Pro kontra terkait perdagingan
kembali mengemuka. Kali ini dipicu oleh permintaan Presiden Joko Widodo agar
harga daging sapi di tingkat konsumen tidak lebih dari Rp 80.000. Tentu saja
ini bukan hal ang mudah mengingat harga daging sapi di pasaran seperti di
Yogyakarta masih berkisar pada harga Rp 120.000 (www.krjogja.com, 3/6). Harga
tersebut masih sangat relatif tinggi dibandingkan dengan target yang
dicanangkan oleh Presiden.
Jika dilihat berdasarkan sistem produksi
dan distribusi di lapangan saat ini, aka permintaan Presiden tersebut terkesan
jauh panggang dari api. Dari sisi produsen, penurunan harga hingga Rp 80.000,
hanya bisa dicapai dengan penambahan kuota impor daging sapi maupun sapi
bakalan. Akibatnya produsen lokal dalam dalam hal ini peternak rakyat tentu
akan menjadi korban dari harga daging yang dipatok murah.
Dua
Pendekatan
Karena itu rezim daging sapi murah
tentu saja menarik untuk ditelisik agar kita dapat melihat secara keseluruhan
tentang centang-perentang sistem produksi dan distribusi daging sapi di
Indonesia. Secara umum ada dua pendekatan untuk menganalisis sistem produksi
peternakan hingga sistem distribusinya. Pendekatan pertama adalah dengan model
agribisnis. Secara garis besar, model agribisnis melihat bahwa usaha peternakan
harus diupayakan menguasai sektor hulu hingga hilir. Konsekuensinya adalah
usaha peternakan menjadi padat modal dan sumber daya. Akibatnya model ini
membutuhkan investasi besar karena harus mampu menguasai sektor hulu di wilayah
produksi hingga hilir di tingkat konsumsi. Pendekatan model ini pada akhirnya
diadopsi oleh segelintir pemodal besar dengan mengembangkan perusahaan penyedia
pangan.
Pendekatan kedua model farming system yang lebih mengedepankan
pada pendekatan integrasi sumber daya yang dimiliki produsen, pelaku di sektor
tata niaga dan industri pengolahan makanan. Dalam pendekatan ini, sistem produksi
dibangun oleh berbagai macam sumber daya yang dimiliki petasi dengan skala
tertentu. Misal mengintegrasikan budidaya peternakan, pertanian, dan perikanan
sekaligus.
Model kebijakan pemerintah terkait
dengan pengembangan sapi potong untuk memproduksi daging sapi nampaknya lebih
dominn mengadopsi model ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai macam
skema hibah dan bantuan ternak kepada peternak rakyat dengan jumlah sangat
minimalis, 1 atau 2 ekor per peternak. Dengan skala kecil tersebut, pendekatan
model ini belum cukup kredibel untuk bisa menjamin ketersediaan pangan bagi
masyarakat Indonesia.
Dampak
Dari dua pendekatan system produksi
ini, kita bisa menelisik lebih jauh mengenai dampak rezim daging murah bagi
pembangunan peternakan di Indonesia. Pertama, pendekatan farming system yang
dominan dalam mempengaruhi model kebijakan pembangunan peternakan di Indonesia
abai terhadap nilai efisiensi. Harga daging sapi yang mahal memberikan sinyal
bahwa system produksi sapi potong dan distribusi daging belum efisien.
Sebgai contoh, integrasi antara
pemeliharaan ternak dan budidaya padi yang lazim dipraktikkan oleh peternak di
Indonesia memiliki skala usaha rata-rata 2 ekor potong dan didukung oleh 0,5
hektar lahan. Fakta dari Sensus Pertanian 2013 juga membuktikan bahwa dari
sekitar 12 juta total populasi sapi potong dipelihara rumah peternak dengan
skala usaha 1-2 ekor (www.st2013.bps.go.id). Tentu saja model pemeliharaan ini
sangat tidak efisien dan tidak bakal menguntungkan peternak secara finansial.
Kedua, pemerintah juga harus
berhati-hati dengan kebijakan dalam mematok harga murah untuk daging sapi. Mengapa?
Jika terjadi kegagalam adopsi nilai-nilai efisiensi pada sistem produksi dan
distribusi, maka importir sapi bakalan dan daging sapi menjadi pihak yang
diuntungkan. Rezim impor secara otomatis akan mengambil alih sistem produksi
dan distribusi daging sapi di Indonesia.
Melepas tanggung jawab penyediaan
pangan kepada asing, dalam hal ini impor panngan, sama saja menyerahkan leher
kepada musuh untuk disembelih. Untuk itu, rezim daging murah tentu perlu
didukung. Namun demikian, pemerintah juga harus memulai mendesain kebijakan
yang dapat menstimulasi peternak untuk mengadopsi nilai-nilai efisiensi dalam
budidaya peternakan. Paling tidak, peternak harus didorong untuk meningkatkan
skala usahanya.
oleh: R. Ahmad Romadhoni
disadur dari Kedaulatan Rakyat,
Kamis, 9 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar