Editors Picks

Minggu, 19 Juni 2016

Suku Bunga Acuan dan Pertumbuhan



Merespons perlambatan ekonomi, Bank Indonesia kembali melakukan pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan.

Penurunan bunga acuan (BI Rate) 25 basis poin (bps) menjadi 6,5 persen—dan dua bunga acuan lain—Rabu lalu, merupakan bagian dari upaya BI mendorong pertumbuhan, di tengah ancaman stagnasi ekonomi.

Lewat penurunan bunga acuan, bunga kredit perbankan diharapkan bisa ditekan sehingga bisa mendorong investasi dunia usaha dan daya beli masyarakat. BI dan pemerintah menargetkan bunga kredit sudah di bawah 10 persen (single digit) akhir 2016, dari 12-15 persen saat ini. Dalam enam bulan pertama 2016, BI dua kali menurunkan bunga acuan, tetapi sejauh ini belum berpengaruh pada bunga kredit.

Selain pelonggaran moneter lewat penurunan suku bunga, BI juga melonggarkan sejumlah kebijakan makroprudensial. Langkah BI ini secara tidak langsung menunjukkan perhatian serius BI terhadap perlambatan ekonomi.

Menyusul pertumbuhan 4,79 persen pada 2015, PDB triwulan I-2016 hanya tumbuh 4,9 persen dan triwulan II diperkirakan BI juga di bawah 5 persen. Ancaman perlambatan tecermin dari indikator seperti menurunnya permintaan kendaraan bermotor, semen, kredit, pertumbuhan ritel, dan manufaktur. Perlambatan juga terjadi pada semua komponen pembentuk PDB: belanja pemerintah, investasi, konsumsi rumah tangga, dan ekspor.

Efektifkah penurunan bunga acuan untuk menggerakkan ekonomi? Instrumen moneter tak bisa berdiri sendiri. Penurunan bunga acuan tak otomatis akan direspons perbankan melalui penurunan bunga kredit. Bunga acuan BI hanya salah satu penentu bunga kredit.

Penurunan bunga kredit juga harus didorong melalui peningkatan efisiensi perbankan dan pembenahan faktor di luar moneter. Penurunan bunga kredit juga tak mudah karena rasio kredit terhadap simpanan perbankan, kini, sudah sekitar 92 persen. Di tengah membengkaknya kredit macet, barangkali ekspansi kredit juga bukan prioritas perbankan saat ini.

Perlambatan pertumbuhan yang bisa memicu peningkatan pengangguran terbuka dan kemiskinan berpotensi memicu instabilitas. Untuk memutus lingkaran setan siklus perlambatan ekonomi dituntut kreativitas dan respons bersama pemerintah-BI lewat stimulus fiskal dan moneter.

Mendorong daya beli dan permintaan domestik tak bisa hanya dengan stimulus moneter, tetapi juga stimulus fiskal. Berbeda dengan belanja negara 2015 yang mampu menahan perlambatan ekonomi lebih dalam yang bersumber dari faktor global, kini, fiskal dihadapkan situasi pelik khususnya dengan ketidakpastian penerimaan dari amnesti pajak.

Sementara instrumen moneter juga tak bisa serampangan. Penurunan bunga acuan juga harus memperhatikan faktor, seperti tren bunga AS, dampak pada nilai tukar, dan inflasi. Hal lain, keengganan masyarakat investasi atau membelanjakan dana bukan tak mungkin juga akibat ketidakpastian dan menurunnya kepercayaan. Bagaimana membalikkan situasi ini juga menjadi isu penting di sini.

disadur dari Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar