Indonesia berpotensi mengalami gagal
fiskal pada 2016 jika tidak segera dilakukan perbaikan fundamental pada
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, yang
kini dibahas pemerintah dan DPR.
Gagal fiskal adalah suatu kondisi di
mana postur penerimaan, belanja, dan pembiayaan negara tak mematuhi disiplin
dan kepatutan ekonomi yang digariskan aturan perundang-undangan. Kegagalan
fiskal bukanlah sesuatu yang bisa dipandang remeh dalam konteks politik
kenegaraan mutakhir.
Pemerintahan Obama mengalaminya pada
2013 akibat kegagalan mematuhi ketentuan batas maksimal rasio utang terhadap
produk domestik bruto (PDB), yang berujung pada Fiscal Shutdown di AS. Di Brasil, gagal fiskal berakibat lebih
ekstrem, pemakzulan terhadap Presiden Dilma Rousseff yang dianggap melanggar
ketentuan konstitusi tentang disiplin mekanisme pembiayaan fiskal.
Dalam hal ini, secara umum bisa
dikatakan, tak banyak perubahan dalam postur kasar RAPBN-P 2016 yang diajukan
pemerintah. Total anggaran turun dari Rp 1.822 triliun pada APBN 2016 menjadi
Rp 1.734 triliun pada RAPBN-P 2016 akibat merosotnya penerimaan negara sebesar
Rp 88 triliun. Susutnya penerimaan ini dikompensasi dengan pengurangan belanja
sebesar Rp 48 triliun dan tambahan pembiayaan utang Rp 40 triliun. Pengurangan
belanja yang tak sebanding dengan penurunan penerimaan negara menyebabkan
meningkatnya rencana defisit anggaran di 2016, dari Rp 273 triliun atau 2,15
persen dari PDB menjadi Rp 313 triliun atau 2,48 persen dari PDB.
Rencana defisit anggaran ini secara
faktual terhitung konservatif karena realisasi defisit tahun fiskal berjalan
sampai Mei 2016 sudah mencapai Rp 189,2 triliun, atau 69,3 persen dari target
Rp 273 triliun hingga akhir tahun. Angka ini membengkak hampir tiga kali lipat
dibandingkan realisasi defisit pada waktu yang sama di tahun sebelumnya,
sebesar Rp 71,2 triliun atau 32 persen dari target.
Kelemahan
amnesti pajak
Dari simulasi yang kami lakukan,
realisasi defisit akan mendekati Rp 500 triliun akhir 2016. Atau, bila
dirasiokan, angka ini mencapai 4,1 persen terhadap perkiraan angka PDB, yang
artinya melewati batas maksimal 3 persen yang diamanatkan UU Nomor 17 Tahun
2003 (UU Keuangan Negara). Dus, Indonesia terancam mengalami gagal fiskal.
Pemerintah memang mengantisipasi
kemungkinan ini dengan menyiapkan kebijakan pengampunan pajak pada RAPBN-P
2016, yang menargetkan tambahan penerimaan Rp 165 triliun untuk mencegah
menggelembungnya angka defisit. Namun, kebijakan ini memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, asumsi tambahan penerimaan Rp 165 triliun terlampau
optimistik. Beberapa lembaga, termasuk Bank Indonesia, memperkirakan penerimaan
dari amnesti pajak paling tinggi Rp 60 triliun. Dengan kata lain, ada risiko
kekurangan penerimaan negara sekitar Rp 100 triliun, yang sudah cukup membuat
gagal fiskal karena rasio defisit terhadap PDB mencapai 3,6 persen.
Kedua, kebijakan amnesti pajak juga
berpotensi menyebabkan liquidity mismatch
antara penerimaan dan belanja negara. Kenaikan rencana penerimaan dari tarif
tebusan pengampunan pajak yang diperkirakan terjadi di akhir tahun sama artinya
keringnya likuiditas pada bulan-bulan sebelumnya. Karena itu, bisa dipastikan
akan terjadi beberapa penundaan pembayaran belanja atau tambahan utang modal
kerja untuk menambal kas negara.
Ketiga, kebijakan ini berbenturan
dengan beberapa UU lain, termasuk UU Perpajakan dan UU Perbankan. Pada titik
ini, terobosan hukum diperlukan karena pemerintah dan DPR tak memiliki waktu
cukup untuk merevisi pasal-pasal pada UU lain yang bertabrakan dengan UU
Pengampunan Pajak. Dari sisi keadilan, ada rasa keadilan sosial yang terkoyak
ketika para pengemplang pajak bisa menghindari sanksi administrasi dan pidana
dengan hanya membayar tarif tebusan 1-6 persen.
Keempat, pengampunan pajak merusak
struktur penerimaan negara karena ada pembengkakan penerimaan yang tak
berkesinambungan. Kebijakan amnesti pajak hanya kebijakan semu yang memindahkan
defisit anggaran dari tahun fiskal 2016 ke tahun-tahun mendatang. Apabila ini
diterapkan, penerimaan negara secara rasional akan turun di masa depan.
Sementara belanja negara cenderung tetap atau mengalami sedikit peningkatan.
Akibatnya, angka defisit akan kembali meledak.
Kebijakan pengampunan pajak juga
sekadar remedi sementara dari persoalan defisit APBN yang sudah bersifat
kritis. Akar masalah sebenarnya ada pada asumsi penerimaan negara yang tak
realistis, yang dimulai pada 2015. Pada saat itu, pemerintah menaikkan rencana
penerimaan sektor pajak hampir Rp 350 triliun atau tumbuh 26 persen dari
realisasi penerimaan tahun sebelumnya yang gagal tercapai. Bahkan, realisasi di
2015 sebesar Rp 1.240 triliun adalah lebih rendah daripada target tahun 2014
sebesar Rp 1.246 triliun.
Sumber masalah lain adalah asumsi
makro yang ditetapkan pemerintah. Sebagaimana APBN-P 2015 di mana pemerintah
bertahan pada asumsi pertumbuhan tinggi 5,7 persen yang kemudian terbukti meleset
hampir 1 persen karena pertumbuhan tercatat hanya 4,8 persen. Pada RAPBN-P
2016, pemerintah pun kukuh mematok asumsi pertumbuhan 5,3 persen hingga akhir
tahun. Angka ini diperkirakan juga meleset karena sudah tak sesuai dengan
kondisi terakhir di mana banyak lembaga memperkirakan pertumbuhan paling tinggi
tak lebih dari 5,1 persen.
Selisih antara asumsi angka
pertumbuhan dan pertumbuhan riil yang terjadi berimplikasi pada penerimaan
pajak sebagai komponen terbesar penerimaan negara. Melemahnya pertumbuhan
ekonomi menyebabkan melemahnya penerimaan negara karena pajak sangat tergantung
pada pendapatan masyarakat dan ekspektasinya ke depan. Lebih jauh, penggunaan
angka pertumbuhan PDB pada asumsi makro APBN sudah kurang relevan untuk
mengukur potensi penerimaan. Seyogianya pemerintah menggunakan angka pendapatan
per kapita, yang walau pertumbuhannya lebih rendah pada dua tahun terakhir,
tetapi lebih realistis memotret daya beli dan potensi pajak masyarakat.
Penyesuaian
fiskal
Selain sisi penerimaan, RAPBN 2016
juga berisiko pada sisi belanja. Pemangkasan belanja negara sebesar Rp 48
triliun akan memiliki komplikasi yang tak kecil, baik di pusat maupun daerah.
Akan muncul banyak pertanyaan tentang prioritas anggaran dan cara yang diambil
untuk mengurangi belanja. Adapun dari sisi pembiayaan, RAPBN 2016 akan menyerap
lebih banyak dana masyarakat akibat meningkatnya utang pemerintah. Hal ini
secara langsung mengurangi jumlah ketersediaan likuiditas bagi sektor swasta.
Tambahan pembiayaan melalui utang akan mendesak keluar (crowding-out effect) dan mengakibatkan kian tertekannya investasi
dan konsumsi sektor swasta. Padahal, tambahan utang ini diperuntukkan guna
menutup current spending yang kurang
berdampak pada angka pertumbuhan.
Tentu, pihak pemerintah berargumen
bahwa posisi utang negara masih dalam kategori aman, dengan rasio utang
terhadap PDB sampai kuartal I-2016 sebesar 36,5 persen. Rasio ini juga masih di
bawah ketetapan maksimal sebesar 60 persen yang digariskan UU Keuangan Negara.
Namun, argumen ini hanya valid sebagian. Sebab, saat ini, selain Menteri
Keuangan yang menurut UU seharusnya adalah pengendali tunggal utang negara,
Menteri BUMN juga secara de facto
bisa meminjam dari luar negeri dengan menggadaikan aset BUMN di bawah
kendalinya. Tambahan utang BUMN ini tak dimasukkan dalam perhitungan utang
negara sehingga besaran rasio yang ada cenderung bias ke bawah. Tindakan ini
sendiri pun sebenarnya sudah pengabaian disiplin fiskal yang digariskan UU
Keuangan Negara.
Selain itu, rasio utang terhadap PDB
bukanlah ukuran tunggal keamanan pembiayaan, terutama bagi negara dengan
ekonomi terbuka seperti Indonesia, yang penerimaan devisanya sangat fluktuatif.
Sebagaimana pernah terjadi pada krisis 1998 dan 2008, eskalasi ketersediaan
devisa bisa berlangsung sangat cepat dan menyebabkan krisis likuiditas
domestik. Dari uraian ini, dapat disimpulkan, potensi gagal fiskal tidaklah
mengada-ada. Postur RAPBN-P 2016 sangat tak realistis dan jauh dari sikap
kehati-hatian. Ia tidak hanya melanggengkan sikap lebih besar pasak ketimbang
tiang, tetapi juga memperbesar pasak yang ada dibanding tiang karena dilandasi
postulat ekonomi yang spekulatif tentang penerimaan dan belanja negara ke
depan.
Untuk itu, tindakan penyesuaian
fiskal (fiscal adjustment) di luar
pelebaran angka defisit harus diambil. Penyesuaian ini bisa diimplementasikan
melalui dua langkah: pengurangan belanja dan fiscal switching. Pengurangan belanja dilakukan dengan memangkas
lebih jauh belanja fungsional kementerian/lembaga yang produktivitasnya terhadap
perekonomian rendah. Ruang untuk penyesuaian pada jenis belanja ini masih
terbuka lebar mengingat ada peningkatan hampir Rp 60 triliun pada APBN 2016
dibandingkan realisasi 2015.
Langkah kedua, melakukan fiscal switching atau realokasi anggaran
dari belanja yang daya stimulusnya rendah ke jenis belanja yang daya
stimulusnya tinggi. Untuk konteks saat ini, dua pos anggaran patut dapat
prioritas lebih. Pertama, penguatan anggaran belanja modal yang pada RAPBN-P
2016 justru mengalami penurunan sekitar 8 persen. Kedua, pengadaan atau
penguatan anggaran belanja negara bagi transfer langsung pada masyarakat untuk
menahan konsumsi rakyat di saat adanya pelemahan daya beli.
Pada saat yang sama, pemerintah dan
DPR perlu kembali menegakkan komitmen terhadap disiplin fiskal negara dengan
mempertegas kepatuhan pada ketentuan batas maksimal rasio fiskal yang
digariskan UU dan menutup ruang bagi otorisasi pembiayaan di luar kendali
Menteri Keuangan. Dengan berbagai langkah ini, daya tahan ekonomi akan
bertambah sehingga negara terhindar dari kemungkinan gagal fiskal dan
komplikasi politik yang bisa disebabkannya.
oleh M Ikhsan Modjo
disadur dari Kompas, Jum’at, 17 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar