Editors Picks

Jumat, 17 Juni 2016

Menunggu Entrepreuternak Menggebrak



Hiruk pikuk di seputar harga bahan pangan yang terjadi setiap menjelang Ramadan boleh dibilang sudah menjadi penyakit menahun di negeri bernama Indonesia ini. Dari komoditas bawang merah hingga daging sapi, semuanya berlomba-lomba mengerek harga. Naik seenak udelnya.

Beginikah cara bangsa ini menyambut bulan nan mulia tersebut? Sampai kapankah penyakit tahunan ini dapat disembuhkan?

Kesannya, kok, yang namanya aktivitas berpuasa itu identik dengan meningkatnya konsumsi masyarakat. Situasi seperti ini sungguh sulit dipahami, tapi sungguh-sungguh terjadi.

Padahal, Ramadan alias Bulan Puasa merupakan periode di mana kelompok mayoritas di negeri ini—ummat Islam—justru sedang melaksanakan ibadah shaum atawa berpuasa sebulan penuh. Aktivitas shaum tersebut sebermula semenjak merekahnya fajar shadiq hingga terbenamnya Matahari di senja hari alias saat Maghrib tiba.

Kalau dilogika dengan akal sehat, berarti terjadi pengurangan minimal 29 atau 30 kali porsi makan dari, katakanlah, 200 jutaan jiwa di negeri ini selama Ramadan, dengan asumsi jumlah penduduk beragama Islam saat ini sekitar 80% dari total populasi di negeri ini yang sekitar 250 jutaan jiwa itu.

Kalau angka tadi masih dianggap kegedean, karena sebagian di antara umat Islam tadi tidak ber puasa karena satu dan lain hal dari banyak alasan, okelah kita berasumsi bahwa yang berpuasa sekitar 150 juta jiwa saja. Berarti dalam sebulan terdapat ‘efisiensi’—bahasa lain untuk peng hematan—sebesar 4,5 miliar porsi makan.

Jika rata-rata setiap porsi makan per orang sekitar 122 gram, mengingat konsumsi beras per kapita di Indonesia sebesar 133,8 kg per tahun, menurut data Kementerian Pertanian, seharusnya terjadi penghematan sedikitnya 549 ton beras selama Ramadan. Selain itu so pasti terjadi penghematan lain, seperti daging, ikan, telur, sayur-mayur, dan sebagainya.

Seharusnya, secara hitungan makroekonomi, dampak yang terjadi adalah berkurangnya permintaan atau demand yang seharusnya pula bermuara pada penurunan harga berbagai komoditas bahan pangan tersebut. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan justru bertolak belakang. Setiap kali Ramadan datang menjelang, harga berbagai komoditas pangan justru melonjak.

Harga daging sapi, misalnya, naik gila-gilaan dari sekitar Rp80.000 per kg melesat ke kisaran angkan Rp160.000 per kg. Bahkan di berbagai daerah, kenaikan harga daging sapi itu benar-benar membikin kepala orang menggelenggeleng sendiri, karena dapat mencapai Rp180.000 per kg.

Kalau sudah demikian halnya, komoditas lauk-pauk lainnya pasti tinggal mengekor saja, karena tingginya disparitas harga komoditas sati korps tadi. Har ga daging ayam yang biasanya di bawah Rp30.000 per kg, kabarnya, sempat melonjak hingga di atas Rp40.000 per kg. Demikian seterusnya.

Konon, harga daging sapi di Indonesia itu merupakan yang termahal di seluruh muka planet Bumi ini. Di sejumlah negara tetangga, harga daging sapi masih berada di kisaran Rp60.000 hingga Rp85.000 per kg. Mungkin hanya kalah oleh harga daging sapi jenis wagyu atau kobe, yang merupakan konsumsi kelas premium.

Tapi, kalau ditilik lebih jauh, persoalan harga daging sapi ini juga muncul pada hari-hari di luar Ramadan dan sekitarnya. Alasan yang dikemukakan oleh berbagai pihak terkait selalu berkisar pada rendahnya pasok ternak sapi di negeri ini, yang tidak kunjung mampu memenuhi permintaan yang kian meningkat.

Populasi Sapi
Simak, misalnya, laporan Badan Pusat Statistik lima tahun silam yang mengklaim bahwa populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,43 juta ekor, sedangkan kebutuhan ketika itu hanya 2,5 juta hingga 3 juta ekor per tahun. Hal itu pun diamini oleh Menteri Pertanian Suswono, yang saat itu menyatakan konsumsi daginga sapi per kapita di negeri ini tergolong rendah, sekitar1,7 kg per kapita per tahun.
Mereka lupa bahwa persediaan sapi sebanyak itu tersebar di seluruh negeri, dan dipelihara dengan sistem tradisional, yakni satu keluarga petani hanya memiliki maksimal 10 ekor. Karena tersebar di kandang-kandang petani itulah, mobilisasi ternak sapi ini menjadi tidak efisien, karena mahalnya biaya transportasi akibat konektivitas di negeri ini yang belum terintegrasi sepernuhnya, se hingga jatuhnya ke end consumer jadi mahal.

Beda dengan sistem peternakan negeri jiran, dalam hal ini Australia, yang sudah menggunakan sistem ranch dan memang dirancang untuk kepentingan industri. Sapi mereka dalam jumlah ribuan terpusat di beberapa ranch dan ditunjang dengan sistem transportasi yang efisien. Sehingga, tidak heran jika sapi dari Sumbawa, jatuhnya lebih mahal ke timbang dari kawasan North Territory, Australia, meskipun jaraknya lebih jauh.

Pertanyaannya sekarang adalah apa negeri ini tidak mampu menciptakan entrepreuneur di bidang industri peternakan—biar lebih enak diomongkan, kita singkat saja sebagai entrepreuternak—yang andal sehingga dapat menghasilkan daging dalam jumlah besar dan harga yang relatif lebih bersahabat bagi warga dari kelompok marjinal sekalipun.

Bukankah masih banyak tersedia lahan cukup luas di sekitar Jabodetabek yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk usaha peternakan tersebut—termasuk feedlotter alias penggemukan—sehingga kita bisa swasembada daging, tidak selalu harus grubyak-grubyuk mengimpor sapi dari negara lain.

Masalahnya, untuk mengembangkan usaha skala industri itu, selalu saja terganjal berbagai persoalan klasik, seperti pembebasan lahan, tingginya pungutan biaya, mahalnya biaya buruh, dan banyak lagi sebab. Pemerintah memang sudah menerbitkan hingga 12 paket insentif berbisnis, tapi implementasi di lapangan seringkali masih menggunakan tradisi lama.

Kita tentu ingat bagaimana Menteri BUMN Dahlan Iskan yang begitu getol mendorong sejumlah PT Perkebunan Nusantara untuk menjadi entrepreuternak sapi itu. Karena, selain memiliki lahan teramat luas, proses penggemukan di lingkungan perkebunan sawit sangat menguntungkan berkat pemanfaatan limbah tandan buah segar yang tersedia secara melimpah itu.

Namun, begitu ganti menteri, nyaris tak terdengar lagi kebijakan yang konon diharapkan mampu mengurangi ketergantungan bangsa ini terhadap sapi impor. Seharusnya, pemerintah justru yang menjadi pelopor bagi pengembangan entrepreuternak nasional ini, yang bila perlu diberi insentif lebih besar lagi.

Bukankah dengan makin memperbesar importasi ternak sapi seperti yang terjadi selama ini, itu berarti secara tidak langsung bangsa ini yang menyubsidi peternak di negeri orang?

Sambil tetap mengembangkan dan memperbaiki berbagai infrastuktur nasional, guna meningkatkan konektivitas di negeri ini, kalangan swasta maupun BUMN dapat lebih menggalakkan penciptaan entrepreuternak nasional tersebut agar dalam jangka panjang bangsa ini tidak disibukkan dengan bergejolaknya harga daging yang seenak udelnya tadi.

Perlu diingat juga bahwa lambat tapi pasti, konsumsi daging per kapita oleh bangsa ini pasti lebih meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidup masyarakat. Anak-anak kita sudah pasti lebih doyan daging, mengingat gaya hidup yang berkembang memang menuju ke sana. Tidak seperti generasi kita maupun sebelumnya, yang cukup dengan tahu dan tempe.. kalaupun mengonsumsi daging, ya.. ala kadarnya.

Disadur dari Bisnis, Jum’at, 17 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar