Editors Picks

Minggu, 19 Juni 2016

Menimbang Pengampunan Pajak



Rencana penerapan pengampunan pajak masih terus diperdebatkan, bahkan cenderung membelah opini publik ke dalam pro dan kontra yang simplistik.

Pembahasan alot di DPR barangkali merepresentasikan kegamangan publik dalam menyikapi ide pengampunan pajak.

Alih-alih mencapai kata sepakat, pembahasan RUU Pengampunan Pajak justru masih alot. Di satu sisi, kita patut bersyukur bahwa diskursus publik yang sehat dan elaboratif mampu menyediakan mata awas agar program ini ditempa dan matang.

Di sisi lain, berlarut-larutnya pembahasan yang disebabkan kegagalan masuk ke detail persoalan, lemahnya pemahaman terhadap dinamika perpajakan internasional, dan keengganan melakukan pembacaan internal terhadap RUU ini rawan menggelincirkan kita pada jargon, ilusi, serta menyia-nyiakan momentum. Melampaui pro dan kontra, kita seyogianya mencari jalan keluar paling mungkin di tengah kemandekan ekonomi dan kebuntuan sistem perpajakan.

Jejak pengampunan pajak
Program pengampunan pajak bukan barang baru di dunia, pula di Indonesia. Sejak Rosetta Stone di Mesir (200 SM) di era Ptolomeus V, setidaknya sudah lebih dari 40 negara menerapkannya, termasuk Turki, Rusia, Thailand, India, Kolombia, Mongolia, dan Brasil pada kurun 2014-2016. Indonesia sendiri pernah menerapkan di era Presiden Soekarno lewat Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 dan Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984.

Mengiringi dua program pengampunan ini, pemerintah mengimplementasikan sunset policy pada tahun 2008 dan terakhir tahun 2015 dicanangkan sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak- keduanya kerap disebut sebagai "pengampunan terbatas".

Dalam konteks itu, pemahaman konseptual-historis menjadi penting. Baik Soekarno maupun Soeharto menempatkan pengampunan pajak sebagai jembatan. Bagi Soekarno, pengampunan pajak menjadi jalan keluar bagi kebutuhan modal demi Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yang salah satunya bersumber dari uang yang belum dipajaki.

Konsiderasi dan formulasi yang dibuatnya pun lugas, tepat sasaran, dan visioner. Adapun Soeharto menjalankan pengampunan sebagai bagian tak terpisahkan dari Reformasi Pajak 1983, yaitu peralihan dari official assessment menuju self assessment. Agar sistem perpajakan baru berhasil, diperlukan pangkal tolak yang bersih berlandaskan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat. Kini, 33 tahun sejak Reformasi Pajak 1983 dicanangkan, self assessment system masih terkendala beberapa hal: kepatuhan pajak rendah, rasio pajak stagnan, penegakan hukum belum efektif, dan penghindaran pajak yang cukup tinggi.

Jika ditilik dari perspektif kontrak demokratik, pajak adalah relasi dialektis hak dan kewajiban antara negara dan warga negara. Kepatuhan pajak selalu bersifat quasi-voluntary karena publik menuntut transparansi, perlakuan adil, dan imbalan yang sepadan. Pertanyaan reflektif layak diajukan kepada pemerintah: apakah fungsi pelayanan, pembinaan, dan pengawasan yang menjadi mandat Reformasi Pajak 1983 dan kontraprestasi melalui belanja APBN telah dijalankan dengan baik sehingga secara moral mengikat kepatuhan wajib pajak?

Bertolak dari fakta bahwa kepatuhan wajib pajak masih rendah dan otoritas belum sepenuhnya bekerja optimal, pengampunan pajak berpotensi ditimbang sebagai jalan keluar. Setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati. Pertama, kondisi perekonomian yang belum membaik dan sedang berupaya pulih membutuhkan berbagai stimulus dan insentif. Kebijakan pemungutan pajak yang ramah tentu mendorong pemulihan yang lebih cepat.

Kedua, stagnasi penerimaan pajak lima tahun terakhir dan ambisi pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur memicu penetapan target pajak terlalu optimistik-melampaui kemampuan alamiah-sehingga dalam jangka pendek kontradiktif dengan kondisi ekonomi. Intensifikasi akhirnya menjadi pilihan dan konsekuensinya terjadi pemungutan pajak yang agresif. Ketiga, kenyataan bahwa banyak dana milik WNI yang diparkir di luar negeri merupakan potensi penerimaan pajak dan darah segar bagi perekonomian.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana di tengah segala keterbatasan-baik kapasitas, regulasi, maupun waktu-kita mampu meracik kebijakan dan strategi yang efektif dan paling mungkin dilakukan. Secara teoretik dan ideal, kita seharusnya melakukan penegakan hukum yang keras dan tegas terhadap para pengemplang pajak.

Berdamai dengan mereka melalui pemberian pengampunan dapat dipandang sebagai bentuk kekalahan negara. Namun, kita harus mengukur diri. Pertama, bahkan terhadap gonjang-ganjing Offshore Leaks dan Panama Papers saja kita tak berkutik dan tak mampu melakukan tindakan yang memadai. Bahkan belum ada tanda-tanda tindak lanjut terhadap "Jokowi Papers" yang konon lebih akurat dan dahsyat.

Kedua, kita mengabaikan relasi "power-property", bahwa struktur oligarkis melanggengkan pertalian kuasa dan modal yang menyulitkan penegakan hukum. Ingatan kita lantas kembali pada lunglainya penyidikan pajak terhadap beberapa kelompok usaha besar beberapa waktu lalu. Ketiga, kita berimajinasi seolah data atas dana ribuan triliun di luar negeri sudah kita kantongi dan tinggal dilakukan penegakan hukum dengan hasil fantastik! Bukanlah justru lambannya penegakan hukum atas data ini menunjukkan kita tak memiliki cukup peluru dan nyali?

Keempat, jika memilih penegakan hukum ketimbang pengampunan, kita dihadapkan pada ketentuan daluwarsa penetapan pajak, yaitu lima tahun. Di samping itu, fakta cakupan audit hanya 2 persen dari total wajib pajak menunjukkan keterbatasan kapasitas Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan. Hal ini diperparah dengan potensi sengketa pajak yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kelima, kita terjebak simplifikasi bahwa dana triliunan itu statis dan serba terang. Padahal, saat bersamaan, di belahan lain siasat supercanggih untuk menghemat pajak dan melindungi aset sedang dirancang guna mengelabui era keterbukaan informasi yang akan tiba.

Paradigma antara
Di tengah aneka fakta dan keterbatasan yang ada, pengampunan pajak layak ditimang. Kali ini kita berpacu dengan waktu: sekarang atau tidak sama sekali. Justru apabila penegakan hukum dipaksakan di tengah berbagai keterbatasan, kita melanggengkan praktik ketidakadilan karena tak pernah bisa menjangkau the untouchable. Sebaliknya, pengampunan pajak dapat mendorong kegotongroyongan dan keadilan baru karena bertambahnya jumlah wajib pajak dan basis pajak baru.

Beban pajak untuk pembangunan akan disangga semakin banyak orang dan wajib pajak kecil-menengah serta patuh berpeluang mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum karena semua akan masuk dalam sistem administrasi perpajakan. Narasi yang harus terus-menerus dibangun adalah pengampunan pajak sebagai transisi menuju era keterbukaan informasi disertai penegakan hukum yang keras.

Pemerintah dan DPR wajib memastikan program pengampunan pajak membawa maslahat bagi publik melalui formulasi UU yang baik. Pengampunan pajak dapat dijadikan paradigma antara (meso-paradigm) yang menjembatani transisi menuju sistem perpajakan baru yang berkeadilan dan berkepastian hukum serta ekonomi yang tumbuh mandiri.

Menyertai pengampunan pajak, komitmen pemerintah dan DPR dalam merevisi UU Perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum, memperluas akses ke data perbankan, membentuk Badan Penerimaan Perpajakan, meningkatkan koordinasi penegakan hukum, dan pengembangan administrasi yang mumpuni, harus diikat sebagai prasyarat. Akhir kata, memperlakukan pengampunan pajak sebagai panasea yang serba mujarab atau program yang secara intrinsik jahat sama-sama menyesatkan. Di ujung lorong harapan ini, diam-diam kita merindukan Bung Karno yang tegas dan visioner.

oleh Yustinus Prastowo
disadur dari Kompas, Jum’at, 17 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar