Dari waktu ke
waktu, posisi Presiden Joko Widodo terus mengalami penguatan secara meyakinkan.
Terakhir, dengan merapatnya Partai Golkar dalam barisan pendukung pemerintah
dan sekaligus keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP), bisa dikatakan backup
politik kepada Jokowi relatif maksimum.
Dari 10 partai
politik yang memperoleh kursi di DPR pada Pemilu Legislatif 2014, praktis
tinggal tiga partai yang konsisten berada di luar pemerintahan, yaitu Partai
Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Demokrat
sendiri tetap berada di jalur ‘non blok’ seperti tekadnya sejak awal, sementara
Gerindra dan PKS pun masih setia menjadi pilar utama KMP, meski eksistensinya
makin melemah sejak ditinggalkan sejumlah anggotanya.
Di seberangnya,
Koalisi Indonesia Hebat (KIH)—koalisi pendukung Jokowi- Jusuf Kalla pada
Pilpres 2014—yang terdiri dari PDIP, Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
yang tidak memiliki keterwakilan di parlemen, juga mengalami dinamika
tersendiri.
Seusai pilpres,
pada Oktober 2014, PPP kubu Romahurmuzy menyatakan masuk menjadi barisan partai
pendukung pemerintah, meski kubu eks Ketua Umum PPP Suryadharma Ali tetap
ngotot berada di KMP.
Belakangan,
setelah mengalami pergulatan hukum dan politik yang sengit, dualisme itu
disudahi dengan muktamar islah di Asrama Haji Pondok Gede pada April lalu.
Romahurmuzy terpilih sebagai ketua umum meski menyisakan gugatan dan
perselisihan dengan Djan Faridz dkk, yang awalnya merupakan representasi kubu
mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang menjadi terpidana korupsi.
Akan halnya
Partai Amanat Nasional (PAN), putar haluan mendukung pemerintah pada September
2015, yang ditandai dengan pernyataan resmi Zulfkili Hasan, sang ketua umum
baru hasil Kongres PAN di Bali, usai bertemu Jokowi di Istana Negara. Intinya,
PAN merapat ke pemerintah demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.
Sejak PAN bergabung,
isu reshuffle atau perombakan kabinet gencar bergulir.
Namun, isu yang
sempat timbul tenggelam itu hingga kini belum terealisasi. Kabar burung
terakhir menyebutkan Jokowi akan mengeksekusi reshuffle jilid ke dua usai
Lebaran tahun ini. Benarkah?
Sejauh ini, PAN
baru mendapatkan ‘kompensasi’ kursi Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional
(KEIN) yang dijabat Soetrisno Bachir, mantan ketua umum PAN yang kembali masuk
gelanggang politik dengan posisi baru Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP)
PAN usai kongres di Bali. Dari awal, secara pribadi, Soetrisno memang mendukung
Jokowi di pilpres.
Lalu bagaimana
dengan Partai Golkar, yang sejak menggelar munas luar biasa di Bali medio Mei
lalu, secara blak-blakan menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-JK? Adakah
Golkar juga bakal mendapat ganjaran di kabinet?
Ketika Jokowi
masih ‘idealis’, suatu waktu tatkala kampanye pilpres, mantan Gubernur DKI
Jakarta itu pernah menginginkan koalisi ramping dan menghindari politik
transaksional alias dagang sapi. Alhasil, dia tak begitu risau KIH yang
belakangan ganti nama menjadi Kerja sama Partai Politik Pendukung Pemerintah,
hanya beranggotakan empat partai peraih kursi di DPR, dan bukan kelompok
mayoritas di parlemen.
Namun sejak
KMP—koalisi partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres
2014—terlihat solid di parlemen dengan menyapu bersih kursi pimpinan DPR dan
alat kelengkapan dewan lainnya dengan diawali revisi UU MD3 yang tanpa hambatan
sama sekali, agaknya Jokowi mulai goyah.
Di negeri
dengan sistem presidensial kuasi parlementer, mengandalkan dukungan partai yang
minimal dan hanya menyandarkan pada dukungan moral publik, berisiko menghadapi
kendala dalam implementasi berbagai agenda kebijakan.
Kini koalisi
partai pendukung Jokowi makin gemuk. Wajar jika anggota baru menuntut jatah,
meski di luar bilang tanpa syarat. Rumus ‘tidak ada makan siang gratis’ tetap
berlaku.
Kabarnya,
banyak yang antre berdesakan masuk kabinet. Lalu siapa yang harus terdepak dari
kabinet? Menteri dari kaum profesional jelas paling rentan.
Adakah koalisi
yang tak lagi ramping justru berisiko membuat Jokowi makin lamban?
oleh Tomy Sasangka
disadur dari Bisnis, Kamis, 9 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar