Terkait pembelian lahan Yayasan
Kesehatan Sumber Waras, terdapat perbedaan pendapat secara diametral antara
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam pemeriksaan auditnya, BPK
menemukan indikasi kerugian keuangan negara Rp 191,3 miliar dalam pembelian
lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, sedangkan penyelidikan yang dilakukan
oleh KPK tidak menemukan adanya unsur korupsi dalam kasus itu (Kompas,
16/6/2016).
Audit yang dilakukan oleh BPK
didasarkan pada Peraturan Presiden No 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah, sementara KPK dalam melakukan penyelidikan merujuk pada Perpres No
40/2014 tentang perubahan keempat atas Perpres No 71/2012. Jika terjadi
demikian, pendapat manakah yang dapat dijadikan rujukan?
Dalam konteks pemberantasan tindak
pidana korupsi, di mana kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur
yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), bila terjadi perbedaan pendapat antara KPK dan BPK mengenai suatu
peristiwa hukum, yang harus dijadikan pegangan adalah penyelidikan oleh KPK.
Ada beberapa argumentasi hukum yang memperkuat pendapat KPK terkait suatu
peristiwa hukum.
Pertama, audit yang dilakukan oleh
seorang auditor pada hakikatnya menguji kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, prosedur atau sistem dan kepatutan. Jika ditemukan
penyimpangan, maka dapat dilanjutkan dengan audit investigasi. Audit
investigasi dilakukan untuk mendalami temuan yang diduga suatu penyimpangan,
menemukan dan mengumpulkan bukti serta menyerahkan bukti kepada pihak yang
berwajib untuk ditindaklanjuti.
Sementara penyelidikan yang
dilakukan oleh penyelidik adalah serangkaian tindakan untuk menemukan dan
mengumpulkan bukti dalam rangka menentukan ada-tidaknya suatu tindak pidana.
Artinya, penyelidikan yang dilakukan terhadap suatu peristiwa tentunya lebih
mendalam bila dibandingkan dengan audit yang dilakukan terhadap suatu peristiwa
hukum.
Kedua, adanya indikasi kerugian
keuangan negara berdasarkan temuan BPK pada hakikatnya hanyalah berupa fakta.
Apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi ataukah ranah
perdata ataukah ranah pidana, harus dilakukan klarifikasi lebih lanjut.
Klarifikasi atas temuan tersebut bukanlah kewenangan BPK, bahkan BPK tidak
memiliki preknowledge untuk
menjustifikasi apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi,
ranah perdata, ataukah ranah pidana.
Ketiga, haruslah dipahami bahwa
tidak selamanya kerugian keuangan negara identik dengan tindak pidana korupsi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pasal 32 UU Tipikor
membuka kemungkinan adanya kerugian keuangan negara, akan tetapi dalam ranah
perdata. Oleh karena itu, ketika KPK berpendapat berdasarkan hasil penyelidikan
terhadap suatu peristiwa hukum tidak memenuhi unsur korupsi, maka penyelidikan
tersebut sudah dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dari sudut pandang
auditor semata, tetapi juga pendapat ahli lainnya, termasuk ahli hukum terkait.
Keempat, dalam konteks pembuktian,
bukti berdasarkan perspektif seorang auditor berbeda dengan bukti berdasarkan
perspektif juris. Pembuktian dalam hukum-terlebih hukum pidana-bersifat rigid
yang didasarkan pada enam parameter pembuktian: (1) dasar-dasar pembuktian (bewijs gronden); (2) alat-alat bukti (bewijs middelen); (3) cara menemukan,
memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti di depan persidangan (bewijsvoering); (4) beban pembuktian (bewijslast); (5) minimum bukti (bewijs minimmum); (6) dan kekuatan
pembuktian (bewijs kracht). Perbedaan
persepsi yang demikian mengakibatkan perbedaan pendapat mengenai suatu
peristiwa hukum.
Kelima, hasil audit bukanlah
satu-satunya parameter adanya indikasi tindak pidana korupsi. Namun tidak
berarti sebaliknya, bahwa jika hasil audit tidak menemukan adanya penyimpangan,
bukanlah berarti bahwa tidak ada tindak pidana korupsi. Banyak kasus korupsi
yang kemudian diungkap penegak hukum, baik oleh KPK, kejaksaan, maupun
kepolisian, padahal berdasarkan hasil audit tidak ditemukan adanya
penyimpangan.
Keenam, in casu a quo, dengan asumsi pemberitaan yang dilansir oleh
berbagai media adalah benar bahwa dasar aturan yang digunakan oleh BPK untuk
mengaudit sudah tidak lagi berlaku, maka telah terjadi error juris dalam menganalisis suatu peristiwa hukum. Dalam hukum
berlaku adagium lex posteriori derogat lege priori, yang berarti bahwa aturan
hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum terdahulu.
Seandainya jika pada saat audit
dilakukan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka dalam konteks
yang demikian berlaku prinsip lex favor
reo. Artinya, jika terjadi perubahan perundang-undangan, maka harus
digunakan aturan yang lebih menguntungkan.
oleh Eddy OS Hiarie
disadur dari Kompas, Sabtu, 18 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar