Berbekal
cita-cita mulia tersebut, bangsa Indonesia menyusun organisasi kekuasaan negara
guna mewujudkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin. Namun, upaya itu tidak
selalu mulus, bahkan harus melalui jalan terjal, berkelok, berbelit,
berpilin-pilin. Sejarah panjang upaya menegara belum berhasil mewujudkan
tatanan kekuasaan yang menghasilkan pemerintahan efektif dan demokratis.
Bongkar pasang penataan kekuasaan, mulai dari perubahan konstitusi sampai
peraturan perundang-undangan turunannya, sosok negara Indonesia termasuk
pemerintahannya, hingga kini belum jelas benar.
Berbagai
model bentuk negara dan sistem pemerintahan silih berganti. Awalnya disepakati
negara kesatuan, kemudian menjadi negara federal, kembali ke negara kesatuan;
dan dinamika politik pasca reformasi, meskipun bentuknya negara kesatuan, rasa
federal juga menyengat. Tatanan pemerintahan tidak kalah dinamisnya. Diawali
sistem presidensial, berubah menjadi sistem federal, kembali ke presidensial,
dan hampir dua dekade terakhir menjadi rancu, presidensial rasa parlementer.
Muncul anekdot, bentuk negara dan pemerintahan adalah negara bukan-bukan. Bukan
negara kesatuan, tetapi bukan pula federal; bukan presidensial, tetapi juga
bukan parlementer.
Pada
tataran lebih operasional semakin kusut masai dan nyaris melumpuhkan roda
pemerintahan. Contoh paling kasatmata adalah kebijakan otonomi daerah. Praktik
desentralisasi mulai penyeragaman total pemerintahan lokal, termasuk budaya
(atas nama persatuan dan kesatuan bangsa) pada masa Orde Baru, sampai rasa
federasi yang menihilkan peran pemerintahan pusat pada masa Reformasi.
Tragisnya, bongkar pasang acap kali disertai bongkar paksa karena absennya
politik perundang-undangan.
Dalam
perspektif ideologis, apakah akar permasalahan tersebut dan bagaimana
diatasinya? Mengingat akar permasalahan terletak pada tataran pengelolaan jiwa,
tidak ada resep instan untuk mengobati penyakit tersebut. Solusi harus
dilakukan jangka panjang dengan melakukan pendidikan hasrat manusia Indonesia
dalam mengelola gelora dan gerak jiwanya. Pendidikan hasrat akan menghasilkan
manusia yang terasah nuraninya sehingga secara gradual pengelolaan negara
paralel dengan pengelolaan jiwa yang memuliakan kekuasaan. Hadirnya negara
bermartabat akan mewujudkan keadilan, dan merupakan senjata yang sangat ampuh
untuk melawan ideologi apa pun.
Persoalan
yang dihadapi bangsa Indonesia adalah persoalan universal sepanjang sejarah
umat manusia dalam membangun kehidupan bersama. Perdebatan filosofis sekitar
2.500 tahun lalu, persoalan tersebut dijawab oleh dalil Socrates yang dikutip
oleh Plato dalam buku Republic (editor
dan penerjemah Chris Emlyn-Jones dan William Preddy, 2013). Di bagian
pengantar, ”Structure of The State and Soul”, intinya ia mendalilkan bentuk
tatanan kekuasaan, mulai oligarki, demokrasi, dan tirani paralel dengan tata
kelola kalbu manusianya, terutama elite penguasa. Kualitas pengelolaan
kekuasaan negara sejalan dengan mutu pengelolaan moral para penyelenggara
negara. Jika tatanan kekuasaan dikangkangi pemburu uang (money grubbing), dapat
dipastikan jabatan publik menjadi komoditas. Orang kaya dipuja, mereka yang
miskin dikutuk. Negara bermartabat akan mewujudkan keadilan, dan merupakan
senjata ampuh untuk melawan ideologi apa pun, termasuk kapitalisme, komunisme,
dan gerakan politik yang bertentangan dengan Pancasila.
Perlawanan
lain dilakukan dengan meneliti pemahaman ideologi-ideologi tersebut. Meskipun
kedigdayaan kapitalisme masih kokoh sampai kini, tetapi tingkat kegelisahan
negara-negara industri yang menerapkan demokrasi kapitalis risau menghadapi
fenomena ketimpangan (inequality)
serta rasa tidak aman (insecurity)
juga semakin tinggi.
Sama
halnya dengan gerakan kaum komunis yang bersumber dari ajaran Marx dan
dijadikan pergerakan sosial dan politik oleh Friedrich Engels, sahabat Marx;
dan kemudian menjadi komunisme sebagai gerakan dan kekuatan politik Partai
Komunis. Dengan memahami filsafat Marx dapat dibongkar ajaran pergerakan
Marxisme dan diketahui mengapa komunisme tamat. Meskipun sebagai filsafat
pemikiran tetap eksis, ajaran itu telah kehilangan relevansinya.
Karena
itu, peringatan Hari Pancasila, 1 Juni, harus dijadikan momentum untuk
menggugah ingatan yang memuliakan nilai- nilai Pancasila. Melawan ideologi apa
pun tak cukup dengan pidato, retorika, seremoni, atau meliburkan Hari
Pancasila, melainkan pendidikan yang membangun hasrat mulia dan karakter
bangsa. Maka, niat agenda Revolusi Mental perlu segera dijabarkan lebih nyata.
oleh J. Kristiadi
disadur dari Kompas, Selasa, 31 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar