Editors Picks

Minggu, 19 Juni 2016

Mencegah Negara Gagal Fiskal



Indonesia berpotensi mengalami gagal fiskal pada 2016 jika tidak segera dilakukan perbaikan fundamental pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, yang kini dibahas pemerintah dan DPR.

Gagal fiskal adalah suatu kondisi di mana postur penerimaan, belanja, dan pembiayaan negara tak mematuhi disiplin dan kepatutan ekonomi yang digariskan aturan perundang-undangan. Kegagalan fiskal bukanlah sesuatu yang bisa dipandang remeh dalam konteks politik kenegaraan mutakhir.

Pemerintahan Obama mengalaminya pada 2013 akibat kegagalan mematuhi ketentuan batas maksimal rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), yang berujung pada Fiscal Shutdown di AS. Di Brasil, gagal fiskal berakibat lebih ekstrem, pemakzulan terhadap Presiden Dilma Rousseff yang dianggap melanggar ketentuan konstitusi tentang disiplin mekanisme pembiayaan fiskal.

Dalam hal ini, secara umum bisa dikatakan, tak banyak perubahan dalam postur kasar RAPBN-P 2016 yang diajukan pemerintah. Total anggaran turun dari Rp 1.822 triliun pada APBN 2016 menjadi Rp 1.734 triliun pada RAPBN-P 2016 akibat merosotnya penerimaan negara sebesar Rp 88 triliun. Susutnya penerimaan ini dikompensasi dengan pengurangan belanja sebesar Rp 48 triliun dan tambahan pembiayaan utang Rp 40 triliun. Pengurangan belanja yang tak sebanding dengan penurunan penerimaan negara menyebabkan meningkatnya rencana defisit anggaran di 2016, dari Rp 273 triliun atau 2,15 persen dari PDB menjadi Rp 313 triliun atau 2,48 persen dari PDB.

Rencana defisit anggaran ini secara faktual terhitung konservatif karena realisasi defisit tahun fiskal berjalan sampai Mei 2016 sudah mencapai Rp 189,2 triliun, atau 69,3 persen dari target Rp 273 triliun hingga akhir tahun. Angka ini membengkak hampir tiga kali lipat dibandingkan realisasi defisit pada waktu yang sama di tahun sebelumnya, sebesar Rp 71,2 triliun atau 32 persen dari target.

Kelemahan amnesti pajak
Dari simulasi yang kami lakukan, realisasi defisit akan mendekati Rp 500 triliun akhir 2016. Atau, bila dirasiokan, angka ini mencapai 4,1 persen terhadap perkiraan angka PDB, yang artinya melewati batas maksimal 3 persen yang diamanatkan UU Nomor 17 Tahun 2003 (UU Keuangan Negara). Dus, Indonesia terancam mengalami gagal fiskal.

Pemerintah memang mengantisipasi kemungkinan ini dengan menyiapkan kebijakan pengampunan pajak pada RAPBN-P 2016, yang menargetkan tambahan penerimaan Rp 165 triliun untuk mencegah menggelembungnya angka defisit. Namun, kebijakan ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, asumsi tambahan penerimaan Rp 165 triliun terlampau optimistik. Beberapa lembaga, termasuk Bank Indonesia, memperkirakan penerimaan dari amnesti pajak paling tinggi Rp 60 triliun. Dengan kata lain, ada risiko kekurangan penerimaan negara sekitar Rp 100 triliun, yang sudah cukup membuat gagal fiskal karena rasio defisit terhadap PDB mencapai 3,6 persen.

Kedua, kebijakan amnesti pajak juga berpotensi menyebabkan liquidity mismatch antara penerimaan dan belanja negara. Kenaikan rencana penerimaan dari tarif tebusan pengampunan pajak yang diperkirakan terjadi di akhir tahun sama artinya keringnya likuiditas pada bulan-bulan sebelumnya. Karena itu, bisa dipastikan akan terjadi beberapa penundaan pembayaran belanja atau tambahan utang modal kerja untuk menambal kas negara.

Ketiga, kebijakan ini berbenturan dengan beberapa UU lain, termasuk UU Perpajakan dan UU Perbankan. Pada titik ini, terobosan hukum diperlukan karena pemerintah dan DPR tak memiliki waktu cukup untuk merevisi pasal-pasal pada UU lain yang bertabrakan dengan UU Pengampunan Pajak. Dari sisi keadilan, ada rasa keadilan sosial yang terkoyak ketika para pengemplang pajak bisa menghindari sanksi administrasi dan pidana dengan hanya membayar tarif tebusan 1-6 persen.

Keempat, pengampunan pajak merusak struktur penerimaan negara karena ada pembengkakan penerimaan yang tak berkesinambungan. Kebijakan amnesti pajak hanya kebijakan semu yang memindahkan defisit anggaran dari tahun fiskal 2016 ke tahun-tahun mendatang. Apabila ini diterapkan, penerimaan negara secara rasional akan turun di masa depan. Sementara belanja negara cenderung tetap atau mengalami sedikit peningkatan. Akibatnya, angka defisit akan kembali meledak.

Kebijakan pengampunan pajak juga sekadar remedi sementara dari persoalan defisit APBN yang sudah bersifat kritis. Akar masalah sebenarnya ada pada asumsi penerimaan negara yang tak realistis, yang dimulai pada 2015. Pada saat itu, pemerintah menaikkan rencana penerimaan sektor pajak hampir Rp 350 triliun atau tumbuh 26 persen dari realisasi penerimaan tahun sebelumnya yang gagal tercapai. Bahkan, realisasi di 2015 sebesar Rp 1.240 triliun adalah lebih rendah daripada target tahun 2014 sebesar Rp 1.246 triliun.

Sumber masalah lain adalah asumsi makro yang ditetapkan pemerintah. Sebagaimana APBN-P 2015 di mana pemerintah bertahan pada asumsi pertumbuhan tinggi 5,7 persen yang kemudian terbukti meleset hampir 1 persen karena pertumbuhan tercatat hanya 4,8 persen. Pada RAPBN-P 2016, pemerintah pun kukuh mematok asumsi pertumbuhan 5,3 persen hingga akhir tahun. Angka ini diperkirakan juga meleset karena sudah tak sesuai dengan kondisi terakhir di mana banyak lembaga memperkirakan pertumbuhan paling tinggi tak lebih dari 5,1 persen.

Selisih antara asumsi angka pertumbuhan dan pertumbuhan riil yang terjadi berimplikasi pada penerimaan pajak sebagai komponen terbesar penerimaan negara. Melemahnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan melemahnya penerimaan negara karena pajak sangat tergantung pada pendapatan masyarakat dan ekspektasinya ke depan. Lebih jauh, penggunaan angka pertumbuhan PDB pada asumsi makro APBN sudah kurang relevan untuk mengukur potensi penerimaan. Seyogianya pemerintah menggunakan angka pendapatan per kapita, yang walau pertumbuhannya lebih rendah pada dua tahun terakhir, tetapi lebih realistis memotret daya beli dan potensi pajak masyarakat.

Penyesuaian fiskal
Selain sisi penerimaan, RAPBN 2016 juga berisiko pada sisi belanja. Pemangkasan belanja negara sebesar Rp 48 triliun akan memiliki komplikasi yang tak kecil, baik di pusat maupun daerah. Akan muncul banyak pertanyaan tentang prioritas anggaran dan cara yang diambil untuk mengurangi belanja. Adapun dari sisi pembiayaan, RAPBN 2016 akan menyerap lebih banyak dana masyarakat akibat meningkatnya utang pemerintah. Hal ini secara langsung mengurangi jumlah ketersediaan likuiditas bagi sektor swasta. Tambahan pembiayaan melalui utang akan mendesak keluar (crowding-out effect) dan mengakibatkan kian tertekannya investasi dan konsumsi sektor swasta. Padahal, tambahan utang ini diperuntukkan guna menutup current spending yang kurang berdampak pada angka pertumbuhan.

Tentu, pihak pemerintah berargumen bahwa posisi utang negara masih dalam kategori aman, dengan rasio utang terhadap PDB sampai kuartal I-2016 sebesar 36,5 persen. Rasio ini juga masih di bawah ketetapan maksimal sebesar 60 persen yang digariskan UU Keuangan Negara. Namun, argumen ini hanya valid sebagian. Sebab, saat ini, selain Menteri Keuangan yang menurut UU seharusnya adalah pengendali tunggal utang negara, Menteri BUMN juga secara de facto bisa meminjam dari luar negeri dengan menggadaikan aset BUMN di bawah kendalinya. Tambahan utang BUMN ini tak dimasukkan dalam perhitungan utang negara sehingga besaran rasio yang ada cenderung bias ke bawah. Tindakan ini sendiri pun sebenarnya sudah pengabaian disiplin fiskal yang digariskan UU Keuangan Negara.

Selain itu, rasio utang terhadap PDB bukanlah ukuran tunggal keamanan pembiayaan, terutama bagi negara dengan ekonomi terbuka seperti Indonesia, yang penerimaan devisanya sangat fluktuatif. Sebagaimana pernah terjadi pada krisis 1998 dan 2008, eskalasi ketersediaan devisa bisa berlangsung sangat cepat dan menyebabkan krisis likuiditas domestik. Dari uraian ini, dapat disimpulkan, potensi gagal fiskal tidaklah mengada-ada. Postur RAPBN-P 2016 sangat tak realistis dan jauh dari sikap kehati-hatian. Ia tidak hanya melanggengkan sikap lebih besar pasak ketimbang tiang, tetapi juga memperbesar pasak yang ada dibanding tiang karena dilandasi postulat ekonomi yang spekulatif tentang penerimaan dan belanja negara ke depan.

Untuk itu, tindakan penyesuaian fiskal (fiscal adjustment) di luar pelebaran angka defisit harus diambil. Penyesuaian ini bisa diimplementasikan melalui dua langkah: pengurangan belanja dan fiscal switching. Pengurangan belanja dilakukan dengan memangkas lebih jauh belanja fungsional kementerian/lembaga yang produktivitasnya terhadap perekonomian rendah. Ruang untuk penyesuaian pada jenis belanja ini masih terbuka lebar mengingat ada peningkatan hampir Rp 60 triliun pada APBN 2016 dibandingkan realisasi 2015.

Langkah kedua, melakukan fiscal switching atau realokasi anggaran dari belanja yang daya stimulusnya rendah ke jenis belanja yang daya stimulusnya tinggi. Untuk konteks saat ini, dua pos anggaran patut dapat prioritas lebih. Pertama, penguatan anggaran belanja modal yang pada RAPBN-P 2016 justru mengalami penurunan sekitar 8 persen. Kedua, pengadaan atau penguatan anggaran belanja negara bagi transfer langsung pada masyarakat untuk menahan konsumsi rakyat di saat adanya pelemahan daya beli.

Pada saat yang sama, pemerintah dan DPR perlu kembali menegakkan komitmen terhadap disiplin fiskal negara dengan mempertegas kepatuhan pada ketentuan batas maksimal rasio fiskal yang digariskan UU dan menutup ruang bagi otorisasi pembiayaan di luar kendali Menteri Keuangan. Dengan berbagai langkah ini, daya tahan ekonomi akan bertambah sehingga negara terhindar dari kemungkinan gagal fiskal dan komplikasi politik yang bisa disebabkannya.

oleh M Ikhsan Modjo
disadur dari Kompas, Jum’at, 17 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar