Editors Picks

Sabtu, 11 Juni 2016

Koalisi Tak Ramping



Dari waktu ke waktu, posisi Presiden Joko Widodo terus mengalami penguatan secara meyakinkan. Terakhir, dengan merapatnya Partai Golkar dalam barisan pendukung pemerintah dan sekaligus keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP), bisa dikatakan backup politik kepada Jokowi relatif maksimum.

Dari 10 partai politik yang memperoleh kursi di DPR pada Pemilu Legislatif 2014, praktis tinggal tiga partai yang konsisten berada di luar pemerintahan, yaitu Partai Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Demokrat sendiri tetap berada di jalur ‘non blok’ seperti tekadnya sejak awal, sementara Gerindra dan PKS pun masih setia menjadi pilar utama KMP, meski eksistensinya makin melemah sejak ditinggalkan sejumlah anggotanya.

Di seberangnya, Koalisi Indonesia Hebat (KIH)—koalisi pendukung Jokowi- Jusuf Kalla pada Pilpres 2014—yang terdiri dari PDIP, Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang tidak memiliki keterwakilan di parlemen, juga mengalami dinamika tersendiri.

Seusai pilpres, pada Oktober 2014, PPP kubu Romahurmuzy menyatakan masuk menjadi barisan partai pendukung pemerintah, meski kubu eks Ketua Umum PPP Suryadharma Ali tetap ngotot berada di KMP.

Belakangan, setelah mengalami pergulatan hukum dan politik yang sengit, dualisme itu disudahi dengan muktamar islah di Asrama Haji Pondok Gede pada April lalu. Romahurmuzy terpilih sebagai ketua umum meski menyisakan gugatan dan perselisihan dengan Djan Faridz dkk, yang awalnya merupakan representasi kubu mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang menjadi terpidana korupsi.

Akan halnya Partai Amanat Nasional (PAN), putar haluan mendukung pemerintah pada September 2015, yang ditandai dengan pernyataan resmi Zulfkili Hasan, sang ketua umum baru hasil Kongres PAN di Bali, usai bertemu Jokowi di Istana Negara. Intinya, PAN merapat ke pemerintah demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.

Sejak PAN bergabung, isu reshuffle atau perombakan kabinet gencar bergulir.
Namun, isu yang sempat timbul tenggelam itu hingga kini belum terealisasi. Kabar burung terakhir menyebutkan Jokowi akan mengeksekusi reshuffle jilid ke dua usai Lebaran tahun ini. Benarkah?

Sejauh ini, PAN baru mendapatkan ‘kompensasi’ kursi Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) yang dijabat Soetrisno Bachir, mantan ketua umum PAN yang kembali masuk gelanggang politik dengan posisi baru Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN usai kongres di Bali. Dari awal, secara pribadi, Soetrisno memang mendukung Jokowi di pilpres.

Lalu bagaimana dengan Partai Golkar, yang sejak menggelar munas luar biasa di Bali medio Mei lalu, secara blak-blakan menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-JK? Adakah Golkar juga bakal mendapat ganjaran di kabinet?

Ketika Jokowi masih ‘idealis’, suatu waktu tatkala kampanye pilpres, mantan Gubernur DKI Jakarta itu pernah menginginkan koalisi ramping dan menghindari politik transaksional alias dagang sapi. Alhasil, dia tak begitu risau KIH yang belakangan ganti nama menjadi Kerja sama Partai Politik Pendukung Pemerintah, hanya beranggotakan empat partai peraih kursi di DPR, dan bukan kelompok mayoritas di parlemen.

Namun sejak KMP—koalisi partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014—terlihat solid di parlemen dengan menyapu bersih kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan lainnya dengan diawali revisi UU MD3 yang tanpa hambatan sama sekali, agaknya Jokowi mulai goyah.

Di negeri dengan sistem presidensial kuasi parlementer, mengandalkan dukungan partai yang minimal dan hanya menyandarkan pada dukungan moral publik, berisiko menghadapi kendala dalam implementasi berbagai agenda kebijakan.

Kini koalisi partai pendukung Jokowi makin gemuk. Wajar jika anggota baru menuntut jatah, meski di luar bilang tanpa syarat. Rumus ‘tidak ada makan siang gratis’ tetap berlaku.

Kabarnya, banyak yang antre berdesakan masuk kabinet. Lalu siapa yang harus terdepak dari kabinet? Menteri dari kaum profesional jelas paling rentan.

Adakah koalisi yang tak lagi ramping justru berisiko membuat Jokowi makin lamban?

oleh Tomy Sasangka
disadur dari Bisnis, Kamis, 9 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar