Editors Picks

Rabu, 08 Juni 2016

Andai Nabi Yusuf Hidup pada Era Minyak, seperti Apa Tafsir Mimpinya?




Barangkali, bila Nabi Yusuf atau Yosef dalam penyebutan lain hidup pada era minyak bumi, mimpi yang harus ditakwilkannya adalah soal pengelolaan emas hitam ini. Terlebih saat energi dunia begitu tergantung pada minyak seperti sekarang.

Tampaknya, mimpi tentang tujuh sapi gemuk dan tujuh sapi kurus yang ditakwilkan Yusuf sedang terulang kembali walau dalam rupa dan konteks berbeda. Meski persoalan pangan, sebagaimana kisah tersebut masih terus relevan, minyak juga punya cerita serupa, setidaknya di Indonesia.

Pesan moral dalam kisah Yusuf tentang pandai-pandai mengelola dan menyimpan pasokan saat berlimpah sebelum masa sulit datang, terjadi juga di sini. Era "booming" minyak dari angka produksi hingga harga jual tinggi tinggal kenangan.

Terlepas dari andai-andai soal mimpi dan takwil tersebut, Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo mengawali masa kerja pada 2014 dengan tantangan soal subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kuota subsidi ini sudah terlewati jauh-jauh hari sebelum tahun berakhir karena lonjakan konsumsi BBM bersubsidi.

Pernah menjadi salah satu pesohor di antara negara-negara penghasil dan pengekspor minyak, Indonesia pada hari ini justru sudah kerap disebut sebagai net importer komoditas ini. Betul, masalah subsidi ini menjadi pelik karena sebagian produk BBM yang dipakai masyarakat berasal dari impor.

Bersamaan pada saat itu kurs rupiah terhadap dollar AS juga sedang "panas-dingin" di tengah rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed, bank sentral Amerika Serikat. 

Kesadaran mengenai perlunya mencari cara menekan angka impor minyak pun menguat. Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber cadangan minyak baru pun berdengung kembali, di luar desakan tentang perbaikan tata niaga sumber energi ini.

Namun, satu hal tak terduga lalu terjadi. Perekonomian dunia yang tak kunjung pulih sesuai harapan mendapat tamparan baru berupa anjloknya harga minyak dunia. Dari kisaran di atas 100 dollar AS per barrel pada Juni 2014, harga minyak sampai dengan medio 2016 masih tertatih di bawah angka 50 dollar AS per barrel. Pada 2015, harga minyak malah bertengger di kisaran 30 dollar AS.



Kenapa pusing?
Bila tak mengikuti isu soal minyak, orang akan gampang mempertanyakan kenapa justru nada suram yang mencuat ketika harga minyak murah seperti sekarang. Logikanya, harga minyak murah, maka semua produk turunannya bakal turun.

Dalam konteks Indonesia, logika tersebut langsung mentah dengan fakta pemenuhan kebutuhan BBM yang sudah bertumpu pada impor. Lagi-lagi soal volume dan pembelian dalam dollar AS dengan nilai tukar rupiah yang tak kunjung menguat terhadap greenback menjadi persoalan utamanya.

Tantangan berikutnya, kesadaran untuk memperbarui dan memperbanyak sumber minyak dalam negeri pun mandek. Jangankan bertambah, yang sudah ada pun sekarang lesu. Sederhananya, ongkos produksi tetap mahal, sementara harga jual minyak mentah sedang murah-murahnya. Investasi pun dengan sendirinya menjadi tantangan baru.

Gambarannya, penerimaan negara dari sektor minyak dan gas pada 2015 hanya 12,86 miliar dollar AS, meleset dari target 14,99 miliar dollar AS. Angka realisasi itu cuma separuh penerimaan pada 2014. Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2016, dana bagi hasil untuk wilayah produsen minyak pun anjlok dari Rp 42,91 triliun pada 2014 menjadi Rp 14,09 triliun pada 2015.

"Banyak kontraktor migas yang melakukan efisiensi dan menghentikan kegiatan investasi sehingga sektor industri penunjang migas juga mengalami kelesuan akibat tidak adanya investasi," ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam acara The 40th Indonesian Petroleum Association (IPA) Convention and Exhibition, Rabu (25/5/2016), seperti dikutip dari situs web Kementerian Koordinator Perekonomian.

Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menegaskan, sudah bukan waktunya mengeluhkan situasi ini. Masa indah di sektor migas, ujar dia, memang sudah berlalu.

Saat ini, yang mendesak dilakukan adalah mendorong kembali investasi untuk membiayai sektor hulu migas. Apa pun yang terjadi soal harga minyak dunia, konsumsi energi tetap bertambah seiring penambahan populasi.

Dalam pidatonya, Darmin pun menyatakan, sejumlah kebijakan akan segera terbit, menyusul langkah pemangkasan beragam perizinan untuk investasi sektor ini. Namun, dia mengakui, perizinan yang dihadapi calon investor migas tak hanya datang dari Kementerian ESDM.

Karena itu, deregulasi yang sudah digulirkan pemerintah lewat paket-paket kebijakan ekonomi yang terbit sejak pertengahan 2015 akan diperluas lagi bagi sektor migas.
"Deregulasi di industri hulu migas akan menjadi bagian dari paket kebijakan pemerintah ke depan," kata Darmin.

Selain itu, lanjut Darmin, pemerintah juga akan mempercepat realisasi proyek-proyek migas yang strategis. Jika diperlukan, ujar dia, bahkan akan dirancang regulasi baru di bidang migas untuk meningkatkan minat investor serta melakukan percepatan pelaksanaan investasi di industri hulu migas.

"Saya berharap paling lambat dalam enam bulan ke depan, berbagai penyempurnaan peraturan sudah disetujui dan dikeluarkan oleh Presiden atau menteri terkait," kata Darmin.



Efisiensi
Angin segar dari pidato Darmin tentu tak akan segera membuat perubahan, terutama saat kondisi pasar masih sama. Efisiensi mau tak mau tetap harus dijalankan oleh semua pihak di sektor hulu migas.

Kreativitas dan inovasi dari semua pihak juga menjadi tuntutan dalam situasi seperti sekarang, termasuk pelaku utama bisnis sektor hulu migas. Teknologi juga berperan vital untuk menyiasati efisiensi pada saat sektor hulu migas lesu.
 
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bukan pengecualian untuk urusan efisiensi ini. Bila sektor hulu migas diibaratkan sebagai "dapur" yang memasok energi bagi negeri, SKK Migas adalah kepala koki di dapur itu, yang harus memastikan semua proses berjalan.

Dalam analogi yang sama, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan para koki yang memasak di dapur itu. Mereka berkewajiban menyajikan menu terbaik dari dapur ini, dengan "kepala koki" berperan pula menjadi pengawas.

Di tengah situasi perekonomian global dan domestik yang masih dilanda ketidakpastian, pada 2015, ada penambahan 12 KKS di Indonesia. Rinciannya, 8 KKS untuk wilayah kerja (WK) migas konvensional dan 4 KKS untuk WK migas non-konvensional. Hingga akhir 2015, terdapat 312 KKS, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi, konvensional maupun non-konvensional.

Pemangkasan beragam biaya tak terhindarkan dalam posisi harga jual minyak yang anjlok. Nilai investasi untuk WK eksploitasi pada 2015 tercatat 15,1 miliar dollar AS, turun 22 persen dibandingkan realisasi pada 2014. Meski begitu, 86 persen investasi tetap bisa dialokasikan untuk produksi dan pengembangan.

Tantangan terberat memang akan masih menghadang WK eksplorasi. Harga minyak yang anjlok sangat memengaruhi minat investasi ke wilayah ini. Realisasinya pada 2015 pun tergerus, menjadi 0,52 miliar dollar AS saja, anjlok 53 persen dibandingkan pada 2014.

Di sinilah insentif seperti paket kebijakan ekonomi seperti yang disinggung Darmin memainkan perannya, apalagi eksplorasi cenderung menjangkau wilayah sulit seperti di kawasan timur Indonesia dan area laut dalam.

Kabar baiknya, situasi sulit hingga akhir 2015 justru mencatatkan penurunan angka produksi minyak (lifting) terkecil dalam empat tahun terakhir. Merujuk data laporan tahunan 2015 SKK Migas, laju penurunan produksi minyak pada tahun itu dapat ditekan di level 0,4 persen, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara 0,4 persen hingga 4,7 persen.

Perekonomian dunia pada 2016 diperkirakan masih tetap belum akan pulih sepenuhnya. 
Harga minyak dunia pun masih belum dapat dipastikan terus naik ke posisi di atas 50 dollar AS. Pada saat bersamaan, kebutuhan BBM cenderung tetap bertambah, baik untuk konsumsi perorangan maupun penopang industri lain.

Tak perlu menunggu Presiden bermimpi terlebih dahulu dan ada penakwil yang setara dengan Yusuf, bukan, untuk mencari solusi terbaik bagi kondisi perminyakan dalam negeri ini?

disadur dari Kompas, Selasa, 31 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar