Anomali kembali terjadi pada pasar
daging sapi. Sejak April 2016, harga daging merangkak naik. Memasuki awal Mei
2016, harga daging sapi terseret tren kenaikan harga yang hampir merata di
semua daerah. Bahkan, kenaikan harga juga terjadi di daerah sentra produksi
sapi. Harga daging sapi naik Rp 5.000-Rp 10.000 per kilogram.
Akibatnya, harga daging berkisar Rp
115.000-Rp 120.000 per kilogram. Padahal, puasa masih sebulan lagi. Kini,
setelah Ramadan, harga kemungkinan kian tinggi.
Tidak ingin terjebak rutinitas dan
kelaziman kenaikan harga, tahun ini, Presiden Jokowi ingin harga kebutuhan
pokok harga harus turun. “Kita ubah rutinitas. Tahun ini kita jungkir-balikkan
harga (pangan) menjadi turun, terutama daging sapi, beras, dan minyak goreng,”
kata Jokowi (26 April 2016).
Presiden ingin harga daging sapi
tidak lebih Rp 80.000/ kilogram (kg). Sebulan berlalu, ketika tak tanda-tanda
penurunan harga, Jokowi mengulangi kembali perintahnya (23 Mei 2016). Mengapa
harga daging sapi bertahan tinggi? Mungkinkah harga bisa ditekan hingga Rp
80.000/kg?
Untuk menekan harga daging sapi
pemerintah masih saja memakai cara-cara lama: men-sweeping pedagang sapi
dan feedloter (perusahaan penggemukan sapi), menerbitkan izin impor buat
BUMN (PT Berdikari), dan operasi pasar.
Tidak ada terobosan baru.
Seolah-olah dengan semua itu masalah bisa selesai. Padahal, kondisi di lapangan
cukup rumit dan tidak mudah. Misalnya, realisasi izin impor daging sapi kepada
PT Berdikari memerlukan waktu.
Sementara kenaikan harga memerlukan
langkah segera. Akibatnya, operasi pasar tidak bisa segera dilakukan. Belum
lagi soal efektivitasnya.
Kenaikan harga daging kali ini sulit
dijelaskan dari faktor fundamental. Dari sisi pasokan, pemerintah menjamin
tambahan kuota pasokan. Dari sisi permintaan, tak ada tekanan permintaan.
Salah satu penyebab fluktuasi harga
daging sapi karena inkonsistensi kebijakan pemerintah dan masalah akurasi data.
Untuk mengendalikan pasokan, pemerintah membatasi pasokan di sisi hulu.
Impor hanya untuk menutup kekurangan
kebutuhan domestik. Namun, di hilir perdagangan daging sapi sepenuhnya
diserahkan pada mekanisme pasar. Logis apabila harga tak terkendali.
Akurasi data tidak kalah pelik.
Ketika kuota impor ditetapkan tentu didasarkan data yang akurat, baik data
kebutuhan maupun produksi dalam negeri. Jika data tidak akurat, kebijakan yang
diambil bukan hanya tidak akurat tetapi juga bisa menyengsarakan banyak orang
dan bahkan membuka ruang terjadinya moral hazard.
Misalnya, kebutuhan daging pada 2015
sebesar 654.000 ton, setara 5,45 juta ekor sapi. Populasi sapi yang ada
berjumlah 15,5 juta ekor, terdiri dari 5,5 juta ekor sapi siap potong, 6 juta
ekor sapi bakalan, dan 4 juta ekor sapi indukan. Dari pasokan, seolah-olah
jumlah sapi cukup.
Benahi logistik & rantai pasokan
Berbeda dengan di Australia, lebih
dari 98% ternak di Indonesia dikuasai 6,5 juta peternak kecil dengan skala
kepemilikan 2-3 ekor per peternak. Ternak dipelihara di belakang rumah.
Peternak memberi makan di sisa waktu
setelah usaha pokoknya selesai. Hanya kurang dari 2% sapi ternak dikuasai
perusahaan ternak besar di Indonesia. Yang dipelihara pun sapi bakalan dari
Australia.
Bagi peternak, terutama di Jawa,
ternak dianggap rojo brono. Kosa kata itu kira-kira sama dengan tabungan atau
aset yang likuid. Mereka tidak akan menjual ternak meski harga di pasaran
sedang tinggi. Mereka baru melepas ternak bila ada kebutuhan mendesak.
Dalam kondisi demikian, berbeda
dengan usaha ternak skala industrial, ternak rakyat tidak responsif terhadap
pasar. Mengandaikan jumlah sapi siap potong bisa memenuhi kebutuhan domestik
tentu salah.
Untuk memastikan pasokan, pemerintah
telah melakukan deregulasi. Dalam Paket Kebijakan Ekonomi IX, 27 Januari 2016,
salah satu titik tekannya adalah relaksasi sumber pasokan daging: dari semula
berbasis negara jadi zona bebas penyakit mulut dan kaki.
Ini kelanjutan deregulasi dalam
Paket Kebijakan Ekonomi I, 9 September 2015. Relaksasi ini akan memperluas
sumber pasokan daging impor. Jika ketersediaan daging terjamin dan harganya
terjangkau tidak akan menciptakan instabilitas di pasar.
Harga daging yang stabil akan
membantu pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Namun, paket deregulasi ini
belum terasa dan terlihat dampaknya dalam menekan harga daging.
Bahkan, efektivitas deregulasi impor
dalam mendorong dan memberikan insentif pada peternak untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas kini dipertanyakan. Relaksasi impor yang longgar
belum tentu membawa manfaat bagi sektor peternakan sapi.
Hampir bisa dipastikan, relaksasi
aturan ini akan berujung pada liberalisasi impor daging sapi. Jika itu terjadi,
pelonggaran bukan hanya kontraproduktif, tapi juga menjauhkan dari cita-cita
mencapai swasembada daging sapi.
Agar itu tidak terjadi, pemerintah
diharapkan segera mengatasi defisit induk sapi Indonesia sekitar 1,3 juta ekor.
Ada dua solusi: apakah diimpor atau mengembangkan indukan berbasis sejumlah breed lokal unggul?
Cara pertama sifatnya instan dan
hanya cocok untuk solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, cara kedua
merupakan pilihan terbaik. Namun, untuk bisa mengembangkan model breeding
modern sejumlah syarat harus dipenuhi, yakni tersedianya infrastruktur
peternakan modern mulai dari industri pakan, pembesaran, pemotongan, cold
storage untuk pelayuan hingga distribusi.
Dalam jangka pendek, hampir bisa
dipastikan mustahil menekan harga daging di bawah Rp 80.000/kg. Kebijakan dan
instrumen yang ada tidak memberikan peluang itu terjadi.
Sebaiknya pemerintah memusatkan
perhatian membenahi logistik dan rantai pasokan dari peternak ke pasar. Bukan
hanya data dan memperlancar jalur distribusi, yang tak kalah penting adalah
administrasi di rumah pemotongan hewan, feedloter, dan cold storage.
Pada saat yang sama, pemerintah dan
KPPU bisa bekerja sama untuk memastikan tidak ada pelaku dominan yang mengail
di air keruh mengeruk keuntungan di tengah derita konsumen yang tercekik harga
tinggi.
oleh
Khudori
disadur
dari Kontan, Jum’at, 10 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar