Editors Picks

Sabtu, 11 Juni 2016

Dunia Dalam Cengkeraman Amerika dan China




Pak Ciputra, yang dijuluki begawan properti Indonesia, satu kali pernah berkata bahwa di antara sekian banyak e-commerce di Indonesia yang saat ini bermunculan, paling-paling hanya dua atau tiga brand yang benar-benar bisa menjadi besar dan beroperasi secara menguntungkan.

‘Ramalan’ Pak Ci itu saya kutip di sini, mengingat reputasi konglomerat tersebut sebagai pebisnis yang telah malang melintang di dunia properti, di dalam maupun luar negeri.

Lebih dari itu, Pak Ci juga mempunyai intuisi bisnis yang tajam, dan terbukti telah survive dengan berbagai ujian termasuk saat krisis ekonomi dahsyat pada 1997/1998 yang nyaris membuat kelompok usaha Ciputra tinggal nama.

Namun, reputasi dan inovasi yang terus menerus telah membuat Grup Ciputra tetap menempati posisi teratas di jajaran bisnis properti di Indonesia. Bahkan, di tengah banyak orang bilang perekonomian lesu, perusahaan dalam jaringan Grup Ciputra mencatatkan laba bersih hampir Rp5 triliun pada tahun lalu.

Berangkat dari pengalaman dan reputasi itulah, saya percaya atas ramalan Pak Ci soal e-commerce tersebut. Dan, belum sampai setahun dari ramalan Pak Ci, ada indikasi ramalan tersebut benar. Kalau nggak operasi bisnisnya kesulitan, yang terjadi merger dan akuisisi.

Contohnya, baru-baru ini perusahaan e-commerce Lazada yang mencatatkan kerugian operasional triliunan rupiah akhirnya diakuisisi oleh Alibaba. Nilai akuisisi tak tanggung-tanggung, disebut-sebut mencapai Rp15 triliun.

Alibaba adalah perusahaan e-commerce terbesar kedua (bisa saja sebentar lagi menjadi pertama) di dunia, yang berasal dari China.

Gelombang merger dan akuisisi telah dan semakin memperkuat fenomena baru, bahwa revolusi digital bakal mewariskan ketidakseimbangan finansial dan ketimpangan penguasaan pasar global.

Mesin utama dari revolusi digital adalah kemajuan DNA yang luar biasa. Device, Network dan Aplikasi (Apps) menjadi tulang punggung revolusi digital yang membuat semua orang merasakan kemudahan dan kenyamanan dari kemajuan teknologi.
Semua aspek kehidupan nyaris terdigitalisasi melalui revolusi perangkat mobile. Cisco System menduga tahun 2020 mendatang akan terdapat 5,3 miliar penduduk dunia menggunakan perangkat mobile. Saat ini sekitar 4,6 miliar penduduk bumi adalah pengguna perangkat mobile.

Indonesia pun demikian. Mungkin karena itu, Baidu, raksasa mesin pencari dari China, yang selama ini seperti hanya asyik main di kandang sendiri, disebut-sebut tengah ancang-ancang masuk ke pasar Indonesia. Pasar Indonesia sendiri saat ini didominasi oleh Google, raksasa mesin pencari dari Amerika.

Berdasarkan riset Baidu tahun lalu, pengguna smartphone di Indonesia sudah mencapai 139 juta lebih. Angka itu didasarkan temuan bahwa 63% dari populasi Indonesia sudah menggunakan Internet dan 94% dari populasi yang menggunakan Internet tersebut adalah pengguna telepon pintar alias smartphone.

Angka itu jauh di atas data yang kerap dilansir secara resmi baik oleh Kemenkominfo, bahwa pengguna Internet di Indonesia saat ini sekitar 88 juta orang. Ini bukan cuma mengubah perilaku konsumen saat ini dan bahkan akan lebih drastis lagi ke depan.

Faktanya, nyaris semua aspek kehidupan sudah terjamah oleh perangkat dan aplikasi digital. Impak ekonomi-bisnis yang muncul tak begitu terlihat lantaran miskin perangkat statistik yang mengukurnya, tetapi terasakan karena langsung terimbas pada sektor bisnis atau industri dan jasa yang terkena.

 

Revolusi digital rasanya kian memperkuat asumsi bahwa ekonomi dunia akan semakin dikuasai korporasi China dan Amerika. Coba deh periksa device atau peranti elektronik yang Anda pakai sekarang ini, kalau nggak bikinan Korea, pastilah bikinan China.

Lho, bukankah iPhone merupakan produk Apple dari Amerika? Ya, merek boleh keluaran Amerika, tetapi device tersebut dibuat di China. Itu sekadar gambaran kasar. Nanti kita lihat angka-angkanya.

Lalu di sisi network. Operator telekomunikasi di Indonesia selalu memasang anggaran belanja modal yang besar, untuk memperkuat kapasitas jaringan Internet mereka. Anda tentu tahu, vendor mereka saat ini ada lah perusahaan-perusahaan China seperti Huawei, HTC dan lain-lain.

Lalu untuk apps, Anda boleh pakai mobile device, handphone, atau smartphone apa saja dan bikinan mana saja. Namun sistem operasi, dan isi apps-nya adalah keluaran perusahaan-perusahaan Amrik.

Device buatan Amerika seperti produk Apple, jelas menggunakan iOS, sistem operasi besutan Steve Jobs. Sebaliknya, device bikinan China dan Korea, pasti memakai Android, sistem operasi besutan Google.

Dua sistem operasi inilah yang saat ini mendominasi penggunaan smartphone di seluruh dunia. Memang kedua sistem operasi itu gratis. Tetapi ingat, di dalam sistem operasi tersebut terdapat ribuan aplikasi in-apps yang tidak bisa diunduh dengan gratis.

Di Google, ada Playstore. Dan di Apple, jualannya adalah Appstore. Apabila storage di email Google Anda penuh, juga harus membayar kalau malas menghapuskan. Begitupun i-cloud yang ditawarkan Apple, tidak ada yang gratis apabila ingin menambah storage.

Maka, agregasi dari angka-angka yang dijual itu begitu besar mengingat kebanyakan warga dunia memakai dua toko maya itu, apapun merek gadget yang dipakai saat ini.

 

Di bisnis e-commerce, persaingan antara Jeff Bezos, pendiri Amazon, dan Jack Ma, pendiri Alibaba, rasanya kian sengit. Kebetulan, keduanya  lahir pada tahun yang sama, yakni 1964.

Pada 2015, merujuk Forbes, Jeff Bezos memiliki kekayaan US$46,7 miliar, sedangkan Jack Ma memiliki harta separuhnya, US$22,5 miliar.

Sebelum muncul Alibaba, Amazon seperti tak tertandingi. Namun, setelah Alibaba hadir di pasar modal New York tahun 2014, posisi Jeff Bezos kian tergeser. Pasalnya, Alibaba beroperasi secara jauh lebih menguntungkan, meski pendapatan keduanya timpang.

Coba bandingkan, pada akhir Maret 2016, pendapatan perusahaan besutan Jack Ma itu mencapai US$15 miliar, sedangkan Amazon meraup US$114 miliar. Namun, Alibaba membukukan laba US$6,6 miliar tahun lalu dan pertumbuhan 39% pada kuartal terakhir, dibandingkan dengan 28% untuk Amazon yang mengantungi laba bersih hampir $600 juta.

Mungkin Alibaba diuntungkan jumlah penduduk China yang jauh lebih besar, 1,4 miliar orang dibandingkan dengan Amerika yang ‘hanya’ 319 juta. 

Lebih dari itu, Alibaba yang berdiri tahun 1999 dianggap bukan perusahaan e-commerce tradisional, karena menciptakan platform e-commerce yang membantu usaha kecil serta produsen bermerek menjangkau konsumen.

Alibaba tidak menjual langsung dan tidak memiliki gudang apapun. Akibatnya, Alibaba jauh lebih menguntungkan daripada Amazon, dengan margin hampir 40%.

Sebaliknya, Amazon yang didirikan tahun 1995 mengoperasikan “pasar yang dikelola” yang lebih dekat dengan ritel tradisional. Ini memiliki pusat distribusi besar, menjual sebagian produknya secara langsung.

Namun model Amazon ini menuntut investasi besar-besaran di bidang infrastruktur, mempekerjakan ribuan orang, dan beroperasi pada margin keuntungan yang tipis. Pada 2014, Amazon mempekerjakan lebih dari 88.000 karyawan, sedangkan Alibaba 24.000 karyawan.

Dan yang lebih penting, Alibaba di lindungi oleh Great Firewall, kebijakan pemerintah China yang menutup peluang perusahaan-perusahaan asing mendominasi bisnis Internet-nya.

Rabu (8/6) lalu, saya kedatangan tamu Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Muhammad Syarkawi Rauf. Kepada Pak Syarkawi, saya sampaikan pentingnya Komisi Persaingan Global, untuk mencegah dominasi satu korporasi atas korporasi global yang lain. Ini merujuk revolusi bisnis digitgal yang aduhai akhir-akhir ini.

Persaingan bisnis digital merupakan contoh yang relevan. Buat saya, isu utama gelombang revolusi Internet dewasa ini bukanlah pengaruh negatif seperti pornografi, atau dampak kekerasan. Isu utama revolusi digital adalah pemusatan bisnis dan finansial, pada satu dua pemain global. Dan dampak sosial politik yang massive.

Bahkan ada kecenderungan, revolusi digital telah menciptakan pemusatan “power and wealth” alias “kekuasaan dan kemakmuran” kepada satu dua negara tertentu, bahkan satu dua korporasi tertentu.

Untuk sekadar mengintip, merujuk data dari Business Insider, pendapatan Apple tahun 2014 saja telah mencapai US$233,7 miliar, dengan pertumbuhan 27% per tahun. Pada tahun yang sama, pendapatan Google mencapai US$66 miliar, dengan pertumbuhan 10% per tahun.

Google pun menguasai 40% pasar dunia, dan bersama Facebook di media sosial, keduanya mendominasi 70% pasar dunia. Gabungan dari Apple dan Google saja setara dengan Rp4.000 triliun, dua kali lipat dari APBN Indonesia. Dan untuk pasar Indonesia, gambarannya bahkan lebih ekstrim.

Sekadar contoh, untuk iklan digital saja, angka yang disebut Menkominfo tahun lalu mencapai US$830 juta atau sekitar Rp10 triliun. Uang itu, lebih dari dua pertiga, pergi ke Google dan Facebook. Sisanya, pergi ke Twitter, Youtube, Line dan lainnya. Indonesia kebagian seberapa besar? Tak lebih dari 5%!

Maka, sudah jelas, apabila bisnis digital dipakai sebagai acuan, dunia berada dalam cengkeraman Amerika Serikat, dan rasanya juga China. Jadi, bagaimana menurut Anda?

oleh Arif Budisusilo
disadur dari Bisnis, Jum'at, 10 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar