Penjajahan selama 350 tahun oleh Belanda plus 3,5 tahun
oleh Jepang ternyata sangat membekas buruk dalam benak rata-rata orang
Indonesia.
Setelah lebih dari 70 tahun merdeka, jangankan rakyat
biasa, di kalangan tokoh pemimpin bahkan masih kelihatan rasa minder pada
segala sesuatu yang "asing". Yang memprihatinkan adalah ide bahwa
pendidikan universiter sebaiknya dipimpin rektor asing supaya pendidikan tinggi
Indonesia mampu bersaing di kelas dunia. Dulu kita dikejutkan oleh niat
pemerintah mendirikan "sekolah menengah internasional", kini lahir
ide tak kalah aneh mengenai sanjungan pada "rektor asing".
Orang asing yang menawarkan diri berkarya di negeri
terbelakang, seperti Indonesia, karena dia tidak laku di negerinya sendiri.
Kalau dia memang ahli di bidangnya, dia akan dipekerjakan oleh pemerintah atau
masyarakatnya sendiri. Kalau ada orang asing yang kelihatan "mampu"
menduduki suatu jabatan internasional, sekarang ini bukan lagi berdasarkan
kapasitas kinerja dan reputasi akademis pribadi, tetapi lebih banyak karena backing negaranya yang terkenal adikuasa
dalam percaturan politik dan ekonomi antarbangsa. Jadi, kemampuan bersaing
adalah fungsi dari banyak faktor. Hal ini juga berlaku, lebih-lebih, di sektor
swasta. Setelah kontraknya habis dan pulang kembali ke negeri asalnya, dia baru
menjadi "tenaga ahli". Sebelumnya di sini dia hanya latihan untuk
berkeahlian.
Ide persaingan itu sendiri dikembangkan dalam term "globalisasi" oleh
bangsa- bangsa maju dalam teknologi. Globalisasi berasumsi rakyat dari semua
bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam progres dari teknologi baru dan
berdasarkan kelebihan teknologisnya berhak mengeksploitasi sumber-sumber alam
di mana pun. Jadi, kita sudah diindoktrinasi mengakui kebenaran satu ide
ultra-liberal, yaitu mereka bebas bersaing dengan kita dalam memanfaatkan
kekayaan Ibu Pertiwi.
Adapun julukan "kelas dunia" dari pendidikan
tinggi sudah ada ukuran esensialnya, yaitu kemampuan mengembangkan ilmu
pengetahuan melalui kobaran semangat ilmiah di kalangan para mahasiswanya.
Dengan kata lain, universitas/institut dipuji karena ia berhasil jadi pusat
unggulan (centre of excellence) dari
ilmu pengetahuan dan anaknya, teknologi.
Genealogi ilmu
pengetahuan
Harus diakui, pendidikan tinggi Indonesia belum berhasil
mengembangkan mahasiswa yang terbaik dan yang terbaik dalam diri anak didiknya
dalam penguasaan ilmu pengetahuan, apalagi penghayatan semangat ilmiah.
Kenyataan pahit ini disebabkan pemahaman keliru dari para dosen tentang pengertian
yang korek dari ilmu pengetahuan, bukan oleh ketidakadaan rektor asing. Ilmu
pengetahuan bukanlah sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang
terbentuk dalam proses pembelajaran ilmiah, pengetahuan yang dibesarkan dan
dipupuk oleh integritas dan nilai serta semangat ilmiah.
Apabila bertepuk membutuhkan dua telapak tangan,
keberadaan ilmu pengetahuan memerlukan paling sedikit dua pemikir. Ia tampil
hanya dalam konteks komunikasi antara individu yang menulis dan individu yang
membaca, antara orang yang memakai idiom keterpelajaran dalam mencatat
observasinya dan orang yang menganggap catatan-catatan tersebut cukup menarik.
Ilmu pengetahuan modern memang diakui sebagai bentuk kontemporer yang dominan
dari communicable knowledge.
Komunikasi yang sedang berlaku dari pengetahuan ini merupakan suatu tradisi
akademis yang biasa stagnan, keliru, maju atau sangat maju.
Kemajuan ini meniscayakan adanya satu cara pembelajaran
yang khas karena tidak terjadi begitu saja tanpa disengaja. Ia tidak bagai nova
menyendiri di langit, kata Prof Shigeru Nakayama, yang muncul dan kemudian
tiba-tiba menghilang menurut sekehendaknya.
Perkembangan genealogis ilmu pengetahuan dapat
digambarkan sebagai lapisan-lapisan fakta dan kejadian. Inti dari lapisan ini
berupa pembentukan teori ilmiah. Ia tampil sebagai tabel-tabel kronologis dan
catatan-catatan tentang invensi dan penemuan. Inti awal ini langsung dilapisi
oleh dunia pemikiran dan kegiatan riset dari mana lahir teori-teori tadi. Di
luar "sejarah intelektual dari ilmu pengetahuan" ini terdapat lapisan
ketiga berupa lingkungan profesional dan vokasional di mana ilmuwan
melaksanakan panggilan hidupnya sehari-hari; kelompok riset dan kluster tempat
dia bergabung, asosiasi akademis di mana dia tergolong, universitas/institut
dengan mana dia berasosiasi. Lapisan ini bisa disebut infrastruktur akademis.
Akhirnya ada lapisan terluar, yang tak lain adalah masyarakat luas.
Lapisan-lapisan pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan ilmuwan perlu dikemukakan di sini agar kita mengetahui
kelalaian kita dalam membangun sistem pembelajaran ilmu pengetahuan selama ini.
Kita cenderung menganggap ada hubungan langsung antara perkembangan teori yang
diwakili oleh inti genealogi keilmuan dengan masyarakat luas dan mengabaikan
unsur-unsur antaranya. Dengan demikian kita tidak menyadari bahwa pertumbuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat diwujudkan kecuali ada
usaha-usaha khas yang relevan dan serius untuk "menghidupkan"
unsur-unsur tadi, lebih-lebih yang disebut infrastruktur akademis.
Keseluruhan unsur tersebut adalah "komunitas
ilmiah", yang eksistensinya merupakan basis sosial determinatif baik bagi
penggeloraan semangat ilmiah di kalangan sivitas akademis kampus ataupun bagi
pemahaman yang benar dari masyarakat luas pengguna ilmu pengetahuan tentang
makna sejati dari kampus.
Genealogi ilmu pengetahuan, berdasarkan nature dari subject matters yang dikajinya, menanggapi pengetahuan ilmiah
sebagai suatu "gejala sosial". Capaian intelektual khas ini bukan
produk suatu masyarakat khas, tetapi dari suatu cara pembelajaran khas, yaitu
membuat pengetahuan selaku komunikasi, merupakan medium sosial di mana
pengetahuan ini dipolakan, melalui mana ia dikembangkan, dan dengan mana ia
ditransmisikan di kalangan orang-orang yang sama-sama terlibat dalam
penyelidikan yang serius.
Komunitas ilmiah
Setiap komunitas nasional terdiri atas berbagai
subkomunitas: ilmiah, politik, bisnis, religius, artistik, komunikasi, dan
lain-lain. Semua subkomunitas itu bukanlah berupa ruang hidup yang konkret,
melainkan substansi yang abstrak dan metafisis ala wacana sosiologis
Durkhemian. Meski demikian, sejarah peradaban dunia membuktikan bahwa kehadiran
komunitas ilmiah ternyata sangat menentukan progres kehidupan human karena ia adalahmindset yang
menentukan jenis sikap manusia. Jadi ia yang paling menentukan manusia menjadi
lebih layak (to be more). Maka, bila
segala sesuatu berawal dalam pikiran, di dalam pikiran itulah harus dibangun
unsur-unsur progres yang diniscayakan bagi human
survival.
Justru komunitas ilmiah ini yang relatif terlemah di
antara komunitas lainnya, terombang-ambing jadi permainan komunitas politik dan
komunitas bisnis, tereduksi hanya menjadi pemberi gelar Dr HC. Keadaan ini
harus distop. Pendidikan tinggi terpanggil untuk membangun dan mengembangkan
komunitas ilmiah karena ia adalah habitat yang diniscayakan oleh kehidupan
keilmuan.
Tugas akademis ini jelas tidak gampang. Ia memerlukan
serangkaian organisasi yang relevan: ikatan kesarjanaan, lembaga riset,
perpustakaan umum, kegemaran membaca, pembawaan kritis, dan lain-lain. Bila
rangkaian organisasi itu terlaksana sesuai yang diharapkan, ilmu pengetahuan
tampil berupa pengorganisasian pengetahuan yang lebih mampu menguasai potensi
yang tersembunyi dalam alam. Pengertian ilmiah dari ilmu pengetahuan ini
sekaligus teoretis dan praktis, tidak membuat garis tebal pemisah antara
pengetahuan ilmiah dan penggunaannya, antara lain murni dan ilmu terapan.
Definisi tersebut mencakup mulai kinetic
theory of gases dan telepon seluler hingga jalan layang dan jembatan
gantung serta pasta gigi yang mengandung obat.
Integritas ilmiah
Bersamaan upaya pendidikan tinggi tersebut di atas,
sivitas akademis diniscayakan menghayati integritas ilmiah. Pertama,
membiasakan diri menilai karya ilmiah sesama dosen/ilmuwan berdasarkan preestablished impersonal criteria.
Kedua, pengetahuan ilmiah terbuka untuk umum,
dimasyarakatkan.
Ketiga, ilmuwan melaksanakan tugas khusus warga andalan
dari negara-bangsa di mana dia tergolong.
Keempat, ilmuwan yang juga berkarya di bidang pendidikan
perlu bertemu secara berkala, lebih-lebih di antara rekan dari disiplin ilmiah
yang berbeda, bertukar pikiran.
Kelima, memenuhi tugas ilmuwan selaku warga negara
andalan, yaitu menilai ilmu yang ditekuninya dengan asas-asas Pancasila. Ilmu
pengetahuan memang tidak bebas nilai. There
is no such thing as a "value-free science", walaupun tugas utama
ilmu pengetahuan tetap menemukan explanatory
truth, bisa diulang oleh orang lain di tempat lain selama dalam kondisi
yang sama.
Kehidupan kita memang berada di tengah-tengah arus
perubahan. Namun, perubahan ini tidak boleh menyilaukan kita hingga kehilangan
martabat. We may lose every thing but our
honour. Dan, usul menyerahkan pimpinan pendidikan tinggi kepada
"rektor asing" telah melecehkan martabat ini. Jangan main-main dengan
pendidikan sebab ia yang paling menentukan masa depan Indonesia. Para rektor
Indonesia, bangkitlah! Anda sudah dilecehkan oleh penguasa Anda sendiri.
Ketahuilah bahwa di masa penjajahan Belanda dulu, Willem Iskander, Moh Syafei,
dan Ki Hajar Dewantara sudah berani dan mampu membangun sistem pendidikan
nasional berhadapan dengan sistem pendidikan kolonial yang berlaku.
oleh Daoed Joesoef
disadur dari Kompas, Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar