Pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan seiring dengan
pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Tiongkok. Pertumbuhan triwulan
pertama, yaitu 4,92 persen, lebih rendah daripada perkiraan banyak pihak.
Bank Indonesia menurunkan proyeksinya untuk pertumbuhan
dari 5,2%-5,6% menjadi 5-5,4%. Sementara Menteri Keuangan bersikukuh
pertumbuhan akan mencapai 5,3% sesuai dengan asumsi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Namun, kesepakatan di Badan Anggaran DPR menetapkan
asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN-P menjadi 5,2%. Banyak pihak memperkirakan
pertumbuhan hanya sekitar 5%.
Pertumbuhan dan
kredit
Penglihatan secara parsial menunjukkan, pertumbuhan
ekonomi sekitar 6% dapat dicapai dengan pertumbuhan kredit sekitar 20-an
persen. Pada triwulan pertama pertumbuhan kredit hanya 8,7% yang bersesuaian
dengan pertumbuhan ekonomi 4,92%. Jika pertumbuhan kredit tahun 2016 ini
sekitar 12 persen seperti yang dikehendaki Otoritas Jasa Keuangan atau 11% yang
diprediksi BI, maka pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5%.
Upaya BI dengan menurunkan BI Rate ke tingkatan sekarang
ini, 6,75%, menurunkan GWM (giro wajib minimum) dan akan melonggarkan lagi LTV
(loan to value ratio) atau menurunkan
uang muka pinjaman rumah dan kendaraan bermotor, kemungkinan hanya akan membuat
pertumbuhan kredit sekitar 11%. Dengan kecenderungan NPL (kredit macet) yang
meningkat, sekarang ini 2,8% masih dalam posisi aman, dan prospek ekonomi yang
belum menjanjikan, perbankan juga belum akan meningkatkan alokasi kredit secara
signifikan, kecuali mungkin bank-bank BUMN yang didorong pemerintah untuk
meningkatkan kreditnya.
Pertumbuhan dan
investasi
Pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya didukung oleh
pertumbuhan investasi yang tinggi pula. Untuk pertumbuhan ekonomi sekitar 6%,
pertumbuhan investasi haruslah sekitar 10%. Dengan pertumbuhan investasi 5,49%
pada triwulan pertama, maka bersesuaian dengan pertumbuhan ekonomi yang 4,92%.
Investasi bisa berasal dari luar (PMA) maupun dalam negeri (PMDN).
Dengan sifat konservatif perbankan dalam menyalurkan
kredit, PMDN sulit diharapkan untuk tumbuh tinggi. PMDN pada umumnya ada di
sektor manufaktur, konstruksi, dan properti. Dengan melambatnya pertumbuhan
manufaktur dan properti, sekalipun pertumbuhan konstruksi masih tinggi,
pertumbuhan kredit perbankan ke sektor tersebut juga tidaklah tumbuh tinggi.
Maka, harapan ada pada PMA yang dibiayai dengan dana dari
luar negeri. Dengan suku bunga rendah di luar negeri, semestinya PMA masih
dapat ditingkatkan untuk tumbuh pada tingkat yang tinggi. Untuk
memfasilitasinya dibutuhkan keterbukaan kebijakan ekonomi, regulasi yang
mendukung, dan insentif, khususnya pajak.
Pemerintah dengan paket kebijakannya yang sudah mencapai
12 paket pada umumnya adalah untuk memfasilitasi investasi. Hanya saja, paket
kebijakan terlalu meluas dan kurang fokus, serta lamban dalam implementasinya.
Dalam Paket Kebijakan Sepuluh yang berkaitan dengan
pelonggaran daftar negatif investasi (DNI) tidak begitu jelas prioritasnya dan
bahkan untuk peran serta investasi domestik pun menjadi terkait dengan PMA.
Semestinya fokuskan pada sektor tertentu di mana Indonesia punya daya tarik
yang tinggi dan sejalan dengan transformasi ekonomi, seperti manufaktur dan
infrastruktur. Fokus yang jelas juga mengurangi resistensi kepentingan dalam
negeri terhadap keterbukaan modal asing.
Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
dan stimulasi perekonomian secara umum menghadapi ancaman dengan tidak
tercapainya penerimaan pajak. Sejauh ini pemerintah bertekad tidak mengurangi
belanja investasi, tetapi jika target penerimaan jauh dari target, pembangunan
infrastruktur menghadapi ancaman untuk tertunda. Penundaan belanja modal
pemerintah tentu berakibat pada pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Ketidakpastian
global
Perekonomian dunia tampaknya masih belum akan mengalami
perbaikan yang signifikan. Bahkan Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan
ekonomi dunia menjadi 2,4%. Sementara itu, bank sentral di negara maju masih
bertahan pada kebijakan moneter dengan bunga nol, dan bahkan negatif di
beberapa negara.
Rencana bank sentral AS menaikkan suku bunga tentu
berakibat pada aliran modal keluar yang melemahkan nilai rupiah. Pertumbuhan
ekonomi Tiongkok hanya sekitar 6,7% dengan risiko cukup tinggi berkaitan dengan
besarnya utang korporasi.
Jadi, kondisi global masih tidak kondusif dalam
memfasilitasi pertumbuhan nasional. Bahkan risiko eksternal mengalami
peningkatan, terutama berkaitan dengan pelambatan pertumbuhan Tiongkok, harga
komoditas, dan rencana The Fed menaikkan suku bunga.
Risiko sektor keuangan di negara berkembang lebih tinggi
dibandingkan dengan negara maju, khususnya berkaitan dengan kecenderungan utang
luar negeri, terutama korporasi yang meningkat pesat dan pelambatan pertumbuhan
kredit. Utang luar negeri korporasi Indonesia sekitar 165 miliar dollar AS,
melebihi utang luar negeri pemerintah. Utang luar negeri korporasi di negara
berkembang lain jauh lebih tinggi baik secara absolut maupun relatif terhadap
produk domestik bruto (PDB). Utang korporasi Tiongkok sekitar 145% dari
PDB-nya.
Dalam situasi seperti ini ekspor cenderung masih negatif.
Namun, PMA masih bisa diharapkan tumbuh lebih tinggi. Investor asing, terutama
dari Asia-khususnya Jepang dan Korea, juga Tiongkok-punya minat besar untuk
berinvestasi di Indonesia. Hanya saja, kepercayaan terhadap regulasi yang memberikan
kepastian dan insentif untuk investasi belumlah terlalu kuat.
Reformasi
struktural
Menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% semata dapat
mengabaikan pentingnya reformasi struktural yang membuat ekonomi lebih efisien
dan produktif. Paket kebijakan tentunya harus terfokus pada reformasi
struktural ini. Namun, jika jangkauannya terlalu luas, justru akan kehilangan
fokus dan kurang efektif.
Fokus dari reformasi struktural adalah pada deregulasi
yang memfasilitasi dan mendorong investasi, memfasilitasi transformasi industri
manufaktur yang kompetitif dan terintegrasi dengan globalvalue chain, dan
meningkatkan produktivitas pekerja. Reformasi struktural ini harus menyentuh
juga ekonomi tingkat mikro, di mana perusahaan punya neraca keuangan yang kuat
dan fokus usaha yang jelas. Jika tidak, kebijakan makro hanya bersifat di
permukaan dan kurang efektif dalam mendukung pertumbuhan dan daya saing.
oleh Umar Juoro
disadur dari Kompas, Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar