Dalam sebuah rapat kabinet terbatas
belum lama ini, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar harga bahan kebutuhan
pokok, yang selalu naik menjelang dan selama Lebaran, tahun ini dapat
dijungkirbalikkan keadaannya menjadi turun harga. Banyak yang ragu kehendak
Presiden itu mampu diwujudkan.
Keraguan itu beralasan mengingat
fenomena yang rutin berulang menjelang Lebaran. Bahkan, jauh sebelum Ramadhan
tiba, lazimnya harga beragam komoditas pangan merangkak naik, dan akan terus
meningkat hingga perayaan Idul Fitri berakhir.
Fenomena tersebut dicatat Bank
Indonesia dalam studi tentang pola inflasi, yang menunjukkan laju inflasi
semakin kencang selama Ramadhan, saat Idul Fitri, serta satu bulan sesudahnya.
Peningkatan konsumsi masyarakat juga terkonfirmasi dari persiapan perbankan
menghadapi puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Kalangan perbankan, termasuk bank
sentral, senantiasa menyiapkan uang tunai lebih banyak dibandingkan dengan
bulan-bulan sebelumnya.
Peluang meningkatnya kegiatan
ekonomi masyarakat juga ditangkap PT Pegadaian, yang selalu mencanangkan omzet
lebih tinggi sepanjang bulan Ramadhan hingga Lebaran. Peningkatan kredit yang
disalurkan Pegadaian biasanya digunakan nasabah sebagai modal usaha musiman,
seperti berjualan baju, hidangan takjil, kue, dan makanan. Setelah Lebaran,
barang yang digadaikan akan ditebus kembali.
Secara umum, AC Nielsen menyimpulkan,
saat bulan puasa, penjualan barang konsumsi di Tanah Air, termasuk makanan,
meningkat 9,2 persen. Angka ini merepresentasikan adanya peningkatan konsumsi
warga.
Gagal
kendalikan diri
Peningkatan konsumsi masyarakat
selama bulan Ramadhan, saat separuh hari dilarang makan dan minum, patut
dipertanyakan. Seolah-olah, waktu makan dan minum yang lebih singkat di malam
hari dimanfaatkan guna "balas dendam" dengan makan dan minum lebih
banyak, mengompensasikan saat-saat lapar dan dahaga di siang hari.
Padahal, salah satu makna puasa
Ramadhan justru untuk meningkatkan kemampuan pengendalian diri, yang seharusnya
dicerminkan dengan konsumsi yang melemah atau setidaknya stabil. Sebaliknya,
peningkatan konsumsi masyarakat mengindikasikan kegagalan pengendalian diri
selama berpuasa.
Geliat ekonomi yang meningkat juga
tampak dari aktivitas masyarakat menyambut Idul Fitri. Bahkan, saat Ramadhan
baru mulai, pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional sudah diramaikan
masyarakat yang berbelanja beragam kebutuhan Lebaran. Menangkap animo
berbelanja masyarakat yang meningkat, pusat perbelanjaan tak jarang menunda jam
tutupnya. Padahal, pada masa itu umat Islam sesungguhnya didorong untuk lebih
meningkatkan kualitas ketakwaan dengan beragam kegiatan ibadah.
Selain itu, kesibukan berbelanja,
acara makan-makan, serta beragam aktivitas sejenisnya terasa kurang sejalan
dengan hikmah puasa agar lebih mampu berempati kepada kelompok masyarakat yang
tidak beruntung secara ekonomi. Keriuhan masyarakat menyambut Idul Fitri lebih
tampak bagai perayaan kebebasan setelah sebulan penuh dikekang beragam
larangan.
Godaan
sebagai ujian
Apabila ada yang kurang bergembira
menyambut Ramadhan dan Idul Fitri, barangkali adalah tempat hiburan seperti
karaoke, sanggar dangdut, pertunjukan musik hidup, restoran/kafe, tempat
permainan biliar, tempat permainan ketangkasan seperti dingdong, TV
game,permainan ketangkasan berbau judi, dan panti pijat. Sebab, banyak
pemerintah daerah melarang tempat hiburan beroperasi selama Ramadhan. Mereka
harus mencari sumber penghidupan pengganti selama sebulan tempat kerjanya
ditutup. Lokalisasi juga diperintahkan tidak beroperasi.
Kepatuhan terhadap larangan operasi
tempat hiburan tidak hanya diawasi aparat resmi pemerintah, juga oleh
organisasi-organisasi masyarakat yang, meskipun tanpa kewenangan, rajin
melakukan sweeping sehingga tidak jarang menimbulkan konflik horizontal dengan
kelompok masyarakat lain.
Sesungguhnya, logika penutupan
tempat hiburan itu tak mudah dipahami. Jika berpuasa sepanjang Ramadhan dianggap
sebagai latihan agar terbentuk pribadi yang lebih mampu mengendalikan diri dari
beragam godaan, maka penutupan tempat hiburan yang dianggap mengganggu
kekhusyukan ibadah puasa dapat diibaratkan orang berlatih tinju melawan mitra
tanding yang kedua belah tangannya diikat ke belakang. Hasil latihan semacam
itu tentu tak akan banyak membantu meningkatkan kualitas diri menghadapi
pertandingan sesungguhnya ketika "masa latihan" usai.
Lagi pula, jika tempat hiburan,
panti pijat, dan lokalisasi dinilai tidak layak beroperasi selama Ramadhan, apa
yang membuatnya berubah menjadi sesuai dan layak beroperasi kembali setelah
Ramadhan usai? Apakah tempat-tempat itu berhukum haram saat Ramadhan, tetapi
berganti menjadi halal seusai Ramadhan?
Pengalaman penulis beberapa tahun
tinggal di negeri di mana suara azan tak pernah terdengar sebagai penanda awal
dan akhir puasa, di saat siang musim panas terasa sangat terik dan panjang,
orang-orang berbusana terbuka menggoda, serta makanan dan minuman menantang
selera, menjalani puasa di tengah kondisi seperti itu justru terasa lebih
syahdu. Godaan terasa lebih nyata. Latihan pun terasa lebih paripurna.
oleh Ali Mutasowifin
disadur dari Kompas, Sabtu, 11 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar