Istilah
bully atau rundung sebenarnya bukan hal yang baru. Anda mungkin sudah sering
mendengar istilah ini sejak kecil, atau jangan-jangan Anda pernah menjadi
korban atau justru pelaku bully
di zaman sekolah.
Tapi
apa sebenarnya yang tergolong bully
ini? Menurut definisi di Kamus Besar Bahasa Indonesia, rundung atau merundung
didefinisikan sebagai “mengganggu” atau “mengusik terus-menerus”.
Sementara
bully itu
sendiri bermacam-macam bentuknya. Mulai dari mengintimidasi seseorang, memberi
ancaman, mengejek seseorang, menyebarkan gosip, memberi julukan tertentu,
menyisihkan seseorang dari pergaulan, menjelek-jelekkan seseorang di
belakangnya, melecehkan, hingga perlakuan fisik, seperti melukai.
Dulu,
Anda mungkin mengenal bully
di sekolah atau saat kuliah, ketika siswa senior sering kali bertindak
semena-mena pada juniornya. Kegiatan ospek atau masa orientasi di sekolah maupun
kampus telah menjadi tradisi turun-temurun, sehingga tindakan itu dianggap
wajar.
Padahal,
bully memiliki
akibat yang mungkin tidak disadari oleh si pelaku. Mereka yang menjadi korban bully bisa merasa malu,
rendah diri, depresi, dendam, bahkan ada pula tindakan bullying yang menyebabkan
kematian.
Meski
telah banyak organisasi yang menyuarakan anti-bullying,
kenyataannya perilaku itu masih ada di sekitar kita. Kini, bully mulai bergeser. Bully tidak lagi dilakukan
di sekolah, di taman dekat rumah, atau di kampus. Bully justru banyak dilakukan di dunia maya.
Sebuah
studi di AS, misalnya, menemukan bahwa tindakan bunuh diri di kalangan remaja
meningkat dalam 15 tahun terakhir ini. Studi itu juga menunjukkan bahwa salah
satu faktor yang menyebabkan fenomena itu adalah kasus intimidasi di dunia maya
atau yang dikenal dengan cyberbullying.
Apa
saja perilaku cyberbullying
ini? Tentu banyak macamnya. Misalnya saja, ketika seseorang mengunggah foto
dirinya di media sosial, tapi dia justru mendapat komentar yang terkesan
mengejek, mencerca, atau lainnya. Hal tersebut termasuk dalam cyberbullying.
Contohnya
pun banyak. Lihat saja para selebriti, baik yang dari luar negeri maupun dalam
negeri. Coba intip akun media sosial mereka dan Anda tentu akan kaget begitu
banyak orang-orang yang melontarkan kata-kata tak menyenangkan. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa korban bully
tidak hanya mereka yang masih anak-anak, tapi banyak juga orang dewasa yang
menjadi korban, begitu pula pelakunya.
Banyak
dari mereka mungkin mengaku “hanya sekadar iseng” tanpa tahu bahwa apa yang
mereka lakukan itu merupakan cyberbullying.
Melakukan bully
pun tampak jadi lebih mudah. Lewat ketikan jari di ponsel saja, seseorang bisa
melakukan bully
pada orang lainnya yang bahkan tidak dia kenal atau belum pernah dia temui
sebelumnya.
Bukan
hanya selebriti, kalangan orang biasa atau mereka yang sebenarnya tidak
terkenal juga bisa jadi tenar gara-gara di-bully
di dunia maya.
Tentu
Anda masih ingat dengan video Sonya Depari, seorang siswi SMA yang videonya
beredar di dunia maya. Dalam video itu, Sonya yang mengenakan baju seragam SMA
terlihat membentak-bentak seorang polisi wanita, karena sang polisi
memberhentikan Sonya dan teman-temannya yang menyetir ugal-ugalan.
Usai
video itu beredar, puluhan bahkan ratusan netizen mencerca perilaku Sonya
tersebut. Efeknya sangat dramatis. Dalam kurang dari 2x24 jam, ayah Sonya
meninggal dunia. Banyak yang menduga ayahnya meninggal karena stres akibat
caci-maki yang bertubi-tubi di dunia maya.
Itu
hanya satu contoh saja, karena pada kenyataannya cyberbullying terjadi setiap saat dan
korbannya bisa siapa saja. Mungkin ada sebagian orang yang tak peduli saat
mendapatkan bully
di dunia maya, tapi tak sedikit pula yang merasakan akibatnya.
Cara
memberantas cyberbullying
tentu tidak mudah. Perlu keterlibatan dari banyak pihak, baik dari keluarga,
lingkungan sekitar, organisasi sosial masyarakat, hingga pemerintah.
Dengan
kemajuan teknologi saat ini, di mana semua orang bebas berpendapat, seharusnya
jangan melupakan juga nilai-nilai yang ada.
Kita
mungkin bisa memulainya dari keluarga kita sendiri. Bagaimana caranya mendidik
anak, agar mereka tidak menjadi korban bully
atau justru menjadi pelaku bully.
Jangan
sampai generasi penerus kita menjadi generasi bully, yang memiliki mental senang melihat
penderitaan orang lain.
Sebagai
teman, kita bisa saling mengingatkan untuk selalu berhati-hati dalam memberikan
komentar di media sosial. Kita memang punya kebebasan berbicara dan
berpendapat, tapi bukan berarti kita bisa seenaknya saja melontarkan pendapat
yang menyakiti atau merugikan orang lain.
Sudah
saatnya kita bersama-sama menghentikan bullying,
baik di kehidupan sehari-hari maupun di dunia maya.
oleh Andhina Wulandari
disadur dari Bisnis, Jum’at, 17 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar