Hiruk
pikuk di seputar harga bahan pangan yang terjadi setiap menjelang Ramadan boleh
dibilang sudah menjadi penyakit menahun di negeri bernama Indonesia ini. Dari
komoditas bawang merah hingga daging sapi, semuanya berlomba-lomba mengerek harga.
Naik seenak udelnya.
Beginikah
cara bangsa ini menyambut bulan nan mulia tersebut? Sampai kapankah penyakit
tahunan ini dapat disembuhkan?
Kesannya,
kok, yang
namanya aktivitas berpuasa itu identik dengan meningkatnya konsumsi masyarakat.
Situasi seperti ini sungguh sulit dipahami, tapi sungguh-sungguh terjadi.
Padahal,
Ramadan alias Bulan Puasa merupakan periode di mana kelompok mayoritas di
negeri ini—ummat Islam—justru sedang melaksanakan ibadah shaum atawa berpuasa
sebulan penuh. Aktivitas shaum
tersebut sebermula semenjak merekahnya fajar
shadiq hingga terbenamnya Matahari di senja hari alias saat Maghrib
tiba.
Kalau
dilogika dengan akal sehat, berarti terjadi pengurangan minimal 29 atau 30 kali
porsi makan dari, katakanlah, 200 jutaan jiwa di negeri ini selama Ramadan,
dengan asumsi jumlah penduduk beragama Islam saat ini sekitar 80% dari total
populasi di negeri ini yang sekitar 250 jutaan jiwa itu.
Kalau
angka tadi masih dianggap kegedean, karena sebagian di antara umat Islam tadi
tidak ber puasa karena satu dan lain hal dari banyak alasan, okelah kita
berasumsi bahwa yang berpuasa sekitar 150 juta jiwa saja. Berarti dalam sebulan
terdapat ‘efisiensi’—bahasa lain untuk peng hematan—sebesar 4,5 miliar porsi
makan.
Jika
rata-rata setiap porsi makan per orang sekitar 122 gram, mengingat konsumsi
beras per kapita di Indonesia sebesar 133,8 kg per tahun, menurut data
Kementerian Pertanian, seharusnya terjadi penghematan sedikitnya 549 ton beras
selama Ramadan. Selain itu so
pasti terjadi penghematan lain, seperti daging, ikan, telur, sayur-mayur, dan
sebagainya.
Seharusnya,
secara hitungan makroekonomi, dampak yang terjadi adalah berkurangnya
permintaan atau demand
yang seharusnya pula bermuara pada penurunan harga berbagai komoditas bahan
pangan tersebut. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan justru bertolak
belakang. Setiap kali Ramadan datang menjelang, harga berbagai komoditas pangan
justru melonjak.
Harga
daging sapi, misalnya, naik gila-gilaan dari sekitar Rp80.000 per kg melesat ke
kisaran angkan Rp160.000 per kg. Bahkan di berbagai daerah, kenaikan harga
daging sapi itu benar-benar membikin kepala orang menggelenggeleng sendiri,
karena dapat mencapai Rp180.000 per kg.
Kalau
sudah demikian halnya, komoditas lauk-pauk lainnya pasti tinggal mengekor saja,
karena tingginya disparitas harga komoditas sati korps tadi. Har ga daging ayam
yang biasanya di bawah Rp30.000 per kg, kabarnya, sempat melonjak hingga di
atas Rp40.000 per kg. Demikian seterusnya.
Konon,
harga daging sapi di Indonesia itu merupakan yang termahal di seluruh muka
planet Bumi ini. Di sejumlah negara tetangga, harga daging sapi masih berada di
kisaran Rp60.000 hingga Rp85.000 per kg. Mungkin hanya kalah oleh harga daging
sapi jenis wagyu
atau kobe, yang merupakan konsumsi kelas premium.
Tapi,
kalau ditilik lebih jauh, persoalan harga daging sapi ini juga muncul pada
hari-hari di luar Ramadan dan sekitarnya. Alasan yang dikemukakan oleh berbagai
pihak terkait selalu berkisar pada rendahnya pasok ternak sapi di negeri ini,
yang tidak kunjung mampu memenuhi permintaan yang kian meningkat.
Populasi
Sapi
Simak,
misalnya, laporan Badan Pusat Statistik lima tahun silam yang mengklaim bahwa
populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,43 juta ekor, sedangkan kebutuhan
ketika itu hanya 2,5 juta hingga 3 juta ekor per tahun. Hal itu pun diamini
oleh Menteri Pertanian Suswono, yang saat itu menyatakan konsumsi daginga sapi
per kapita di negeri ini tergolong rendah, sekitar1,7 kg per kapita per tahun.
Mereka
lupa bahwa persediaan sapi sebanyak itu tersebar di seluruh negeri, dan
dipelihara dengan sistem tradisional, yakni satu keluarga petani hanya memiliki
maksimal 10 ekor. Karena tersebar di kandang-kandang petani itulah, mobilisasi
ternak sapi ini menjadi tidak efisien, karena mahalnya biaya transportasi
akibat konektivitas di negeri ini yang belum terintegrasi sepernuhnya, se
hingga jatuhnya ke end
consumer jadi mahal.
Beda
dengan sistem peternakan negeri jiran, dalam hal ini Australia, yang sudah
menggunakan sistem ranch dan memang
dirancang untuk kepentingan industri. Sapi mereka dalam jumlah ribuan terpusat
di beberapa ranch
dan ditunjang dengan sistem transportasi yang efisien. Sehingga, tidak heran
jika sapi dari Sumbawa, jatuhnya lebih mahal ke timbang dari kawasan North
Territory, Australia, meskipun jaraknya lebih jauh.
Pertanyaannya
sekarang adalah apa negeri ini tidak mampu menciptakan entrepreuneur di bidang industri peternakan—biar lebih enak
diomongkan, kita singkat saja sebagai entrepreuternak—yang andal sehingga dapat
menghasilkan daging dalam jumlah besar dan harga yang relatif lebih bersahabat
bagi warga dari kelompok marjinal sekalipun.
Bukankah
masih banyak tersedia lahan cukup luas di sekitar Jabodetabek yang sebenarnya
bisa dikembangkan untuk usaha peternakan tersebut—termasuk feedlotter alias
penggemukan—sehingga kita bisa swasembada daging, tidak selalu harus
grubyak-grubyuk mengimpor sapi dari negara lain.
Masalahnya,
untuk mengembangkan usaha skala industri itu, selalu saja terganjal berbagai
persoalan klasik, seperti pembebasan lahan, tingginya pungutan biaya, mahalnya
biaya buruh, dan banyak lagi sebab. Pemerintah memang sudah menerbitkan hingga
12 paket insentif berbisnis, tapi implementasi di lapangan seringkali masih
menggunakan tradisi lama.
Kita
tentu ingat bagaimana Menteri BUMN Dahlan Iskan yang begitu getol mendorong
sejumlah PT Perkebunan Nusantara untuk menjadi entrepreuternak sapi itu.
Karena, selain memiliki lahan teramat luas, proses penggemukan di lingkungan
perkebunan sawit sangat menguntungkan berkat pemanfaatan limbah tandan buah
segar yang tersedia secara melimpah itu.
Namun,
begitu ganti menteri, nyaris tak terdengar lagi kebijakan yang konon diharapkan
mampu mengurangi ketergantungan bangsa ini terhadap sapi impor. Seharusnya,
pemerintah justru yang menjadi pelopor bagi pengembangan entrepreuternak
nasional ini, yang bila perlu diberi insentif lebih besar lagi.
Bukankah
dengan makin memperbesar importasi ternak sapi seperti yang terjadi selama ini,
itu berarti secara tidak langsung bangsa ini yang menyubsidi peternak di negeri
orang?
Sambil
tetap mengembangkan dan memperbaiki berbagai infrastuktur nasional, guna
meningkatkan konektivitas di negeri ini, kalangan swasta maupun BUMN dapat
lebih menggalakkan penciptaan entrepreuternak nasional tersebut agar dalam
jangka panjang bangsa ini tidak disibukkan dengan bergejolaknya harga daging
yang seenak udelnya tadi.
Perlu
diingat juga bahwa lambat tapi pasti, konsumsi daging per kapita oleh bangsa
ini pasti lebih meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Anak-anak kita sudah pasti lebih doyan daging, mengingat gaya hidup yang
berkembang memang menuju ke sana. Tidak seperti generasi kita maupun
sebelumnya, yang cukup dengan tahu dan tempe.. kalaupun mengonsumsi daging, ya.. ala kadarnya.
Disadur
dari Bisnis, Jum’at, 17 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar