Pekan lalu, saya menikmati Big Game (2014), film
aksi-petualangan besutan sutradara kelahiran Helsinki, Finlandia, Jalmari
Helander. Film itu mengisahkan pesawat Air Force One ditembak jatuh oleh
teroris, yang tak lain konspirasi di internal mereka. Penumpang pesawat tewas.
Seperti tipikal heroisme film-film Hollywood, Presiden Amerika Serikat William
Alan Moore (diperankan Samuel Jackson) selamat dan terdampar di belantara
Finlandia.
Presiden William harus berlari
menyelamatkan diri dari para pemburunya. Tidak ada yang bisa menyelamatkan
presiden yang memiliki pengaruh dan dominasi paling kuat di dunia itu. Hanya
satu orang yang menyelamatkan presiden AS, yaitu seorang anak lelaki usia 13
tahun yang tengah mempunyai misi berburu untuk pembuktian kedewasaan. Namanya
Oskari (diperankan Onni Tommila).
Ketika mereka terjebak di tengah
belantara bersalju, sepenggal dialog antara Oskari dan Presiden William sangat
menarik.
Oskari: Apa rasanya menjadi orang
berkuasa?
Presiden William: Kekuasaan itu
tidak kekal. Beberapa jam lalu saya bisa memerintahkan seluruh pasukan terhebat
yang saya miliki, tetapi sekarang ini untuk memesan pizza pun tidak bisa (saya
lakukan).
Dialog itu sebetulnya sangat
introspektif bagi para pemegang kekuasaan. Kekuasaan kerap menutupi pikiran
sehat. Begitu banyak contoh sejarah tentang pemegang kekuasaan yang di luar
kendali. Sejarah monarki sepertinya didominasi rezim-rezim otoriter yang
menyalahgunakan kekuasaan. Bahkan, di era demokrasi pasca kolonial, tidak
sedikit penguasa yang ingin menggenggam kekuasaannya sampai tak terbatas dan
sentralistis di satu tangan.
Kekuasaan memang selalu menggiurkan.
Mereka yang berlaga di panggung politik mustahil tidak mengincar kekuasaan.
Partai politik, misalnya, sejatinya selalu mengincar kursi-kursi di
pemerintahan. Dengan cara begitu, parpol dapat terlibat langsung dalam
keputusan-keputusan politik di negeri ini.
Karena itu, isu perombakan kabinet (reshuffle)
sepertinya tak pernah berhenti. Bahkan, di acara haul tiga tahun Taufiq Kiemas
di rumah Megawati Soekarnoputri, Rabu (8/6) malam, isu reshuffle kabinet
juga berembus. Malah Presiden Joko Widodo sendiri yang mengingat reshuffle ketika
memberikan sambutan. "Saya jadi ingat reshuffle kalau
begini," kata Jokowi semalam setelah mengklarifikasi jumlah menteri yang
berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Isu reshuffle memang
cukup seksi sejak parpol-parpol yang semula berposisi oposisi seperti PAN dan
kemudian Partai Golkar beralih merapat ke Istana. Peristiwa "balik
kanan" dua parpol itu tentu saja bukanlah cerita pepesan kosong. Di dunia
politik, tidak ada makan siang gratis. Sampai hari ini, kedua parpol itu
tampaknya sabar menagih janji. "Ini tentu suatu sinyal yang tetap
memberikan suatu apresiasi dan penghormatan," respons Ketua Umum Partai Golkar
Setya Novanto yang juga hadir di acara haul itu.
Perkara kekuasaan sering kali
membuat gaduh. Manuver politik bisa bergerak liar ke mana-mana. Bahkan, jabatan
Kapolri juga ikut diributkan, seiring Jenderal Badrodin Haiti yang akan
memasuki masa pensiun. Jabatan Kapolri menjadi tarik-menarik parpol. Padahal
Kapolri sejatinya keputusan Presiden. Bayangkan, apa jadinya jika semua pihak
merasa punya kepentingan. Persoalan Kapolri seharusnya steril dari kepentingan
politik.
Di acara haul Taufiq Kiemas juga
dapat dilihat siapa pula yang sesungguhnya memiliki kekuasaan. Mencermati tamu
yang hadir, seperti Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MPR
Zulkifli Hasan, Ketua DPR Ade Komarudin, pimpinan parpol, dan para politisi,
termasuk yang sudah pensiun, memperlihatkan Megawati juga masih
"berkuasa" di negeri ini, meskipun secara formal tidak menduduki
posisi di lembaga-lembaga negara.
Teringat Oskari, apa ya rasanya
menjadi orang berkuasa?
oleh: M.
Subhan SD
disadur
dari Kompas, Kamis, 9 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar