Editors Picks

Kamis, 09 Juni 2016

Potong Satu Generasi


Awal-awal Reformasi dulu, wacana ”potong satu generasi” (cut off generation) barangkali dianggap terlalu kejam. Bisa jadi dianggap mengandung motif balas dendam. Alhasil Reformasi, yang sebetulnya begitu radikal menumbangkan rezim kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sentralistik, pada gilirannya berjalan tertatih-tatih. Langkah Reformasi ibarat anak balita yang sedang belajar jalan: jatuh-bangun.

Artinya, kemajuan Reformasi bisa terhalangi dengan keburukan-keburukan yang begitu sulit dihilangkan. Perangkat aturan memang banyak direformasi, tetapi perubahan pola pikir (mindset) dan watak (character) bukan main sulitnya. Selama 18 tahun Reformasi, pergumulan belum mencapai titik akhir. Reformasi memang proses, tetapi selama itu kita tidak mampu menuntaskan agenda Reformasi.

Andai kata—sekali lagi andai kata—18 tahun lalu dilakukan pembersihan atau lustrasi (lustration), bisa jadi kondisi negeri ini tidak serumit sekarang. Agenda Reformasi, yakni pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) barangkali telah menunjukkan kemajuan sangat berarti. Namun, yang terjadi selama 18 tahun ini, korupsi jalan terus dan terjadi meluas, kolusi tetap marak, dan nepotisme juga tidak malu-malu lagi. Institusi trias politika, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sulit dibilang bersih. Reformasi tiga institusi memang telah dilakukan, tetapi setiap muncul kasus-kasus korupsi. Maling uang rakyat masih saja berkeliaran.

Barangkali cuma di Indonesia yang jumlah kepala daerahnya (gubernur, bupati, wali kota) lebih banyak terjerat korupsi. Hingga tahun 2015, dari 541 kepala daerah, tercatat sebanyak 360 orang (sekitar 66 persen) terlibat korupsi. Mencengangkan! Kini, Mahkamah Agung tengah disorot, setelah para penegak hukum seperti hakim, bahkan termasuk panitera pengadilan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Publik masih menanti apakah MA benar-benar bersih atau sebaliknya.

Tak mengherankan, tekad serius untuk benar-benar membersihkan negeri ini dari pejabat penggarong dipertanyakan. Pemerintah dan DPR selalu menyatakan berkomitmen dengan agenda pemberantasan korupsi. Namun, kadang ”lain di bibir lain di hati”. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Wali Kota yang disetujui pada Kamis (2/6), pemerintah dan DPR ternyata masih setengah hati untuk memperketat pencegahan praktik politik uang (Kompas, 3/6).

Pertanyaan penasaran terus membayang: apakah kita serius memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya? Sebetulnya generasi Reformasi lebih arif dibanding generasi Orde Baru (Orba). Ketika Orba muncul, rezim langsung memotong atau melakukan pembersihan besar-besaran terhadap semua hal yang terkait atau berbau Orde Lama (Orla). Orba membasmi semua anasir komunis (PKI) yang dianggap terlibat peristiwa 1965. Caranya, selain dibasmi dan dihukum, mereka ditandai kode ”ET” dan skrining ”bersih lingkungan”. Mengingat sejarah kelamnya, komunisme menjadi musuh paling berbahaya. Partai-partai juga dipotong lewat kebijakan fusi pada awal 1970-an.
Begitupun rakyat, suaranya dibungkam. Di era Orde Baru, rakyat benar-benar diam, nyaris tak bersuara. Politik mobilisasi sangat kentara, bukan partisipasi. Mereka yang berbeda pendapat atau melawan pemerintah dituding subversif atau antek komunis.

Generasi era Reformasi tidak sedendam Orba. Meskipun mahasiswa dan rakyat berhasil menumbangkan rezim Soeharto, tidak sampai menerapkan politik ”tumpas kelor”. Justru aktor-aktor utama Orba bisa ikut gerbong Reformasi. Misalnya, Partai Golkar yang menjadi mesin politik Orba tetap hidup. Wacana potong satu generasi tidak membuat generasi Reformasi gelap mata. Tidak ada pelampiasan dendam pada unsur-unsur Orba yang menindas selama lebih 32 tahun. Sayangnya, tidak sedikit orang yang tidak berkeringat dan berdarah-darah memperjuangkan Reformasi, justru menikmati kursi empuk kekuasaan. Dan, banyak pejabat publik masih bermental Orba. Bahkan ada pejabat publik menuding Reformasi yang menumbangkan Soeharto didalangi negara kapitalis dan komunis.

Tampaknya generasi Reformasi lebih fokus melakukan perubahan radikal secara substansial, yaitu kebebasan dan demokratisasi. Corak utama perubahan politik dari Orba menuju Orde Reformasi adalah proses transisi dari sistem otoriter menjadi sistem demokratis, transisi dari ekonomi kapitalis perkoncoan dan patron-klien (patron-client and crony capitalist) menuju sistem ekonomi pasar berbasis aturan main (rules-based market economy), dan transisi dari sistem sosial-politik-ekonomi sentralistik menuju sistem terdesentralisasi (Tadjoeddin, 2002).

Karena semangatnya lebih genuine, Reformasi tidak memberi ruang terwujudnya pembersihan, walaupun sempat mencuat pada tahun-tahun awal Reformasi. Pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mahfud MD pernah mengusulkan kebijakan lustrasi atau memotong generasi tertentu seperti di sejumlah negara.
Lustrasi adalah kebijakan politik yang membersihkan rezim baru dari sisa-sisa rezim lama. Pejabat-pejabat negara disaring ulang, yang bermasalah dan korup diamputasi. Lustrasi memang menjadi jalan untuk mengerok korosi negeri ini agar generasi berikutnya tidak terkontaminasi.

Di sejumlah negara, lustrasi menjadi obat mujarab yang mengurai keruwetan suatu negara, sebagaimana di negara-negara Eropa Timur pasca komunis, awal 1990-an. Ilmuwan politik Universitas McGill, Maria Popova dan Vincent Post (The Washington Post, 9 April 2014), menceritakan lustrasi mendapatkan momentum di Ukraina. Sebuah survei mencatat hampir 80 persen responden mendukung kebijakan lustrasi. Becermin pada pengalaman negara-negara seperti Hongaria, Ceko, Slowakia, Polandia, dan Georgia, lustrasi memiliki efek positif pada demokratisasi dan tata kelola pemerintahan yang baik di negara-negara tersebut.

Bagaimana Indonesia?

oleh M. Subhan SD
disadur dari Kompas, Sabtu, 4 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar