Awal-awal Reformasi dulu, wacana ”potong satu generasi” (cut off
generation) barangkali dianggap terlalu kejam. Bisa jadi dianggap
mengandung motif balas dendam. Alhasil Reformasi, yang sebetulnya begitu
radikal menumbangkan rezim kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sentralistik,
pada gilirannya berjalan tertatih-tatih. Langkah Reformasi ibarat anak balita
yang sedang belajar jalan: jatuh-bangun.
Artinya, kemajuan Reformasi bisa
terhalangi dengan keburukan-keburukan yang begitu sulit dihilangkan. Perangkat
aturan memang banyak direformasi, tetapi perubahan pola pikir (mindset)
dan watak (character) bukan main sulitnya. Selama 18 tahun Reformasi,
pergumulan belum mencapai titik akhir. Reformasi memang proses, tetapi selama
itu kita tidak mampu menuntaskan agenda Reformasi.
Andai kata—sekali lagi andai kata—18
tahun lalu dilakukan pembersihan atau lustrasi (lustration), bisa jadi
kondisi negeri ini tidak serumit sekarang. Agenda Reformasi, yakni
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) barangkali telah menunjukkan
kemajuan sangat berarti. Namun, yang terjadi selama 18 tahun ini, korupsi jalan
terus dan terjadi meluas, kolusi tetap marak, dan nepotisme juga tidak
malu-malu lagi. Institusi trias politika, yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, sulit dibilang bersih. Reformasi tiga institusi memang telah
dilakukan, tetapi setiap muncul kasus-kasus korupsi. Maling uang rakyat masih
saja berkeliaran.
Barangkali cuma di Indonesia yang
jumlah kepala daerahnya (gubernur, bupati, wali kota) lebih banyak terjerat
korupsi. Hingga tahun 2015, dari 541 kepala daerah, tercatat sebanyak 360 orang
(sekitar 66 persen) terlibat korupsi. Mencengangkan! Kini, Mahkamah Agung
tengah disorot, setelah para penegak hukum seperti hakim, bahkan termasuk
panitera pengadilan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Publik masih
menanti apakah MA benar-benar bersih atau sebaliknya.
Tak mengherankan, tekad serius untuk
benar-benar membersihkan negeri ini dari pejabat penggarong dipertanyakan.
Pemerintah dan DPR selalu menyatakan berkomitmen dengan agenda pemberantasan
korupsi. Namun, kadang ”lain di bibir lain di hati”. Dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Wali Kota yang disetujui
pada Kamis (2/6), pemerintah dan DPR ternyata masih setengah hati untuk
memperketat pencegahan praktik politik uang (Kompas, 3/6).
Pertanyaan penasaran terus
membayang: apakah kita serius memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya?
Sebetulnya generasi Reformasi lebih arif dibanding generasi Orde Baru (Orba).
Ketika Orba muncul, rezim langsung memotong atau melakukan pembersihan
besar-besaran terhadap semua hal yang terkait atau berbau Orde Lama (Orla).
Orba membasmi semua anasir komunis (PKI) yang dianggap terlibat peristiwa 1965.
Caranya, selain dibasmi dan dihukum, mereka ditandai kode ”ET” dan skrining
”bersih lingkungan”. Mengingat sejarah kelamnya, komunisme menjadi musuh paling
berbahaya. Partai-partai juga dipotong lewat kebijakan fusi pada awal 1970-an.
Begitupun rakyat, suaranya
dibungkam. Di era Orde Baru, rakyat benar-benar diam, nyaris tak bersuara. Politik
mobilisasi sangat kentara, bukan partisipasi. Mereka yang berbeda pendapat atau
melawan pemerintah dituding subversif atau antek komunis.
Generasi era Reformasi tidak
sedendam Orba. Meskipun mahasiswa dan rakyat berhasil menumbangkan rezim
Soeharto, tidak sampai menerapkan politik ”tumpas kelor”. Justru aktor-aktor
utama Orba bisa ikut gerbong Reformasi. Misalnya, Partai Golkar yang menjadi
mesin politik Orba tetap hidup. Wacana potong satu generasi tidak membuat
generasi Reformasi gelap mata. Tidak ada pelampiasan dendam pada unsur-unsur
Orba yang menindas selama lebih 32 tahun. Sayangnya, tidak sedikit orang yang
tidak berkeringat dan berdarah-darah memperjuangkan Reformasi, justru menikmati
kursi empuk kekuasaan. Dan, banyak pejabat publik masih bermental Orba. Bahkan
ada pejabat publik menuding Reformasi yang menumbangkan Soeharto didalangi
negara kapitalis dan komunis.
Tampaknya generasi Reformasi lebih
fokus melakukan perubahan radikal secara substansial, yaitu kebebasan dan
demokratisasi. Corak utama perubahan politik dari Orba menuju Orde Reformasi
adalah proses transisi dari sistem otoriter menjadi sistem demokratis, transisi
dari ekonomi kapitalis perkoncoan dan patron-klien (patron-client and crony
capitalist) menuju sistem ekonomi pasar berbasis aturan main (rules-based
market economy), dan transisi dari sistem sosial-politik-ekonomi
sentralistik menuju sistem terdesentralisasi (Tadjoeddin, 2002).
Karena semangatnya lebih genuine,
Reformasi tidak memberi ruang terwujudnya pembersihan, walaupun sempat mencuat
pada tahun-tahun awal Reformasi. Pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), Mahfud MD pernah mengusulkan kebijakan lustrasi atau memotong generasi
tertentu seperti di sejumlah negara.
Lustrasi adalah kebijakan politik
yang membersihkan rezim baru dari sisa-sisa rezim lama. Pejabat-pejabat negara
disaring ulang, yang bermasalah dan korup diamputasi. Lustrasi memang menjadi
jalan untuk mengerok korosi negeri ini agar generasi berikutnya tidak
terkontaminasi.
Di sejumlah negara, lustrasi menjadi
obat mujarab yang mengurai keruwetan suatu negara, sebagaimana di negara-negara
Eropa Timur pasca komunis, awal 1990-an. Ilmuwan politik Universitas McGill,
Maria Popova dan Vincent Post (The Washington Post, 9 April 2014),
menceritakan lustrasi mendapatkan momentum di Ukraina. Sebuah survei mencatat
hampir 80 persen responden mendukung kebijakan lustrasi. Becermin pada
pengalaman negara-negara seperti Hongaria, Ceko, Slowakia, Polandia, dan
Georgia, lustrasi memiliki efek positif pada demokratisasi dan tata kelola
pemerintahan yang baik di negara-negara tersebut.
Bagaimana Indonesia?
oleh M. Subhan SD
disadur dari Kompas, Sabtu, 4 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar