Editors Picks

Jumat, 10 Juni 2016

Selamat datang era denominasi fiskal



Dengan skenario ketiadaan Undang-Undang (UU) Tax Amnesty, pemerintah mengajukan RAPBN-P 2016. Di satu sisi, ada sinyal optimisme. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, dipertahankan 5,3%. Asumsi kurs semula ditetapkan Rp 13.900 diubah menjadi Rp 13.400 per dollar AS. Demikian pula, target inflasi yang mula-mula sebesar 4,7% diturunkan jadi 4%.

Di sisi lain, pemerintah cukup realistis menyikapi perkembangan ekonomi global yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Sejalan dengan pelemahan harga komoditas unggulan di pasar internasional, asumsi harga minyak Indonesia yang semula dipatok US$ 50, kini menjadi US$ 35 per barel.

Dampak langsung atas perubahan asumsi ini adalah turunnya penerimaan negara. Potensi shortfall tersebut mendorong pergeseran anggaran pengeluaran dan penerimaan. Sebagai contoh, tingginya kebutuhan belanja infrastruktur terpaksa ‘mengorbankan’ pos belanja subsidi BBM, listrik, solar, dan gas untuk dialokasikan ke pos belanja modal.

Dampak yang lebih serius adalah pemotongan belanja hingga mencapai Rp 50 triliun. Efisiensi dan pergeseran di semua lini ternyata masih belum mampu menekan defisit dari 2,1% menjadi 2,5% atas PDB. Alhasil, akan ada tambahan kebutuhan utang sekitar Rp 46 triliun dan Rp 27 triliun di antaranya adalah utang baru.

Dalam skala yang lebih luas, peta RAPBN 2016 ini membawa pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah di bidang perpajakan dan utang di masa datang. Menutup defisit dengan menerbitkan surat utang negara (SUN) di pasar domestik potensial meningkatkan tensi perebutan likuiditas.

Transaksi SUN mengikuti mekanisme lelang. Pengalaman menunjukkan penjualan SUN selalu kelebihan peminat (oversubscribe). Akibatnya, suku bunga yang ditawarkan harus tinggi agar pemodal mau memegang SUN.

Mengedarkan SUN ke luar negeri dihadapkan pada imbal hasil (return) dari aset finansial sejenis yang dijual negara lain. Risikonya adalah sensitivitas terhadap imbal hasil aset finansial lain di luar negeri cukup kuat untuk mendorong kembali kaburnya dana-dana asing ke luar negeri.

Kenyataan di atas memunculkan dilema. Di satu sisi, tingginya suku bunga mendorong pemilik dana bersedia memegang surat utang negara (SUN) yang selanjutnya melancarkan operasi APBN. Di sisi lain, tingginya suku bunga SUN berakibat pada beban pembayaran saat jatuh tempo nanti.

Mengantisipasi beban bunga di masa datang, pemerintah sudah sering secara persuasif meminta agar perbankan nasional untuk menurunkan suku bunganya. Pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) selama tiga bulan berturut-turut di awal 2016 belum mampu memberikan tanda-tanda terwujudnya suku bunga single digit sampai akhir tahun ini.

Redistribusi dana besar-besaran
Dengan kecenderungan semacam ini, bukanlah sebuah kebetulan jika kemudian kebijakan di sektor moneter mengalami perubahan besar. Pertengahan April lalu, BI mengumumkan mulai 19 Agustus 2016, instrumen suku bunga acuan tidak lagi menggunakan BI Rate melainkan Repo Tujuh Hari (7-Day Reverse Repo Rate).

Per definisi, Reverse Repo rate merupakan suku bunga transaksi atas penjualan SUN dari BI kepada perbankan dengan syarat akan dibeli lagi oleh BI pada jangka waktu tertentu. Artinya, masuknya faktor transaksi SUN sebagai suku bunga acuan menciptakan keterkaitan yang tegas antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Sejauh ini, kebijakan fiskal dan moneter terkesan berjalan sendiri-sendiri. Undang-Undang No. 23/1999 yang diperbaharui beberapa kali hingga UU No. 6/2009 tentang Bank Sentral mengamanatkan independensi BI dalam merumuskan kebijakan moneter dengan sasaran tunggal adalah stabilisasi rupiah.

Di sisi lain, kebijakan fiskal yang diimplementasikan melalui APBN ditujukan untuk menopang pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan perbaikan distribusi pendapatan. Ketiga tujuan tersebut ditempuh melalui desain kebijakan perpajakan dan belanja pemerintah.

Titik simpul antara tujuan akhir otoritas fiskal dan moneter adalah stabilisasi harga. Sebagai contoh, pemerintah menetapkan asumsi tingkat inflasi dalam RAPBN guna memprediksi pertumbuhan alami penerimaan pajak. Melalui kebijakan moneternya, BI juga bertanggung jawab atas pengendalian laju inflasi.

Dalam hal nilai tukar, Kementerian Keuangan menetapkan asumsi nilai tukar terkait dengan keputusan untuk mengambil utang luar negeri. Bahkan, Kementerian Keuangan menggunakan suku bunga acuan BI rate atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebagai salah satu pertimbangan dalam menarik utang domestik.

Dengan pergantian Reverse Repo rate sebagai suku bunga acuan, BI sekarang ikut memiliki tanggung jawab terhadap beban bunga SUN yang menjadi tanggungan pemerintah. Kementerian Keuangan pun kini terlibat dalam pemeliharaan stabilitas harga, seperti pengendalian harga-harga barang yang tidak diatur oleh pemerintah.

Dalam perspektif kebijakan, penetapan suku bunga acuan atas dasar transaksi SUN niscaya membuka era baru. Reverse Repo rate potensial membawa kebijakan ekonomi makro masuk ke ranah dominasi fiskal (fiscal dominance). Kemungkinan terbesarnya adalah terjadi represi keuangan.

Konkretnya, otoritas fiskal mengondisikan sektor finansial agar memasok dana murah pada pemerintah. Akibatnya, terjadi redistribusi dana besar-besaran dari masyarakat ke negara tidak hanya melalui SUN tetapi juga lewat surat berharga negara (SBN), sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi Republik Indonesia (ORI), sukuk ritel Republik Indonesia (SUKRI), dan sejenisnya.

Dengan demikian, besaran target fiskal menjadi aktor utama pengubah kebijakan ekonomi makro, tidak hanya kebijakan moneter tetapi juga kebijakan sektoral lainnya.

Selamat datang rezim dominasi fiskal.

oleh Haryo Kuncoro
disadur dari Kontan, Jum’at, 10 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar