Editors Picks

Kamis, 09 Juni 2016

Menelisik Rezim Harga Daging Murah




Pro kontra terkait perdagingan kembali mengemuka. Kali ini dipicu oleh permintaan Presiden Joko Widodo agar harga daging sapi di tingkat konsumen tidak lebih dari Rp 80.000. Tentu saja ini bukan hal ang mudah mengingat harga daging sapi di pasaran seperti di Yogyakarta masih berkisar pada harga Rp 120.000 (www.krjogja.com, 3/6). Harga tersebut masih sangat relatif tinggi dibandingkan dengan target yang dicanangkan oleh Presiden.

Jika dilihat berdasarkan sistem produksi dan distribusi di lapangan saat ini, aka permintaan Presiden tersebut terkesan jauh panggang dari api. Dari sisi produsen, penurunan harga hingga Rp 80.000, hanya bisa dicapai dengan penambahan kuota impor daging sapi maupun sapi bakalan. Akibatnya produsen lokal dalam dalam hal ini peternak rakyat tentu akan menjadi korban dari harga daging yang dipatok murah.

Dua Pendekatan
Karena itu rezim daging sapi murah tentu saja menarik untuk ditelisik agar kita dapat melihat secara keseluruhan tentang centang-perentang sistem produksi dan distribusi daging sapi di Indonesia. Secara umum ada dua pendekatan untuk menganalisis sistem produksi peternakan hingga sistem distribusinya. Pendekatan pertama adalah dengan model agribisnis. Secara garis besar, model agribisnis melihat bahwa usaha peternakan harus diupayakan menguasai sektor hulu hingga hilir. Konsekuensinya adalah usaha peternakan menjadi padat modal dan sumber daya. Akibatnya model ini membutuhkan investasi besar karena harus mampu menguasai sektor hulu di wilayah produksi hingga hilir di tingkat konsumsi. Pendekatan model ini pada akhirnya diadopsi oleh segelintir pemodal besar dengan mengembangkan perusahaan penyedia pangan.

Pendekatan kedua model farming system yang lebih mengedepankan pada pendekatan integrasi sumber daya yang dimiliki produsen, pelaku di sektor tata niaga dan industri pengolahan makanan. Dalam pendekatan ini, sistem produksi dibangun oleh berbagai macam sumber daya yang dimiliki petasi dengan skala tertentu. Misal mengintegrasikan budidaya peternakan, pertanian, dan perikanan sekaligus.

Model kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan sapi potong untuk memproduksi daging sapi nampaknya lebih dominn mengadopsi model ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai macam skema hibah dan bantuan ternak kepada peternak rakyat dengan jumlah sangat minimalis, 1 atau 2 ekor per peternak. Dengan skala kecil tersebut, pendekatan model ini belum cukup kredibel untuk bisa menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Dampak
Dari dua pendekatan system produksi ini, kita bisa menelisik lebih jauh mengenai dampak rezim daging murah bagi pembangunan peternakan di Indonesia. Pertama, pendekatan farming system yang dominan dalam mempengaruhi model kebijakan pembangunan peternakan di Indonesia abai terhadap nilai efisiensi. Harga daging sapi yang mahal memberikan sinyal bahwa system produksi sapi potong dan distribusi daging belum efisien.

Sebgai contoh, integrasi antara pemeliharaan ternak dan budidaya padi yang lazim dipraktikkan oleh peternak di Indonesia memiliki skala usaha rata-rata 2 ekor potong dan didukung oleh 0,5 hektar lahan. Fakta dari Sensus Pertanian 2013 juga membuktikan bahwa dari sekitar 12 juta total populasi sapi potong dipelihara rumah peternak dengan skala usaha 1-2 ekor (www.st2013.bps.go.id). Tentu saja model pemeliharaan ini sangat tidak efisien dan tidak bakal menguntungkan peternak secara finansial.

Kedua, pemerintah juga harus berhati-hati dengan kebijakan dalam mematok harga murah untuk daging sapi. Mengapa? Jika terjadi kegagalam adopsi nilai-nilai efisiensi pada sistem produksi dan distribusi, maka importir sapi bakalan dan daging sapi menjadi pihak yang diuntungkan. Rezim impor secara otomatis akan mengambil alih sistem produksi dan distribusi daging sapi di Indonesia.

Melepas tanggung jawab penyediaan pangan kepada asing, dalam hal ini impor panngan, sama saja menyerahkan leher kepada musuh untuk disembelih. Untuk itu, rezim daging murah tentu perlu didukung. Namun demikian, pemerintah juga harus memulai mendesain kebijakan yang dapat menstimulasi peternak untuk mengadopsi nilai-nilai efisiensi dalam budidaya peternakan. Paling tidak, peternak harus didorong untuk meningkatkan skala usahanya.

oleh: R. Ahmad Romadhoni
disadur dari Kedaulatan Rakyat, Kamis, 9 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar