Editors Picks

Kamis, 09 Juni 2016

Bongkar Pasang Negara Pancasila




Berbekal cita-cita mulia tersebut, bangsa Indonesia menyusun organisasi kekuasaan negara guna mewujudkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin. Namun, upaya itu tidak selalu mulus, bahkan harus melalui jalan terjal, berkelok, berbelit, berpilin-pilin. Sejarah panjang upaya menegara belum berhasil mewujudkan tatanan kekuasaan yang menghasilkan pemerintahan efektif dan demokratis. Bongkar pasang penataan kekuasaan, mulai dari perubahan konstitusi sampai peraturan perundang-undangan turunannya, sosok negara Indonesia termasuk pemerintahannya, hingga kini belum jelas benar.

Berbagai model bentuk negara dan sistem pemerintahan silih berganti. Awalnya disepakati negara kesatuan, kemudian menjadi negara federal, kembali ke negara kesatuan; dan dinamika politik pasca reformasi, meskipun bentuknya negara kesatuan, rasa federal juga menyengat. Tatanan pemerintahan tidak kalah dinamisnya. Diawali sistem presidensial, berubah menjadi sistem federal, kembali ke presidensial, dan hampir dua dekade terakhir menjadi rancu, presidensial rasa parlementer. Muncul anekdot, bentuk negara dan pemerintahan adalah negara bukan-bukan. Bukan negara kesatuan, tetapi bukan pula federal; bukan presidensial, tetapi juga bukan parlementer.

Pada tataran lebih operasional semakin kusut masai dan nyaris melumpuhkan roda pemerintahan. Contoh paling kasatmata adalah kebijakan otonomi daerah. Praktik desentralisasi mulai penyeragaman total pemerintahan lokal, termasuk budaya (atas nama persatuan dan kesatuan bangsa) pada masa Orde Baru, sampai rasa federasi yang menihilkan peran pemerintahan pusat pada masa Reformasi. Tragisnya, bongkar pasang acap kali disertai bongkar paksa karena absennya politik perundang-undangan.

Dalam perspektif ideologis, apakah akar permasalahan tersebut dan bagaimana diatasinya? Mengingat akar permasalahan terletak pada tataran pengelolaan jiwa, tidak ada resep instan untuk mengobati penyakit tersebut. Solusi harus dilakukan jangka panjang dengan melakukan pendidikan hasrat manusia Indonesia dalam mengelola gelora dan gerak jiwanya. Pendidikan hasrat akan menghasilkan manusia yang terasah nuraninya sehingga secara gradual pengelolaan negara paralel dengan pengelolaan jiwa yang memuliakan kekuasaan. Hadirnya negara bermartabat akan mewujudkan keadilan, dan merupakan senjata yang sangat ampuh untuk melawan ideologi apa pun.

Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah persoalan universal sepanjang sejarah umat manusia dalam membangun kehidupan bersama. Perdebatan filosofis sekitar 2.500 tahun lalu, persoalan tersebut dijawab oleh dalil Socrates yang dikutip oleh Plato dalam buku Republic (editor dan penerjemah Chris Emlyn-Jones dan William Preddy, 2013). Di bagian pengantar, ”Structure of The State and Soul”, intinya ia mendalilkan bentuk tatanan kekuasaan, mulai oligarki, demokrasi, dan tirani paralel dengan tata kelola kalbu manusianya, terutama elite penguasa. Kualitas pengelolaan kekuasaan negara sejalan dengan mutu pengelolaan moral para penyelenggara negara. Jika tatanan kekuasaan dikangkangi pemburu uang (money grubbing), dapat dipastikan jabatan publik menjadi komoditas. Orang kaya dipuja, mereka yang miskin dikutuk. Negara bermartabat akan mewujudkan keadilan, dan merupakan senjata ampuh untuk melawan ideologi apa pun, termasuk kapitalisme, komunisme, dan gerakan politik yang bertentangan dengan Pancasila.

Perlawanan lain dilakukan dengan meneliti pemahaman ideologi-ideologi tersebut. Meskipun kedigdayaan kapitalisme masih kokoh sampai kini, tetapi tingkat kegelisahan negara-negara industri yang menerapkan demokrasi kapitalis risau menghadapi fenomena ketimpangan (inequality) serta rasa tidak aman (insecurity) juga semakin tinggi.

Sama halnya dengan gerakan kaum komunis yang bersumber dari ajaran Marx dan dijadikan pergerakan sosial dan politik oleh Friedrich Engels, sahabat Marx; dan kemudian menjadi komunisme sebagai gerakan dan kekuatan politik Partai Komunis. Dengan memahami filsafat Marx dapat dibongkar ajaran pergerakan Marxisme dan diketahui mengapa komunisme tamat. Meskipun sebagai filsafat pemikiran tetap eksis, ajaran itu telah kehilangan relevansinya.

Karena itu, peringatan Hari Pancasila, 1 Juni, harus dijadikan momentum untuk menggugah ingatan yang memuliakan nilai- nilai Pancasila. Melawan ideologi apa pun tak cukup dengan pidato, retorika, seremoni, atau meliburkan Hari Pancasila, melainkan pendidikan yang membangun hasrat mulia dan karakter bangsa. Maka, niat agenda Revolusi Mental perlu segera dijabarkan lebih nyata.

oleh J. Kristiadi
disadur dari Kompas, Selasa, 31 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar