Merespons perlambatan ekonomi, Bank
Indonesia kembali melakukan pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga
acuan.
Penurunan bunga acuan (BI Rate) 25
basis poin (bps) menjadi 6,5 persen—dan dua bunga acuan lain—Rabu lalu,
merupakan bagian dari upaya BI mendorong pertumbuhan, di tengah ancaman
stagnasi ekonomi.
Lewat penurunan bunga acuan, bunga
kredit perbankan diharapkan bisa ditekan sehingga bisa mendorong investasi
dunia usaha dan daya beli masyarakat. BI dan pemerintah menargetkan bunga
kredit sudah di bawah 10 persen (single digit) akhir 2016, dari 12-15 persen
saat ini. Dalam enam bulan pertama 2016, BI dua kali menurunkan bunga acuan,
tetapi sejauh ini belum berpengaruh pada bunga kredit.
Selain pelonggaran moneter lewat
penurunan suku bunga, BI juga melonggarkan sejumlah kebijakan makroprudensial.
Langkah BI ini secara tidak langsung menunjukkan perhatian serius BI terhadap
perlambatan ekonomi.
Menyusul pertumbuhan 4,79 persen
pada 2015, PDB triwulan I-2016 hanya tumbuh 4,9 persen dan triwulan II
diperkirakan BI juga di bawah 5 persen. Ancaman perlambatan tecermin dari
indikator seperti menurunnya permintaan kendaraan bermotor, semen, kredit,
pertumbuhan ritel, dan manufaktur. Perlambatan juga terjadi pada semua komponen
pembentuk PDB: belanja pemerintah, investasi, konsumsi rumah tangga, dan
ekspor.
Efektifkah penurunan bunga acuan
untuk menggerakkan ekonomi? Instrumen moneter tak bisa berdiri sendiri. Penurunan
bunga acuan tak otomatis akan direspons perbankan melalui penurunan bunga
kredit. Bunga acuan BI hanya salah satu penentu bunga kredit.
Penurunan bunga kredit juga harus
didorong melalui peningkatan efisiensi perbankan dan pembenahan faktor di luar
moneter. Penurunan bunga kredit juga tak mudah karena rasio kredit terhadap
simpanan perbankan, kini, sudah sekitar 92 persen. Di tengah membengkaknya
kredit macet, barangkali ekspansi kredit juga bukan prioritas perbankan saat
ini.
Perlambatan pertumbuhan yang bisa
memicu peningkatan pengangguran terbuka dan kemiskinan berpotensi memicu
instabilitas. Untuk memutus lingkaran setan siklus perlambatan ekonomi dituntut
kreativitas dan respons bersama pemerintah-BI lewat stimulus fiskal dan
moneter.
Mendorong daya beli dan permintaan
domestik tak bisa hanya dengan stimulus moneter, tetapi juga stimulus fiskal.
Berbeda dengan belanja negara 2015 yang mampu menahan perlambatan ekonomi lebih
dalam yang bersumber dari faktor global, kini, fiskal dihadapkan situasi pelik
khususnya dengan ketidakpastian penerimaan dari amnesti pajak.
Sementara instrumen moneter juga tak
bisa serampangan. Penurunan bunga acuan juga harus memperhatikan faktor,
seperti tren bunga AS, dampak pada nilai tukar, dan inflasi. Hal lain, keengganan
masyarakat investasi atau membelanjakan dana bukan tak mungkin juga akibat
ketidakpastian dan menurunnya kepercayaan. Bagaimana membalikkan situasi ini
juga menjadi isu penting di sini.
disadur dari Kompas, Sabtu, 18 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar