Editors Picks

Jumat, 17 Juni 2016

Generasi Cyberbullying



Istilah bully atau rundung sebenarnya bukan hal yang baru. Anda mungkin sudah sering mendengar istilah ini sejak kecil, atau jangan-jangan Anda pernah menjadi korban atau justru pelaku bully di zaman sekolah.

Tapi apa sebenarnya yang tergolong bully ini? Menurut definisi di Kamus Besar Bahasa Indonesia, rundung atau merundung didefinisikan sebagai “mengganggu” atau “mengusik terus-menerus”.

Sementara bully itu sendiri bermacam-macam bentuknya. Mulai dari mengintimidasi seseorang, memberi ancaman, mengejek seseorang, menyebarkan gosip, memberi julukan tertentu, menyisihkan seseorang dari pergaulan, menjelek-jelekkan seseorang di belakangnya, melecehkan, hingga perlakuan fisik, seperti melukai.

Dulu, Anda mungkin mengenal bully di sekolah atau saat kuliah, ketika siswa senior sering kali bertindak semena-mena pada juniornya. Kegiatan ospek atau masa orientasi di sekolah maupun kampus telah menjadi tradisi turun-temurun, sehingga tindakan itu dianggap wajar.

Padahal, bully memiliki akibat yang mungkin tidak disadari oleh si pelaku. Mereka yang menjadi korban bully bisa merasa malu, rendah diri, depresi, dendam, bahkan ada pula tindakan bullying yang menyebabkan kematian.

Meski telah banyak organisasi yang menyuarakan anti-bullying, kenyataannya perilaku itu masih ada di sekitar kita. Kini, bully mulai bergeser. Bully tidak lagi dilakukan di sekolah, di taman dekat rumah, atau di kampus. Bully justru banyak dilakukan di dunia maya.

Sebuah studi di AS, misalnya, menemukan bahwa tindakan bunuh diri di kalangan remaja meningkat dalam 15 tahun terakhir ini. Studi itu juga menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan fenomena itu adalah kasus intimidasi di dunia maya atau yang dikenal dengan cyberbullying.

Apa saja perilaku cyberbullying ini? Tentu banyak macamnya. Misalnya saja, ketika seseorang mengunggah foto dirinya di media sosial, tapi dia justru mendapat komentar yang terkesan mengejek, mencerca, atau lainnya. Hal tersebut termasuk dalam cyberbullying.

Contohnya pun banyak. Lihat saja para selebriti, baik yang dari luar negeri maupun dalam negeri. Coba intip akun media sosial mereka dan Anda tentu akan kaget begitu banyak orang-orang yang melontarkan kata-kata tak menyenangkan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa korban bully tidak hanya mereka yang masih anak-anak, tapi banyak juga orang dewasa yang menjadi korban, begitu pula pelakunya.

Banyak dari mereka mungkin mengaku “hanya sekadar iseng” tanpa tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan cyberbullying. Melakukan bully pun tampak jadi lebih mudah. Lewat ketikan jari di ponsel saja, seseorang bisa melakukan bully pada orang lainnya yang bahkan tidak dia kenal atau belum pernah dia temui sebelumnya.

Bukan hanya selebriti, kalangan orang biasa atau mereka yang sebenarnya tidak terkenal juga bisa jadi tenar gara-gara di-bully di dunia maya.

Tentu Anda masih ingat dengan video Sonya Depari, seorang siswi SMA yang videonya beredar di dunia maya. Dalam video itu, Sonya yang mengenakan baju seragam SMA terlihat membentak-bentak seorang polisi wanita, karena sang polisi memberhentikan Sonya dan teman-temannya yang menyetir ugal-ugalan.

Usai video itu beredar, puluhan bahkan ratusan netizen mencerca perilaku Sonya tersebut. Efeknya sangat dramatis. Dalam kurang dari 2x24 jam, ayah Sonya meninggal dunia. Banyak yang menduga ayahnya meninggal karena stres akibat caci-maki yang bertubi-tubi di dunia maya.

Itu hanya satu contoh saja, karena pada kenyataannya cyberbullying terjadi setiap saat dan korbannya bisa siapa saja. Mungkin ada sebagian orang yang tak peduli saat mendapatkan bully di dunia maya, tapi tak sedikit pula yang merasakan akibatnya.

Cara memberantas cyberbullying tentu tidak mudah. Perlu keterlibatan dari banyak pihak, baik dari keluarga, lingkungan sekitar, organisasi sosial masyarakat, hingga pemerintah.

Dengan kemajuan teknologi saat ini, di mana semua orang bebas berpendapat, seharusnya jangan melupakan juga nilai-nilai yang ada.

Kita mungkin bisa memulainya dari keluarga kita sendiri. Bagaimana caranya mendidik anak,  agar mereka tidak menjadi korban bully atau justru menjadi pelaku bully
Jangan sampai generasi penerus kita menjadi generasi bully, yang memiliki mental senang melihat penderitaan orang lain.

Sebagai teman, kita bisa saling mengingatkan untuk selalu berhati-hati dalam memberikan komentar di media sosial. Kita memang punya kebebasan berbicara dan berpendapat, tapi bukan berarti kita bisa seenaknya saja melontarkan pendapat yang menyakiti atau merugikan orang lain. 

Sudah saatnya kita bersama-sama menghentikan bullying, baik di kehidupan sehari-hari maupun di dunia maya.

oleh Andhina Wulandari
disadur dari Bisnis, Jum’at, 17 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar