Di bulan Ramadhan, umat Islam dan kaum beriman
diperintahkan menjalankan ibadah fisik dan spiritual: berpuasa. Semua kaum
beriman penghuni negeri ini turut menjalankannya.
Negeri ini sangat dikagumi karena dianggap sangat
religius, bukan sekuler. Di tengah posisi religius tersebut, tampak
berseliweran kaum kere, miskin, dan marjinal. Itulah kaum mustad'afin. Teologi kita agaknya kurang berpihak pada golongan mustad'afin tersebut ketimbang pada
golongan kelas menengah religius. Fenomena semacam itu dapat dengan mudah kita
saksikan pada berbagai acara televisi yang lebih mempertunjukkan kelas menengah
Muslim ketimbang kelas mustad'afin.
Pemihakan pada kelas kere ketimbang kelas menengah
ditunjukkan ketika kita memiliki kepekaan yang dalam kepada masyarakat kelas
miskin-papa secara sosial, politik, ekonomi, kultural, bahkan spiritual. Puasa,
karena itu, bukan saja ibadah fisik, tapi juga spiritual, yang diharapkan dapat
menciptakan serta menumbuhkan kepekaan sosial pada kaum papa dan mustad'afin.
Teologi
"Kalibokong"
Gagasan orisinal tentang teologi "Kalibokong",
yang dipopulerkan tahun 1990-an oleh Moeslim Abdurrahman, kira dapat menjadi
sepenggal kisah di negeri kaya tetapi kaum kerenya berseliweran. Teologi
"Kalibokong" memberikan kisah tentang terjadinya ketidakadilan di
Tanah Air atas kelas sosial tertentu pada kaum kere. Kelas menengah menjadikan
kaum kere sebagai pijakan beramal saleh. Kaum kere, karena itu, kata Moeslim
Abdurrahman, jangan mudah dihakimi perilaku kesalehannya oleh kelas menengah
Muslim dan kaum santri tulen.
Kaum kere yang sering dianggap kurang santri karena tak
rajin mendengarkan pengajian-pengajian kiai, ustaz, pak haji dan bu hajah di
tengah kompleks perumahan atau di tengah masjid pasar tidak berarti tidak
saleh. Kaum kere, bagi Moeslim Abdurrahman, bukan entitas yang harus dihakimi
kafir, sesat, sinkretik, dan seterusnya, tetapi harus dipersoalkan mengapa
mereka demikian kondisinya.
Teologi "Kalibokong" adalah sebuah ilustrasi
tentang terjadinya ketakadilan yang dilakukan oleh kelas pemilik usaha alias
pemilik modal, yang menjadikan kaum kere sekadar sebagai pekerja yang diperas
keringatnya untuk mampu menghasilkan sebanyak mungkin barang sebagai produksi,
kemudian mereka dibayar dengan bayaran yang sangat murah. "Kalibokong"
adalah gambaran penindasan yang dilakukan sebuah entitas masyarakat kelas
menengah ke atas terhadap entitas masyarakat lainnya yang tidak memiliki akses
atas pendidikan, kekayaan, high culture
(modernisme), serta kesalehan simbolik.
Teologi "Kalibokong" merupakan ilustrasi betapa
masyarakat kecil yang tidak berdaya hanya bisa memberikan tenaga mereka yang
harganya dianggap murahan. Jika demikian, benarlah kaum kere, tertindas, serta
miskin itu kemudian harus benar-benar tertindas secara sosial, secara politik,
secara ekonomi, bahkan secara teologis? Sungguh tak adil memperlakukannya!
Di sinilah jika kita saksikan sekarang saat Ramadhan
tiba, berbagai pengajian diselenggarakan di hotel-hotel berbintang, pengajian
dengan mendatangkan ustaz yang populer serta selebritas dengan bayaran yang
cukup tinggi, tampak paradoks dengan realitas hidup kaum mustad'afin.
Pada bulan Ramadhan, melakukan dan mengunjungi pengajian
tentu saja perbuatan baik yang harus dikerjakan oleh umat Islam. Tetapi, apa
maknanya pengajian dengan mengundang ustaz, dai, dan kiai yang kesohor dengan
biaya tinggi dan diselenggarakan di hotel-hotel?
Apa artinya pula menyelenggarakan pengajian di
stasiun-stasiun televisi dengan membayar mahal, dengan berpakaian seragam yang
merupakan "perkumpulan-perkumpulan" dari kelompok masyarakat kelas
menengah ke atas tertentu. Bukankah ini tak jauh beda dengan
"perkumpulan" lain yang juga memiliki atribut-atribut tertentu
sebagai bentuk politik simbolik: bahwa "kami" bagian dari komunitas,
sementara yang lain tidak!
Refleksi teologis
Di tengah ingar-bingarnya situasi sosial politik dan
sosial keislaman yang terjadi, kita tentu berharap tumbuhnya masyarakat yang
memiliki kepedulian kepada mereka yang tertindas, termarjinalkan, tidak punya
akses, serta dituduh tidak santri. Kita perlu sebuah tafsir Islam yang memihak
kaum duafa. Meminjam Moeslim Abdurrahman, kita perlu tafsir wahyu
transformatif.
Tafsir wahyu transformatif adalah mencoba
"menelanjangi" dan menyusun sebuah kerangka metodologis gerakan umat
Islam yang membela kaum duafa. Tafsir wahyu transformatif telah dikerjakan oleh
pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, yang membebaskan penderitaan masyarakat
dari kebodohan dengan mendirikan sekolah atau tempat pendidikan.
KH Ahmad Dahlan telah membebaskan masyarakat dari
kesengsaraan pengobatan sehingga mendirikan balai Penolong Kesengsaraan Omoem
(PKO) Muhammadiyah, yakni memberikan pelayanan pada masyarakat miskin dan
tertindas. PKO adalah bentuk paling nyata gerakan KH Ahmad Dahlan membela kaum
miskin, penyakit kemiskinan, dan penyakit sosial lain seperti yatim piatu.
Kesalehan transformatif, karena itu, adalah sebuah
gagasan yang keluar dari refleksi teologis yang didasarkan pada realitas sosial
yang menindas atas sesama umat Islam. Oleh karena itu, penyelesaiannya adalah
membuat satu alternatif keber-Islam-an yang dapat menggeser ketidakadilan
menjadi lebih adil dalam kerangka mengamalkan "Wahyu Langit" menjadi
"Wahyu Bumi". "Wahyu Langit" adalah wahyu yang suci dengan
sekian banyak nilai. Sementara "Wahyu Bumi" adalah praksis
keber-Islam-an yang benar-benar mampu mengubah kondisi kemungkaran sosial
menjadi kesalehan sosial.
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi kaum Muslim....
oleh Zuly Qodir
disadur Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar