Editors Picks

Jumat, 10 Juni 2016

Arti Kekayaan yang Sesungguhnya



Sekitar sebulan yang lalu, pada tanggal 12 Mei 2016, bertempat di Ritz-Carlton Pacific Place Jakarta, saya diundang menjadi pembicara di acara tahunan Bank Permata, Wealth Wisdom: True Essence of Wealth.

Acara ini menghadirkan belasan pembicara top dari dalam dan luar negeri, seperti T.P. Rachmat, Adam Khoo, Elizabeth Dunn, Dian Sastrowardoyo, Hamish Daud, Indra Lesmana, Eva Celia, dan Mariska Prudence. Saya merasa terhormat bisa menjadi bagian dari deretan pembicara di acara ini.

Pertama kali mendapatkan undangan ini di akhir tahun 2015, saya begitu bersemangat karena acara ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada banyak orang tentang wholistic wealth, yaitu sebuah konsep kekayaan menyeluruh dalam diri manusia yang bukan hanya sekedar uang dan materi. Saya senang ada acara berskala nasional yang concern dan mengangkat tema ini.

Karena biasanya di acara-acara lain saya seringkali diminta untuk berbicara tentang bagaimana cara mendapatkan uang, uang dan uang. Dunia seakan hanya berisi tentang hal-hal yang bersifat duniawi.

Memang sebagai seorang pengusaha, saya sehari-hari dihadapkan pada kenyataan bagaimana cara mengembangkan usaha yang dijalani dan mendapatkan sebanyak-banyaknya profit dari bisnis yang dijalankan.

Namun, semakin bersemangat saya mengejar uang, semakin hampa hidup saya. Semua itu ternyata adalah hal yang semu.

Makanya dalam acara ini saya mencoba untuk berbicara dengan point of view yang berbeda tentang arti kekayaan. Saya ingin memperlebar arti kekayaan yang sesungguhnya sehingga dapat memberikan kebahagiaan lahir dan batin.

Saya memberikan seminar dengan judul Spiritual Awakening and Social Giving Towards A Wealthy Life. Gambaran besar dari judul yang saya bawakan adalah bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan dan bisa memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi orang lain.

Saya memulai seminar dengan sebuah pertanyaan sederhana, “What is Success?
Di tengah dunia yang serba materialistis dewasa ini, banyak manusia yang menjalani hidup layaknya robot. Setiap hari terpenjara dengan rutinitas pekerjaan yang seakan tiada henti demi mencapai satu tujuan: uang.

Benda ini begitu dielu-elukan, disanjung dan diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Cara mencarinya menjadi tidak penting lagi, yang penting harus dapat. Saling hantam dan saling sikut, bahkan dengan sahabat dan keluarga sendiri, dianggap hal yang lumrah untuk mendapatkan benda ini.

Mereka lupa, bahwa hidup ini tidak selamanya. Mereka lupa, bahwa hidup ini bukan hanya sekedar mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Mereka lupa, bahwa hidup ini tidak hanya tentang materi kebendaan.

Semua itu terjadi karena otak dan pikiran sudah tertutup oleh syahwat dan nafsu duniawi. Ya, itulah manusia yang memang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Saat belum punya kendaraan, ingin punya motor. Saat sudah punya motor, ingin naik mobil. Saat sudah punya 1 mobil, ingin punya 2 mobil. Tidak ada habisnya.



Sampai kapan kita harus menjadi ‘budak’ dunia? Hidup ini terlalu indah dan berharga untuk dihabiskan hanya untuk mengejar dunia dan seisinya. Kekayaan yang sesungguhnya berupa keberkahan hidup, kesehatan badan, kebersamaan dengan keluarga tercinta, dan kebahagiaan saat bisa berbagi dengan sesama.

Seperti sabda Nabi Muhammad, “Kekayaan bukanlah dari banyaknya harta benda, namun yang utama adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari)

Hidup ini hanya sekali, maka pergunakan dengan baik untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah dia yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan sekitar? Hidup ini sejatinya adalah memberi, memberi dan memberi. Kita harus dapat meninggalkan legacy bagi generasi selanjutnya.

Jika gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati meninggalkan amal dan karya. Sehingga, saat nanti meninggalkan dunia ini, kita tersenyum bahagia dan orang lain menangis karena kehilangan.

‘Tangan di atas’ lebih mulia dibanding ‘tangan di bawah’. Rasulullah pun mengatakan bahwa orang yang suka meminta-minta akan mendapatkan kehinaan di dunia dan di akhirat.

Sepanjang sejarah pun, tidak pernah seseorang dihormati karena apa yang telah ia terima. Kehormatan adalah penghargaan bagi mereka yang telah memberikan sesuatu yang berarti bagi sekitarnya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa memberi adalah salah satu cara terbaik untuk mendatangkan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dalam Islam namanya sedekah, yaitu menyisihkan sebagian harta yang kita miliki untuk diberikan kepada yang membutuhkan.

Banyak yang bisa kita berikan di dunia ini, dan jangan hanya fokus kepada pemberian materi semata. Kita bisa memberikan ilmu dengan mengajar anak-anak yang tidak mampu. Kita bisa memberikan tenaga untuk membantu pekerjaan orangtua. Kita bisa memberikan waktu menemani para kakek-nenek di panti jompo. Bahkan senyum pun bernilai ibadah. Pada intinya, “Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR. Bukhari)




Tidak pernah ada cerita di dunia ini seseorang yang senang berbagi, lalu jatuh miskin. Yang ada, justru kebalikannya. Hartanya akan terus bertambah, berlimpah dan penuh berkah.

Allah menjanjikan bagi siapa saja yang senang bersedekah, maka akan diganti dengan balasan minimal 10 kali lipat.

“Barangsiapa berbuat amal kebaikan (termasuk bersedekah), maka baginya balasan (pahala) 10 kali lipat; dan barangsiapa yang berbuat kejahatan maka dia tidak diberikan pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, dan mereka sedikit pun tidak dirugikan.” (QS. Al-An’am [6]: 160)

Sangat menarik bukan? Semakin kita mengeluarkan lebih banyak uang untuk sedekah, maka semakin banyak balasan yang akan diberikan olehNya. Rumus matematika sedekah: semakin dikurangi, semakin besar hasilnya.

Sehingga pertanyaan yang keluar setiap kali kita bersedekah bukannya “sisa berapa?” melainkan “jadi nambah berapa?”

Dengan rumus ini, maka sedekah bukanlah pengeluaran yang sia-sia melainkan sebuah investasi jangka panjang yang sangat menguntungkan. Sebab memang janji Allah yang akan memberi penggantian lebih kepada mereka yang mau bersedekah.
Kalau saja manusia itu sadar, bahwa pada hakikatnya kita-lah orang-orang yang kaya dan mampu ini yang mendapatkan kenikmatan dari sedekah, dan bukan orang-orang fakir miskin atau yatim piatu, apalagi Allah.

Meskipun kita tidak pernah bersedekah, Allah tetap Maha Kaya dan Maha Perkasa, dan tidak akan berkurang sedikit pun kekuasaanNya di penjuru langit dan bumi.

Tidak ada alasan untuk tidak memberi. Coba mulai bersedekah setiap hari. Ya, setiap hari. Tidak masalah meskipun awalnya dengan nominal yang kecil asalkan istiqomah setiap hari, karena Allah menyukai suatu amalan yang dikerjakan secara istiqomah (terus-terusan) meskipun hanya sedikit. Lama kelamaan tentunya harus ditingkatkan.
Sedekah yang sedikit asal rutin itu lebih baik dibanding sedekah yang udah sedikit dan nggak rutin. Tapi tentu saja, yang paling baik adalah sedekah yang banyak dan rutin.

Dengan bersedekah, itu akan membuat harta kita semakin bersih dan berkah. Jangan takut miskin karena bersedekah, karena Demi Allah yang terjadi justru sebaliknya, rezeki kita akan terus menerus bertambah dan bertambah.

Memang hal ini tidak bisa dinalar secara logika, karena yang namanya sedekah itu tentunya mengurangi jumlah harta kita karena diberikan kepada orang lain.

Tapi sejatinya, sedekah itu PASTI akan membuka begitu banyak pintu rezeki di tempat lainnya. Rezeki yang dijanjikan Allah sebagai “min haitsu laa yahtasib” atau rezeki yang tidak disangka-sangka darimana datangnya. Tugas kita sebagai manusia hanya tinggal yakin, percaya dan menunggu keajaibanNya.

Di bulan Ramadhan yang suci ini, marilah kita semua memperbanyak amalan untuk terus berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Jangan pernah berhitung saat memberi, karena Allah juga tidak pernah berhitung saat memberikan kita rezeki.

Dan pada akhirnya, hidup adalah tentang bagaimana kita bisa memberi sebanyak-banyaknya kepada orang lain, dan bukan menerima sebanyak-banyaknya. Inilah arti kekayaan yang sesungguhnya, yaitu saat apa yang kita miliki dapat memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitar.

Giving is rich and making rich.




 oleh Muhammad Assad
disadur dari Kompas, Rabu, 8 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar