Perlu diingat bahwa suatu reformasi
menghendaki adanya perubahan secara drastis untuk perbaikan di suatu bidang
(KBBI Daring: 2016).
Perubahan drastis yang diketahui
oleh publik sejauh ini adalah perihal atribusi wewenang kepada fiskus (pegawai
pajak) untuk mengakses data transaksi keuangan yang dilakukan oleh wajib pajak
melalui rekening bank yang dimilikinya, dengan atau tanpa kepentingan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Wewenang ini terkait langsung
dengan rencana penerapan automatic
exchange of information(AEOI) pada 2018. Prosedur yang dilakukan dalam
rangka kerja sama global antar-otoritas pajak ini diklaim mampu mengantisipasi
praktik penghindaran dan pengelakan pajak berbasis penanaman modal di luar
negeri.
Kebijakan ini mengindikasikan adanya
kehendak politik pemerintah untuk menempatkan asas keterbukaan sebagai fondasi hubungan
antara fiskus dan wajib pajak. Namun, asas keterbukaan juga menghendaki bahwa
fiskus dapat melayani masyarakat wajib pajak untuk mendapatkan akses dan
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
prosedur pemungutan pajak yang sedang dilakukan terhadapnya, sesuai dengan UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Oleh karena itu,
wewenang fiskus untuk mengakses data transaksi keuangan wajib pajak harus
diimbangi dengan kewajiban fiskus untuk memberitahukan tindakannya tersebut
kepada wajib pajak, beserta dengan alasannya.
Terbuka,
cermat, tidak memihak
Asas keterbukaan patut menjadi
simbol dari reformasi perpajakan yang sedang diupayakan. Namun, perubahan
drastis untuk perbaikan di bidang perpajakan menghendaki adanya manifestasi
Asas- asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) lainnya, sebagaimana tertuang
dalam UUAP. Beberapa asas yang perlu diinternalisasikan ke dalam UU tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah kecermatan, ketakberpihakan,
dan tak menyalahgunakan kewenangan.
Asas kecermatan di bidang perpajakan bermakna
bahwa setiap keputusan dan tindakan fiskus harus didasarkan pada informasi dan
dokumen yang lengkap, atau dengan kata lain dipersiapkan dengan cermat. Asas
ini perlu dimanifestasikan dalam prosedur pemeriksaan, keberatan, dan penagihan
pajak.
Komite Pengawas Perpajakan
mengungkapkan bahwa 144 dari 197 pengaduan yang disampaikan masyarakat pada
kurun waktu 2014-2015 berkaitan dengan tiga prosedur ini. Apabila data ini
disandingkan dengan data pengadilan pajak yang menunjukkan pada kurun waktu
yang sama terdapat 14.743 berkas permohonan untuk memeriksa dan memutus
sengketa pajak (Sekretariat Pengadilan Pajak: 2016), maka dapat disimpulkan
bahwa asas kecermatan belum sepenuhnya diterapkan oleh fiskus.
Sementara itu, asas
ketidakberpihakan dalam prosedur pemungutan pajak menghendaki bahwa setiap
keputusan dan tindakan fiskus harus mempertimbangkan kepentingan para pihak
secara keseluruhan dan tidak diskriminatif. Risalah sidang Putusan Mahkamah
Konstitusi No 30/PUU-X/2012 mengungkapkan bahwa jumlah surat pemberitahuan
tahunan (SPT) pajak yang diperiksa setiap tahunnya hanya mencapai 2 persen dari
jumlah SPT yang disampaikan oleh wajib pajak. Secara praktis, instruksi untuk melakukan
pemeriksaan didasarkan pada analisis risiko wajib pajak dan potensi penerimaan
pajak yang dapat diterima oleh negara dari pemeriksaan. Semakin besar risiko
dan potensi tersebut, semakin besar pula peluang pemeriksaan terhadap seorang
wajib pajak. Kebijakan ini mengindikasikan sikap fiskus yang parsial dalam
keputusan dan tindakannya terhadap wajib pajak.
Selanjutnya, asas tak
menyalahgunakan kewenangan pemungutan pajak mensyaratkan bahwa kewenangan yang
diatribusikan kepada fiskus tidak digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai
atau melampaui tujuan pemberian kewenangan tersebut. Putusan Mahkamah Agung
(MA) No 73 P/HUM/2013 menetapkan beberapa prosedur yang diatur pada PP No
74/2011 tidak sesuai atau melampaui maksud dan tujuan UUKUP, antara lain
mengenai prosedur verifikasi dan limitasi terhadap ketentuan pemberian imbalan
bunga kepada wajib pajak. Prosedur dan limitasi yang dibatalkan oleh MA
tersebut menempatkan fiskus pada posisi yang lebih menguntungkan secara
prosedural, relatif terhadap wajib pajak.
Mendorong
profesionalitas
Akhirnya, konkretisasi AUPB ke dalam
norma hukum yang mengikat (UUAP) memberikan corak bagi reformasi perpajakan
yang sedang diupayakan. Sebagai norma yang mengatur interaksi antara fiskus dan
wajib pajak, UUKUP wajib menginternalisasikan AUPB ke dalam
ketentuan-ketentuannya. Perwujudan AUPB dapat mendorong profesionalitas aparat
pajak, sedangkan pengabaian terhadapnya dapat memicu upaya hukum yang dilakukan
oleh wajib pajak terhadap keputusan dan tindakan fiskus, di luar upaya hukum
yang dilakukan oleh wajib pajak ke badan peradilan pajak. Dalam keadaan ini,
pelaksanaan keputusan dan tindakan di bidang perpajakan dapat tertunda sehingga
penerimaan negara juga akan tertunda.
oleh: Adrianto Dwi Nugroho
disadur dari Kompas, Kamis, 9 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar