Dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda
Quraish Shihab yang ditulis Mauluddin Anwar dkk, diceritakan bahwa seorang
Quraish Shihab yang memiliki garis keturunan dari Habib Ali bin Abdurrahman
Shihab yang berasal dari Hadhramaut tak mau dipanggil dengan sebutan habib.
Beliau lebih senang bila dipanggil ustaz sebagai tanda kehormatan yang lazim
yang disematkan pada seseorang yang memiliki jejak rekam pengabdian dan
pengamalan ilmu keagamaan.
Secara sosiologis, stratifikasi
sosial "ustaz" lebih rendah derajatnya daripada "habib".
Sebab, habib masuk dalam kategori abscribed
yang diberikan kepada seseorang yang secara historis terdapat keterkaitan
genealogis dengan pendahulunya. Sementara ustaz merupakan kategori achived yang
diperoleh melalui proses pencarian keilmuan, yang sesuai dengan kompetensi yang
digeluti dan pengalaman keberagamaan yang ditempa oleh waktu dan ruang yang memadai.
Pertanyaannya, mengapa seorang
Quraish Shihab lebih senang dipanggil ustaz? Adakah kesamaan stratifikasi
dengan kalangan lain yang barangkali tidak melalui proses pencarian dan
pengalaman tertentu, tetapi secara mendadak melekatkan dirinya dengan panggilan
ustaz?
Posisi
diri
Pilihan sebutan ustaz yang
diinginkan Quraish Shihab bukan tidak memiliki alasan yang mendasar. Pertama,
bisa jadi Quraish Shihab tak ingin terjebak dengan gelar habib yang dirasa
sangat berat beban psikologis dan sosiologis yang harus diemban. Dan, hal ini
menjadi dessenting calling di antara
sebagian orang yang memang memiliki titik sambung dengan genealogi Hadhramaut
dan bertemu dengan keinginan pribadinya yang ingin menegaskan dirinya sebagai
bagian keturunan habib.
Kedua, secara etimologis sebutan
ustaz merujuk pada makna guru yang memiliki kompetensi di bidang keagamaan. Hal
ini berkesesuaian dengan jejak rekam keterdidikan dan prestasi akademis yang
digeluti Quraish Shihab yang puluhan tahun berkecimpung di bidang Al Quran, baik
sebagai penghafal (hafidz) maupun
penafsir (mufassir).
Karena itu, sebutan ustaz yang
diinginkan Quraish Shihab sesungguhnya merupakan panggilan alternatif untuk
menghindarkan diri dari sikap riya' (angkuh) maupun kepercayaan diri berlebih
daripada harus bergelut dengan panggilan habib. Dalam konteks ini, Quraish
Shihab memiliki posisi diri (self
positioning) yang merendah dan tidak pamer.
Namun demikian, apa yang terjadi
pada posisi diri Qurasih Shihab tampak berbeda dengan kalangan lain yang secara
masif disebut sebagai ustaz oleh masyarakat hanya karena tampil di beberapa
forum pengajian, majelis taklim, maupun acara keagamaan yang ditayangkan di
televisi.
Bagi kalangan yang menyublimasi
dirinya sebagai ustaz, tentu panggilan itu sebuah prestisius tersendiri yang
memang dibentuk oleh media melalui rekayasa sosial, berkaitan dengan model
pencitraan diri dan cara penyampaian pesan keagamaan yang marketable.
Dengan berbekal ajaran Ali bin
Thalib yang melansir "ballighuu
'anni walau ayah"-"sampaikan tentang diriku (yaitu kebenaran)
walaupun satu ayat"-kalangan ustaz bentukan media ini mereplikasi ajaran
keagamaan secara kuantitatif-simplikatif, meskipun tidak memahami apa esensi
dan substansi sebuah ajaran yang patut disampaikan ke publik.
Padahal, kalimat "ballighuu 'anni walau ayah"
menyiratkan makna yang lebih produktif. Bahwa, secara kualitatif-komprehensif,
satu pesan kebenaran yang disampaikan harus berimplikasi pula pada adanya
tanggung jawab pencerahan ke pihak lain agar sebuah pesan keagamaan dapat dipahami,
dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sosial.
Akan tetapi, kalimat tersebut sering
kali gagal direfleksikan secara memadai oleh ustaz bentukan media ini. Boleh
jadi karena, pertama, posisi dirinya yang menyublimasi panggilan ustaz hanyalah
bagian dari bentuk eskapisme spritual yang mencoba menemukan kedamaian di bawah
panggilan ustaz.
Kedua, seiring menjamurnya dunia
pertelevisian yang sangat memanjakan posisi ustaz dengan gelimang pendapatan,
tak sedikit di antara mereka yang memproyeksikan dirinya sebagai juru dakwah
yang cakap dalam berceramah. Meskipun apa yang disampaikan cenderung
mereplikasi satu ayat sebagai pandu kebenaran sekaligus menyimplikasikan
persoalan hidup dengan satu ayat pula.
Pola
inflasi
Dalam kondisi ini, posisi diri ustaz
yang demikian-merujuk pemikiran Jean Baudrillad dalam buku In the Shadow of the Silent Majorities-akan terjebak ke dalam
sebuah kebudayaan sebagai simulacra.
Sebuah realitas semu dan realitas buatan untuk memenuhi target tertentu,
meskipun harus mengangkangi sendi pokok dari obyek material utama, yaitu posisi
diri sebagai ustaz. Dalam dunia simulacra,
ustaz tak lagi memperhatikan transendensi dan kedalaman sebuah ajaran yang
didakwahkan. Justru yang ada hanyalah permukaan fungsional dari komunikasi
untuk menonjolkan seni pertunjukan.
Atas kenyataan ini, tidak heran bila
dalam perkembangannya keberadaan ustaz mengalami inflasi-meminjam istilah Alwi
Shihab yang menunjuk kepada inflasi habib. Dalam ilmu ekonomi, inflasi
merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu yang berdampak pada
naiknya harga komoditas.
Penjelasan ini dapat diserupakan
pula dengan gambaran ustaz yang sangat booming
kemunculannya di berbagai media. Tersebab oleh tingginya minat beberapa media
maupun beberapa kalangan masyarakat untuk mengundang seorang ustaz bentukan
media, sekumpulan ustaz ini lantas berlomba-lomba untuk menaikkan tarif
berceramahnya.
Karena itu, menjadi benar apa yang
disampaikan oleh KH Mustofa Bisri (Gus Mus): banyak ustaz yang dalam ceramahnya
tidak menggunakan mata kasih sayangnya (alladzina
la yandzuruna bi aini ar rahmah) untuk menyapa jemaah secara ikhlas. Mereka
malah menggunakan mata duitan (alladzina
yandzuruna bi aini al maliyah) untuk mendulang pendapatan.
Padahal, dalam keadaan inflasi,
ustaz akan mengalami reduksi nilai yang tak lagi berharga di hadapan manusia
yang selalu membutuhkan penuntun kebenaran dari sumber keagamaan. Kalaupun
ustaz masih tampak seperti mercusuar dalam menyampaikan pesan keagamaannya,
tidak menutup kemungkinan pesan keagamaan tersebut tidak mempunyai kekuatan
daya jangkau untuk menuntun orang ke jalan kebaikan. Sebab, pesan keagamaannya
hanya menyampaikan satu pesan keagamaan yang bobot persentasenya ditentukan
seberapa besar tarif yang bisa diperoleh.
Dampaknya bukan saja pada persoalan
ekonomi yang dilanda oleh fenomena krisis. Lebih dari itu, keberadaan ustaz pun
mengalami krisis mental dan spritual akibat laku inflasi diri yang diperbuat
dirinya sendiri.
oleh: Fathorrahman Ghufron
disadur dari Kompas, Kamis, 9 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar