Dengan skenario ketiadaan
Undang-Undang (UU) Tax Amnesty, pemerintah mengajukan RAPBN-P 2016. Di satu
sisi, ada sinyal optimisme. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, dipertahankan 5,3%.
Asumsi kurs semula ditetapkan Rp 13.900 diubah menjadi Rp 13.400 per dollar AS.
Demikian pula, target inflasi yang mula-mula sebesar 4,7% diturunkan jadi 4%.
Di sisi lain, pemerintah cukup
realistis menyikapi perkembangan ekonomi global yang terjadi selama beberapa
bulan terakhir. Sejalan dengan pelemahan harga komoditas unggulan di pasar
internasional, asumsi harga minyak Indonesia yang semula dipatok US$ 50, kini
menjadi US$ 35 per barel.
Dampak langsung atas perubahan
asumsi ini adalah turunnya penerimaan negara. Potensi shortfall tersebut
mendorong pergeseran anggaran pengeluaran dan penerimaan. Sebagai contoh,
tingginya kebutuhan belanja infrastruktur terpaksa ‘mengorbankan’ pos belanja
subsidi BBM, listrik, solar, dan gas untuk dialokasikan ke pos belanja modal.
Dampak yang lebih serius adalah
pemotongan belanja hingga mencapai Rp 50 triliun. Efisiensi dan pergeseran di
semua lini ternyata masih belum mampu menekan defisit dari 2,1% menjadi 2,5%
atas PDB. Alhasil, akan ada tambahan kebutuhan utang sekitar Rp 46 triliun dan
Rp 27 triliun di antaranya adalah utang baru.
Dalam skala yang lebih luas, peta
RAPBN 2016 ini membawa pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan arah
kebijakan pemerintah di bidang perpajakan dan utang di masa datang. Menutup
defisit dengan menerbitkan surat utang negara (SUN) di pasar domestik potensial
meningkatkan tensi perebutan likuiditas.
Transaksi SUN mengikuti mekanisme
lelang. Pengalaman menunjukkan penjualan SUN selalu kelebihan peminat
(oversubscribe). Akibatnya, suku bunga yang ditawarkan harus tinggi agar
pemodal mau memegang SUN.
Mengedarkan SUN ke luar negeri
dihadapkan pada imbal hasil (return) dari aset finansial sejenis yang dijual
negara lain. Risikonya adalah sensitivitas terhadap imbal hasil aset finansial
lain di luar negeri cukup kuat untuk mendorong kembali kaburnya dana-dana asing
ke luar negeri.
Kenyataan di atas memunculkan
dilema. Di satu sisi, tingginya suku bunga mendorong pemilik dana bersedia memegang
surat utang negara (SUN) yang selanjutnya melancarkan operasi APBN. Di sisi
lain, tingginya suku bunga SUN berakibat pada beban pembayaran saat jatuh tempo
nanti.
Mengantisipasi beban bunga di masa
datang, pemerintah sudah sering secara persuasif meminta agar perbankan
nasional untuk menurunkan suku bunganya. Pemangkasan suku bunga acuan Bank
Indonesia (BI rate) selama tiga bulan
berturut-turut di awal 2016 belum mampu memberikan tanda-tanda terwujudnya suku
bunga single digit sampai akhir tahun
ini.
Redistribusi dana besar-besaran
Dengan kecenderungan semacam ini, bukanlah sebuah kebetulan jika kemudian kebijakan di sektor moneter mengalami perubahan besar. Pertengahan April lalu, BI mengumumkan mulai 19 Agustus 2016, instrumen suku bunga acuan tidak lagi menggunakan BI Rate melainkan Repo Tujuh Hari (7-Day Reverse Repo Rate).
Dengan kecenderungan semacam ini, bukanlah sebuah kebetulan jika kemudian kebijakan di sektor moneter mengalami perubahan besar. Pertengahan April lalu, BI mengumumkan mulai 19 Agustus 2016, instrumen suku bunga acuan tidak lagi menggunakan BI Rate melainkan Repo Tujuh Hari (7-Day Reverse Repo Rate).
Per definisi, Reverse Repo rate merupakan suku bunga transaksi atas penjualan SUN
dari BI kepada perbankan dengan syarat akan dibeli lagi oleh BI pada jangka
waktu tertentu. Artinya, masuknya faktor transaksi SUN sebagai suku bunga acuan
menciptakan keterkaitan yang tegas antara kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter.
Sejauh ini, kebijakan fiskal dan
moneter terkesan berjalan sendiri-sendiri. Undang-Undang No. 23/1999 yang diperbaharui
beberapa kali hingga UU No. 6/2009 tentang Bank Sentral mengamanatkan
independensi BI dalam merumuskan kebijakan moneter dengan sasaran tunggal
adalah stabilisasi rupiah.
Di sisi lain, kebijakan fiskal yang
diimplementasikan melalui APBN ditujukan untuk menopang pertumbuhan ekonomi,
perluasan kesempatan kerja, dan perbaikan distribusi pendapatan. Ketiga tujuan
tersebut ditempuh melalui desain kebijakan perpajakan dan belanja pemerintah.
Titik simpul antara tujuan akhir
otoritas fiskal dan moneter adalah stabilisasi harga. Sebagai contoh,
pemerintah menetapkan asumsi tingkat inflasi dalam RAPBN guna memprediksi
pertumbuhan alami penerimaan pajak. Melalui kebijakan moneternya, BI juga
bertanggung jawab atas pengendalian laju inflasi.
Dalam hal nilai tukar, Kementerian
Keuangan menetapkan asumsi nilai tukar terkait dengan keputusan untuk mengambil
utang luar negeri. Bahkan, Kementerian Keuangan menggunakan suku bunga acuan BI
rate atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebagai salah satu pertimbangan dalam
menarik utang domestik.
Dengan pergantian Reverse Repo rate sebagai suku bunga
acuan, BI sekarang ikut memiliki tanggung jawab terhadap beban bunga SUN yang
menjadi tanggungan pemerintah. Kementerian Keuangan pun kini terlibat dalam
pemeliharaan stabilitas harga, seperti pengendalian harga-harga barang yang
tidak diatur oleh pemerintah.
Dalam perspektif kebijakan,
penetapan suku bunga acuan atas dasar transaksi SUN niscaya membuka era baru. Reverse Repo rate potensial membawa
kebijakan ekonomi makro masuk ke ranah dominasi fiskal (fiscal dominance). Kemungkinan terbesarnya adalah terjadi represi
keuangan.
Konkretnya, otoritas fiskal
mengondisikan sektor finansial agar memasok dana murah pada pemerintah.
Akibatnya, terjadi redistribusi dana besar-besaran dari masyarakat ke negara
tidak hanya melalui SUN tetapi juga lewat surat berharga negara (SBN),
sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi Republik Indonesia (ORI), sukuk ritel
Republik Indonesia (SUKRI), dan sejenisnya.
Dengan demikian, besaran target fiskal
menjadi aktor utama pengubah kebijakan ekonomi makro, tidak hanya kebijakan
moneter tetapi juga kebijakan sektoral lainnya.
Selamat datang rezim dominasi
fiskal.
oleh Haryo Kuncoro
disadur dari Kontan, Jum’at, 10 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar