Rencana penerapan pengampunan pajak
masih terus diperdebatkan, bahkan cenderung membelah opini publik ke dalam pro
dan kontra yang simplistik.
Pembahasan alot di DPR barangkali
merepresentasikan kegamangan publik dalam menyikapi ide pengampunan pajak.
Alih-alih mencapai kata sepakat,
pembahasan RUU Pengampunan Pajak justru masih alot. Di satu sisi, kita patut
bersyukur bahwa diskursus publik yang sehat dan elaboratif mampu menyediakan
mata awas agar program ini ditempa dan matang.
Di sisi lain, berlarut-larutnya
pembahasan yang disebabkan kegagalan masuk ke detail persoalan, lemahnya
pemahaman terhadap dinamika perpajakan internasional, dan keengganan melakukan
pembacaan internal terhadap RUU ini rawan menggelincirkan kita pada jargon,
ilusi, serta menyia-nyiakan momentum. Melampaui pro dan kontra, kita seyogianya
mencari jalan keluar paling mungkin di tengah kemandekan ekonomi dan kebuntuan
sistem perpajakan.
Jejak
pengampunan pajak
Program pengampunan pajak bukan
barang baru di dunia, pula di Indonesia. Sejak Rosetta Stone di Mesir (200 SM)
di era Ptolomeus V, setidaknya sudah lebih dari 40 negara menerapkannya,
termasuk Turki, Rusia, Thailand, India, Kolombia, Mongolia, dan Brasil pada
kurun 2014-2016. Indonesia sendiri pernah menerapkan di era Presiden Soekarno
lewat Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1964 dan Presiden Soeharto melalui
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984.
Mengiringi dua program pengampunan
ini, pemerintah mengimplementasikan sunset
policy pada tahun 2008 dan terakhir tahun 2015 dicanangkan sebagai Tahun
Pembinaan Wajib Pajak- keduanya kerap disebut sebagai "pengampunan
terbatas".
Dalam konteks itu, pemahaman
konseptual-historis menjadi penting. Baik Soekarno maupun Soeharto menempatkan
pengampunan pajak sebagai jembatan. Bagi Soekarno, pengampunan pajak menjadi
jalan keluar bagi kebutuhan modal demi Revolusi Nasional dan Pembangunan
Nasional Semesta Berencana, yang salah satunya bersumber dari uang yang belum
dipajaki.
Konsiderasi dan formulasi yang
dibuatnya pun lugas, tepat sasaran, dan visioner. Adapun Soeharto menjalankan
pengampunan sebagai bagian tak terpisahkan dari Reformasi Pajak 1983, yaitu
peralihan dari official assessment menuju
self assessment. Agar sistem
perpajakan baru berhasil, diperlukan pangkal tolak yang bersih berlandaskan
kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat. Kini, 33 tahun sejak Reformasi Pajak
1983 dicanangkan, self assessment system
masih terkendala beberapa hal: kepatuhan pajak rendah, rasio pajak stagnan,
penegakan hukum belum efektif, dan penghindaran pajak yang cukup tinggi.
Jika ditilik dari perspektif kontrak
demokratik, pajak adalah relasi dialektis hak dan kewajiban antara negara dan
warga negara. Kepatuhan pajak selalu bersifat quasi-voluntary karena publik menuntut transparansi, perlakuan
adil, dan imbalan yang sepadan. Pertanyaan reflektif layak diajukan kepada
pemerintah: apakah fungsi pelayanan, pembinaan, dan pengawasan yang menjadi
mandat Reformasi Pajak 1983 dan kontraprestasi melalui belanja APBN telah
dijalankan dengan baik sehingga secara moral mengikat kepatuhan wajib pajak?
Bertolak dari fakta bahwa kepatuhan
wajib pajak masih rendah dan otoritas belum sepenuhnya bekerja optimal,
pengampunan pajak berpotensi ditimbang sebagai jalan keluar. Setidaknya ada
tiga hal yang patut dicermati. Pertama, kondisi perekonomian yang belum membaik
dan sedang berupaya pulih membutuhkan berbagai stimulus dan insentif. Kebijakan
pemungutan pajak yang ramah tentu mendorong pemulihan yang lebih cepat.
Kedua, stagnasi penerimaan pajak
lima tahun terakhir dan ambisi pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur
memicu penetapan target pajak terlalu optimistik-melampaui kemampuan
alamiah-sehingga dalam jangka pendek kontradiktif dengan kondisi ekonomi.
Intensifikasi akhirnya menjadi pilihan dan konsekuensinya terjadi pemungutan
pajak yang agresif. Ketiga, kenyataan bahwa banyak dana milik WNI yang diparkir
di luar negeri merupakan potensi penerimaan pajak dan darah segar bagi
perekonomian.
Tantangan berikutnya adalah
bagaimana di tengah segala keterbatasan-baik kapasitas, regulasi, maupun
waktu-kita mampu meracik kebijakan dan strategi yang efektif dan paling mungkin
dilakukan. Secara teoretik dan ideal, kita seharusnya melakukan penegakan hukum
yang keras dan tegas terhadap para pengemplang pajak.
Berdamai dengan mereka melalui
pemberian pengampunan dapat dipandang sebagai bentuk kekalahan negara. Namun,
kita harus mengukur diri. Pertama, bahkan terhadap gonjang-ganjing Offshore Leaks dan Panama Papers saja kita tak berkutik dan tak mampu melakukan
tindakan yang memadai. Bahkan belum ada tanda-tanda tindak lanjut terhadap
"Jokowi Papers" yang konon
lebih akurat dan dahsyat.
Kedua, kita mengabaikan relasi
"power-property", bahwa
struktur oligarkis melanggengkan pertalian kuasa dan modal yang menyulitkan
penegakan hukum. Ingatan kita lantas kembali pada lunglainya penyidikan pajak
terhadap beberapa kelompok usaha besar beberapa waktu lalu. Ketiga, kita
berimajinasi seolah data atas dana ribuan triliun di luar negeri sudah kita
kantongi dan tinggal dilakukan penegakan hukum dengan hasil fantastik! Bukanlah
justru lambannya penegakan hukum atas data ini menunjukkan kita tak memiliki
cukup peluru dan nyali?
Keempat, jika memilih penegakan
hukum ketimbang pengampunan, kita dihadapkan pada ketentuan daluwarsa penetapan
pajak, yaitu lima tahun. Di samping itu, fakta cakupan audit hanya 2 persen
dari total wajib pajak menunjukkan keterbatasan kapasitas Ditjen Pajak
melakukan pemeriksaan. Hal ini diperparah dengan potensi sengketa pajak yang
bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kelima, kita terjebak simplifikasi bahwa
dana triliunan itu statis dan serba terang. Padahal, saat bersamaan, di belahan
lain siasat supercanggih untuk menghemat pajak dan melindungi aset sedang
dirancang guna mengelabui era keterbukaan informasi yang akan tiba.
Paradigma
antara
Di tengah aneka fakta dan
keterbatasan yang ada, pengampunan pajak layak ditimang. Kali ini kita berpacu
dengan waktu: sekarang atau tidak sama sekali. Justru apabila penegakan hukum
dipaksakan di tengah berbagai keterbatasan, kita melanggengkan praktik
ketidakadilan karena tak pernah bisa menjangkau the untouchable. Sebaliknya, pengampunan pajak dapat mendorong
kegotongroyongan dan keadilan baru karena bertambahnya jumlah wajib pajak dan
basis pajak baru.
Beban pajak untuk pembangunan akan
disangga semakin banyak orang dan wajib pajak kecil-menengah serta patuh
berpeluang mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum karena semua akan
masuk dalam sistem administrasi perpajakan. Narasi yang harus terus-menerus
dibangun adalah pengampunan pajak sebagai transisi menuju era keterbukaan
informasi disertai penegakan hukum yang keras.
Pemerintah dan DPR wajib memastikan
program pengampunan pajak membawa maslahat bagi publik melalui formulasi UU
yang baik. Pengampunan pajak dapat dijadikan paradigma antara (meso-paradigm) yang menjembatani
transisi menuju sistem perpajakan baru yang berkeadilan dan berkepastian hukum
serta ekonomi yang tumbuh mandiri.
Menyertai pengampunan pajak,
komitmen pemerintah dan DPR dalam merevisi UU Perpajakan yang berkeadilan dan
berkepastian hukum, memperluas akses ke data perbankan, membentuk Badan
Penerimaan Perpajakan, meningkatkan koordinasi penegakan hukum, dan
pengembangan administrasi yang mumpuni, harus diikat sebagai prasyarat. Akhir
kata, memperlakukan pengampunan pajak sebagai panasea yang serba mujarab atau
program yang secara intrinsik jahat sama-sama menyesatkan. Di ujung lorong
harapan ini, diam-diam kita merindukan Bung Karno yang tegas dan visioner.
oleh Yustinus Prastowo
disadur dari Kompas, Jum’at, 17 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar