Pak Ciputra, yang dijuluki begawan properti
Indonesia, satu kali pernah berkata bahwa di antara sekian banyak e-commerce di Indonesia yang saat ini
bermunculan, paling-paling hanya dua atau tiga brand yang benar-benar bisa
menjadi besar dan beroperasi secara menguntungkan.
‘Ramalan’
Pak Ci itu saya kutip di sini, mengingat reputasi konglomerat tersebut sebagai
pebisnis yang telah malang melintang di dunia properti, di dalam maupun luar
negeri.
Lebih
dari itu, Pak Ci juga mempunyai intuisi bisnis yang tajam, dan terbukti telah
survive dengan berbagai ujian termasuk saat krisis ekonomi dahsyat pada
1997/1998 yang nyaris membuat kelompok usaha Ciputra tinggal nama.
Namun,
reputasi dan inovasi yang terus menerus telah membuat Grup Ciputra tetap
menempati posisi teratas di jajaran bisnis properti di Indonesia. Bahkan, di
tengah banyak orang bilang perekonomian lesu, perusahaan dalam jaringan Grup
Ciputra mencatatkan laba bersih hampir Rp5 triliun pada tahun lalu.
Berangkat
dari pengalaman dan reputasi itulah, saya percaya atas ramalan Pak Ci soal e-commerce tersebut. Dan, belum sampai
setahun dari ramalan Pak Ci, ada indikasi ramalan tersebut benar. Kalau nggak
operasi bisnisnya kesulitan, yang terjadi merger dan akuisisi.
Contohnya,
baru-baru ini perusahaan e-commerce
Lazada yang mencatatkan kerugian operasional triliunan rupiah akhirnya
diakuisisi oleh Alibaba. Nilai akuisisi tak tanggung-tanggung, disebut-sebut
mencapai Rp15 triliun.
Alibaba
adalah perusahaan e-commerce terbesar
kedua (bisa saja sebentar lagi menjadi pertama) di dunia, yang berasal dari
China.
Gelombang
merger dan akuisisi telah dan semakin memperkuat fenomena baru, bahwa revolusi
digital bakal mewariskan ketidakseimbangan finansial dan ketimpangan penguasaan
pasar global.
Mesin
utama dari revolusi digital adalah kemajuan DNA yang luar biasa. Device, Network dan Aplikasi (Apps) menjadi tulang punggung revolusi
digital yang membuat semua orang merasakan kemudahan dan kenyamanan dari
kemajuan teknologi.
Semua
aspek kehidupan nyaris terdigitalisasi melalui revolusi perangkat mobile. Cisco
System menduga tahun 2020 mendatang akan terdapat 5,3 miliar penduduk dunia
menggunakan perangkat mobile. Saat
ini sekitar 4,6 miliar penduduk bumi adalah pengguna perangkat mobile.
Indonesia
pun demikian. Mungkin karena itu, Baidu, raksasa mesin pencari dari China, yang
selama ini seperti hanya asyik main di kandang sendiri, disebut-sebut tengah
ancang-ancang masuk ke pasar Indonesia. Pasar Indonesia sendiri saat ini
didominasi oleh Google, raksasa mesin pencari dari Amerika.
Berdasarkan
riset Baidu tahun lalu, pengguna smartphone
di Indonesia sudah mencapai 139 juta lebih. Angka itu didasarkan temuan bahwa
63% dari populasi Indonesia sudah menggunakan Internet dan 94% dari populasi
yang menggunakan Internet tersebut adalah pengguna telepon pintar alias smartphone.
Angka
itu jauh di atas data yang kerap dilansir secara resmi baik oleh Kemenkominfo,
bahwa pengguna Internet di Indonesia saat ini sekitar 88 juta orang. Ini bukan
cuma mengubah perilaku konsumen saat ini dan bahkan akan lebih drastis lagi ke
depan.
Faktanya,
nyaris semua aspek kehidupan sudah terjamah oleh perangkat dan aplikasi
digital. Impak ekonomi-bisnis yang muncul tak begitu terlihat lantaran miskin
perangkat statistik yang mengukurnya, tetapi terasakan karena langsung terimbas
pada sektor bisnis atau industri dan jasa yang terkena.
Revolusi
digital rasanya kian memperkuat asumsi bahwa ekonomi dunia akan semakin
dikuasai korporasi China dan Amerika. Coba deh periksa device atau peranti elektronik yang Anda pakai sekarang ini, kalau
nggak bikinan Korea, pastilah bikinan China.
Lho,
bukankah iPhone merupakan produk Apple dari Amerika? Ya, merek boleh keluaran
Amerika, tetapi device tersebut dibuat di China. Itu sekadar gambaran kasar.
Nanti kita lihat angka-angkanya.
Lalu
di sisi network. Operator
telekomunikasi di Indonesia selalu memasang anggaran belanja modal yang besar,
untuk memperkuat kapasitas jaringan Internet mereka. Anda tentu tahu, vendor
mereka saat ini ada lah perusahaan-perusahaan China seperti Huawei, HTC dan
lain-lain.
Lalu
untuk apps, Anda boleh pakai mobile device, handphone, atau smartphone apa saja dan bikinan mana
saja. Namun sistem operasi, dan isi apps-nya adalah keluaran
perusahaan-perusahaan Amrik.
Device buatan Amerika seperti produk Apple,
jelas menggunakan iOS, sistem operasi besutan Steve Jobs. Sebaliknya, device
bikinan China dan Korea, pasti memakai Android, sistem operasi besutan Google.
Dua
sistem operasi inilah yang saat ini mendominasi penggunaan smartphone di
seluruh dunia. Memang kedua sistem operasi itu gratis. Tetapi ingat, di dalam
sistem operasi tersebut terdapat ribuan aplikasi in-apps yang tidak bisa
diunduh dengan gratis.
Di
Google, ada Playstore. Dan di Apple, jualannya adalah Appstore. Apabila storage di email Google Anda penuh, juga
harus membayar kalau malas menghapuskan. Begitupun i-cloud yang ditawarkan Apple, tidak ada yang gratis apabila ingin
menambah storage.
Maka,
agregasi dari angka-angka yang dijual itu begitu besar mengingat kebanyakan
warga dunia memakai dua toko maya itu, apapun merek gadget yang dipakai saat
ini.
Di
bisnis e-commerce, persaingan antara
Jeff Bezos, pendiri Amazon, dan Jack Ma, pendiri Alibaba, rasanya kian sengit.
Kebetulan, keduanya lahir pada tahun yang sama, yakni 1964.
Pada
2015, merujuk Forbes, Jeff Bezos memiliki kekayaan US$46,7 miliar, sedangkan
Jack Ma memiliki harta separuhnya, US$22,5 miliar.
Sebelum
muncul Alibaba, Amazon seperti tak tertandingi. Namun, setelah Alibaba hadir di
pasar modal New York tahun 2014, posisi Jeff Bezos kian
tergeser. Pasalnya, Alibaba beroperasi secara jauh lebih menguntungkan,
meski pendapatan keduanya timpang.
Coba
bandingkan, pada akhir Maret 2016, pendapatan perusahaan besutan Jack Ma itu
mencapai US$15 miliar, sedangkan Amazon meraup US$114 miliar. Namun,
Alibaba membukukan laba US$6,6 miliar tahun lalu dan pertumbuhan 39% pada
kuartal terakhir, dibandingkan dengan 28% untuk Amazon yang mengantungi laba
bersih hampir $600 juta.
Mungkin
Alibaba diuntungkan jumlah penduduk China yang jauh lebih besar, 1,4 miliar
orang dibandingkan dengan Amerika yang ‘hanya’ 319 juta.
Lebih
dari itu, Alibaba yang berdiri tahun 1999 dianggap bukan perusahaan e-commerce tradisional, karena
menciptakan platform e-commerce yang
membantu usaha kecil serta produsen bermerek menjangkau konsumen.
Alibaba
tidak menjual langsung dan tidak memiliki gudang apapun. Akibatnya, Alibaba
jauh lebih menguntungkan daripada Amazon, dengan margin hampir 40%.
Sebaliknya,
Amazon yang didirikan tahun 1995 mengoperasikan “pasar yang dikelola” yang
lebih dekat dengan ritel tradisional. Ini memiliki pusat distribusi besar,
menjual sebagian produknya secara langsung.
Namun
model Amazon ini menuntut investasi besar-besaran di bidang infrastruktur,
mempekerjakan ribuan orang, dan beroperasi pada margin keuntungan yang tipis.
Pada 2014, Amazon mempekerjakan lebih dari 88.000 karyawan, sedangkan Alibaba
24.000 karyawan.
Dan
yang lebih penting, Alibaba di lindungi oleh Great Firewall, kebijakan pemerintah
China yang menutup peluang perusahaan-perusahaan asing mendominasi bisnis
Internet-nya.
Rabu
(8/6) lalu, saya kedatangan tamu Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Muhammad Syarkawi Rauf. Kepada Pak Syarkawi, saya sampaikan pentingnya Komisi
Persaingan Global, untuk mencegah dominasi satu korporasi atas korporasi global
yang lain. Ini merujuk revolusi bisnis digitgal yang aduhai akhir-akhir ini.
Persaingan
bisnis digital merupakan contoh yang relevan. Buat saya, isu utama gelombang
revolusi Internet dewasa ini bukanlah pengaruh negatif seperti pornografi, atau
dampak kekerasan. Isu utama revolusi digital adalah pemusatan bisnis dan
finansial, pada satu dua pemain global. Dan dampak sosial politik yang massive.
Bahkan
ada kecenderungan, revolusi digital telah menciptakan pemusatan “power and wealth” alias “kekuasaan dan
kemakmuran” kepada satu dua negara tertentu, bahkan satu dua korporasi
tertentu.
Untuk
sekadar mengintip, merujuk data dari Business Insider, pendapatan Apple tahun
2014 saja telah mencapai US$233,7 miliar, dengan pertumbuhan 27% per tahun.
Pada tahun yang sama, pendapatan Google mencapai US$66 miliar, dengan
pertumbuhan 10% per tahun.
Google
pun menguasai 40% pasar dunia, dan bersama Facebook di media sosial, keduanya
mendominasi 70% pasar dunia. Gabungan dari Apple dan Google saja setara dengan
Rp4.000 triliun, dua kali lipat dari APBN Indonesia. Dan untuk pasar Indonesia,
gambarannya bahkan lebih ekstrim.
Sekadar
contoh, untuk iklan digital saja, angka yang disebut Menkominfo tahun lalu
mencapai US$830 juta atau sekitar Rp10 triliun. Uang itu, lebih dari dua
pertiga, pergi ke Google dan Facebook. Sisanya, pergi ke Twitter, Youtube, Line
dan lainnya. Indonesia kebagian seberapa besar? Tak lebih dari 5%!
Maka,
sudah jelas, apabila bisnis digital dipakai sebagai acuan, dunia berada dalam
cengkeraman Amerika Serikat, dan rasanya juga China. Jadi, bagaimana menurut
Anda?
oleh Arif Budisusilo
disadur dari Bisnis, Jum'at, 10 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar