Barangkali, bila Nabi Yusuf atau
Yosef dalam penyebutan lain hidup pada era minyak bumi, mimpi yang harus
ditakwilkannya adalah soal pengelolaan emas hitam ini. Terlebih saat energi
dunia begitu tergantung pada minyak seperti sekarang.
Tampaknya, mimpi tentang tujuh sapi
gemuk dan tujuh sapi kurus yang ditakwilkan Yusuf sedang terulang kembali walau
dalam rupa dan konteks berbeda. Meski persoalan pangan, sebagaimana kisah
tersebut masih terus relevan, minyak juga punya cerita serupa, setidaknya di
Indonesia.
Pesan moral dalam kisah Yusuf
tentang pandai-pandai mengelola dan menyimpan pasokan saat berlimpah sebelum
masa sulit datang, terjadi juga di sini. Era "booming" minyak
dari angka produksi hingga harga jual tinggi tinggal kenangan.
Terlepas dari andai-andai soal mimpi
dan takwil tersebut, Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo mengawali masa kerja
pada 2014 dengan tantangan soal subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kuota subsidi
ini sudah terlewati jauh-jauh hari sebelum tahun berakhir karena lonjakan
konsumsi BBM bersubsidi.
Pernah menjadi salah satu pesohor di
antara negara-negara penghasil dan pengekspor minyak, Indonesia pada hari ini
justru sudah kerap disebut sebagai net importer komoditas ini. Betul,
masalah subsidi ini menjadi pelik karena sebagian produk BBM yang dipakai
masyarakat berasal dari impor.
Bersamaan pada saat itu kurs rupiah
terhadap dollar AS juga sedang "panas-dingin" di tengah rencana kenaikan
suku bunga acuan The Fed, bank sentral Amerika Serikat.
Kesadaran mengenai perlunya mencari cara menekan angka impor minyak pun menguat. Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber cadangan minyak baru pun berdengung kembali, di luar desakan tentang perbaikan tata niaga sumber energi ini.
Namun, satu hal tak terduga lalu
terjadi. Perekonomian dunia yang tak kunjung pulih sesuai harapan mendapat
tamparan baru berupa anjloknya harga minyak dunia. Dari kisaran di atas 100 dollar
AS per barrel pada Juni 2014, harga minyak sampai dengan medio 2016 masih
tertatih di bawah angka 50 dollar AS per barrel. Pada 2015, harga minyak malah
bertengger di kisaran 30 dollar AS.
Kenapa pusing?
Bila tak mengikuti isu soal minyak,
orang akan gampang mempertanyakan kenapa justru nada suram yang mencuat ketika
harga minyak murah seperti sekarang. Logikanya, harga minyak murah, maka semua
produk turunannya bakal turun.
Dalam konteks Indonesia, logika
tersebut langsung mentah dengan fakta pemenuhan kebutuhan BBM yang sudah
bertumpu pada impor. Lagi-lagi soal volume dan pembelian dalam dollar AS dengan
nilai tukar rupiah yang tak kunjung menguat terhadap greenback menjadi
persoalan utamanya.
Tantangan berikutnya, kesadaran
untuk memperbarui dan memperbanyak sumber minyak dalam negeri pun mandek.
Jangankan bertambah, yang sudah ada pun sekarang lesu. Sederhananya, ongkos
produksi tetap mahal, sementara harga jual minyak mentah sedang murah-murahnya.
Investasi pun dengan sendirinya menjadi tantangan baru.
Gambarannya, penerimaan negara dari
sektor minyak dan gas pada 2015 hanya 12,86 miliar dollar AS,
meleset dari target 14,99 miliar dollar AS.
Angka realisasi itu cuma separuh penerimaan pada 2014. Mengutip data Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2016, dana bagi hasil untuk wilayah
produsen minyak pun anjlok dari Rp 42,91 triliun pada 2014 menjadi Rp 14,09
triliun pada 2015.
"Banyak kontraktor migas yang
melakukan efisiensi dan menghentikan kegiatan investasi sehingga sektor
industri penunjang migas juga mengalami kelesuan akibat tidak adanya
investasi," ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam acara The 40th
Indonesian Petroleum Association (IPA) Convention and Exhibition, Rabu
(25/5/2016), seperti dikutip dari situs web Kementerian Koordinator
Perekonomian.
Namun, Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menegaskan, sudah bukan waktunya mengeluhkan
situasi ini. Masa indah di sektor migas, ujar dia, memang sudah berlalu.
Saat ini, yang mendesak dilakukan
adalah mendorong kembali investasi untuk membiayai sektor hulu migas. Apa pun
yang terjadi soal harga minyak dunia, konsumsi energi tetap bertambah seiring
penambahan populasi.
Dalam pidatonya, Darmin pun
menyatakan, sejumlah kebijakan akan segera terbit, menyusul langkah pemangkasan
beragam perizinan untuk investasi sektor ini. Namun, dia mengakui, perizinan
yang dihadapi calon investor migas tak hanya datang dari Kementerian ESDM.
Karena itu, deregulasi yang sudah
digulirkan pemerintah lewat paket-paket kebijakan ekonomi yang terbit sejak pertengahan
2015 akan diperluas lagi bagi sektor migas.
"Deregulasi di industri hulu
migas akan menjadi bagian dari paket kebijakan pemerintah ke depan," kata
Darmin.
Selain itu, lanjut Darmin,
pemerintah juga akan mempercepat realisasi proyek-proyek migas yang strategis.
Jika diperlukan, ujar dia, bahkan akan dirancang regulasi baru di bidang migas
untuk meningkatkan minat investor serta melakukan percepatan pelaksanaan
investasi di industri hulu migas.
Efisiensi
Angin segar dari pidato Darmin tentu
tak akan segera membuat perubahan, terutama saat kondisi pasar masih sama.
Efisiensi mau tak mau tetap harus dijalankan oleh semua pihak di sektor hulu
migas.
Kreativitas dan inovasi dari semua
pihak juga menjadi tuntutan dalam situasi seperti sekarang, termasuk pelaku
utama bisnis sektor hulu migas. Teknologi juga berperan vital untuk menyiasati
efisiensi pada saat sektor hulu migas lesu.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bukan pengecualian untuk
urusan efisiensi ini. Bila sektor hulu migas diibaratkan sebagai
"dapur" yang memasok energi bagi negeri, SKK Migas adalah kepala koki
di dapur itu, yang harus memastikan semua proses berjalan.
Dalam analogi yang sama, Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan para koki yang memasak di dapur itu. Mereka
berkewajiban menyajikan menu terbaik dari dapur ini, dengan "kepala
koki" berperan pula menjadi pengawas.
Di tengah situasi perekonomian
global dan domestik yang masih dilanda ketidakpastian, pada 2015, ada
penambahan 12 KKS di Indonesia. Rinciannya, 8 KKS untuk wilayah kerja (WK)
migas konvensional dan 4 KKS untuk WK migas non-konvensional. Hingga akhir
2015, terdapat 312 KKS, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi, konvensional
maupun non-konvensional.
Pemangkasan beragam biaya tak
terhindarkan dalam posisi harga jual minyak yang anjlok. Nilai investasi untuk
WK eksploitasi pada 2015 tercatat 15,1 miliar dollar AS, turun 22 persen
dibandingkan realisasi pada 2014. Meski begitu, 86 persen investasi tetap bisa
dialokasikan untuk produksi dan pengembangan.
Tantangan terberat memang akan masih
menghadang WK eksplorasi. Harga minyak yang anjlok sangat memengaruhi minat
investasi ke wilayah ini. Realisasinya pada 2015 pun tergerus, menjadi 0,52
miliar dollar AS saja, anjlok 53 persen dibandingkan pada 2014.
Di sinilah insentif seperti paket
kebijakan ekonomi seperti yang disinggung Darmin memainkan perannya, apalagi
eksplorasi cenderung menjangkau wilayah sulit seperti di kawasan timur
Indonesia dan area laut dalam.
Kabar baiknya, situasi sulit hingga
akhir 2015 justru mencatatkan penurunan angka produksi minyak (lifting)
terkecil dalam empat tahun terakhir. Merujuk data laporan tahunan 2015 SKK
Migas, laju penurunan produksi minyak pada tahun itu dapat ditekan di level 0,4
persen, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara 0,4 persen
hingga 4,7 persen.
Perekonomian dunia pada 2016
diperkirakan masih tetap belum akan pulih sepenuhnya.
Harga minyak dunia pun
masih belum dapat dipastikan terus naik ke posisi di atas 50 dollar AS. Pada
saat bersamaan, kebutuhan BBM cenderung tetap bertambah, baik untuk konsumsi
perorangan maupun penopang industri lain.
Tak perlu menunggu Presiden bermimpi
terlebih dahulu dan ada penakwil yang setara dengan Yusuf, bukan, untuk mencari
solusi terbaik bagi kondisi perminyakan dalam negeri ini?
disadur dari Kompas, Selasa, 31 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar