa juga
dimaknai sebagai "berpuasa", yang makin menegaskan keharusan melatih
kemampuan pengendalian diri.
Sejalan dengan itu, prasyarat selanjutnya, yang
disebutkan dalam ayat yang sama adalah bahwa mereka menjadikan keikhlasan
kepada Allah sebagai pusat segala tindakannya, bukan nafsunya sendiri. Dalam
kaitan ini, Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan, "Betapa mudah
mengungkapkan kebenaran, tetapi betapa sulit melaksanakannya.... Hanya
orang-orang yang mampu membenahi dirinyalah yang dapat membenahi masyarakatnya."
Al Quran sendiri dengan tegas mempromosikan pentingnya
kelembutan, bahkan ketika orang melancarkan kegiatan menolak kemungkaran di
hadapan seorang tiran. Dalam hubungannya dengan upaya menolak tirani Fir'aun
yang zalim, Tuhan memerintah Musa: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia telah malampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut agar mudah-mudahan ia ingat atau takut"
(QS, 20:43-44).
Seolah menyimpulkan itu semua, Ibn Taymiyah yang menjadi
patron banyak kelompok "keras" di kalangan umat Islam, menyatakan,
"Orang yang ingin beramar makruf nahi mungkar semestinya memiliki tiga
bekal: ilmu, kelemahlembutan, dan kesabaran." Kepemilikan ilmu diperlukan
agar orang memahami persoalan yang dihadapi sebelum melancarkan kegiatan nahi
mungkar itu sendiri. Lalu, kelemahlembutan harus mewarnai proses menolak
kemungkaran itu sendiri. Akhirnya, sikap sabar harus dirawat sesudahnya untuk
memastikan bahwa kita terus memelihara ketelatenan untuk melakukannya dengan
penuh kebijaksanaan.
oleh Haidar Bagir
disadur dari Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar