Editors Picks

Rabu, 22 Juni 2016

Pertumbuhan Ekonomi, Kredit, dan Investasi



Pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan seiring dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Tiongkok. Pertumbuhan triwulan pertama, yaitu 4,92 persen, lebih rendah daripada perkiraan banyak pihak.

Bank Indonesia menurunkan proyeksinya untuk pertumbuhan dari 5,2%-5,6% menjadi 5-5,4%. Sementara Menteri Keuangan bersikukuh pertumbuhan akan mencapai 5,3% sesuai dengan asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, kesepakatan di Badan Anggaran DPR menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN-P menjadi 5,2%. Banyak pihak memperkirakan pertumbuhan hanya sekitar 5%.

Pertumbuhan dan kredit
Penglihatan secara parsial menunjukkan, pertumbuhan ekonomi sekitar 6% dapat dicapai dengan pertumbuhan kredit sekitar 20-an persen. Pada triwulan pertama pertumbuhan kredit hanya 8,7% yang bersesuaian dengan pertumbuhan ekonomi 4,92%. Jika pertumbuhan kredit tahun 2016 ini sekitar 12 persen seperti yang dikehendaki Otoritas Jasa Keuangan atau 11% yang diprediksi BI, maka pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5%.

Upaya BI dengan menurunkan BI Rate ke tingkatan sekarang ini, 6,75%, menurunkan GWM (giro wajib minimum) dan akan melonggarkan lagi LTV (loan to value ratio) atau menurunkan uang muka pinjaman rumah dan kendaraan bermotor, kemungkinan hanya akan membuat pertumbuhan kredit sekitar 11%. Dengan kecenderungan NPL (kredit macet) yang meningkat, sekarang ini 2,8% masih dalam posisi aman, dan prospek ekonomi yang belum menjanjikan, perbankan juga belum akan meningkatkan alokasi kredit secara signifikan, kecuali mungkin bank-bank BUMN yang didorong pemerintah untuk meningkatkan kreditnya.

Pertumbuhan dan investasi
Pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya didukung oleh pertumbuhan investasi yang tinggi pula. Untuk pertumbuhan ekonomi sekitar 6%, pertumbuhan investasi haruslah sekitar 10%. Dengan pertumbuhan investasi 5,49% pada triwulan pertama, maka bersesuaian dengan pertumbuhan ekonomi yang 4,92%. Investasi bisa berasal dari luar (PMA) maupun dalam negeri (PMDN).

Dengan sifat konservatif perbankan dalam menyalurkan kredit, PMDN sulit diharapkan untuk tumbuh tinggi. PMDN pada umumnya ada di sektor manufaktur, konstruksi, dan properti. Dengan melambatnya pertumbuhan manufaktur dan properti, sekalipun pertumbuhan konstruksi masih tinggi, pertumbuhan kredit perbankan ke sektor tersebut juga tidaklah tumbuh tinggi.

Maka, harapan ada pada PMA yang dibiayai dengan dana dari luar negeri. Dengan suku bunga rendah di luar negeri, semestinya PMA masih dapat ditingkatkan untuk tumbuh pada tingkat yang tinggi. Untuk memfasilitasinya dibutuhkan keterbukaan kebijakan ekonomi, regulasi yang mendukung, dan insentif, khususnya pajak.

Pemerintah dengan paket kebijakannya yang sudah mencapai 12 paket pada umumnya adalah untuk memfasilitasi investasi. Hanya saja, paket kebijakan terlalu meluas dan kurang fokus, serta lamban dalam implementasinya.

Dalam Paket Kebijakan Sepuluh yang berkaitan dengan pelonggaran daftar negatif investasi (DNI) tidak begitu jelas prioritasnya dan bahkan untuk peran serta investasi domestik pun menjadi terkait dengan PMA. Semestinya fokuskan pada sektor tertentu di mana Indonesia punya daya tarik yang tinggi dan sejalan dengan transformasi ekonomi, seperti manufaktur dan infrastruktur. Fokus yang jelas juga mengurangi resistensi kepentingan dalam negeri terhadap keterbukaan modal asing.

Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan stimulasi perekonomian secara umum menghadapi ancaman dengan tidak tercapainya penerimaan pajak. Sejauh ini pemerintah bertekad tidak mengurangi belanja investasi, tetapi jika target penerimaan jauh dari target, pembangunan infrastruktur menghadapi ancaman untuk tertunda. Penundaan belanja modal pemerintah tentu berakibat pada pelemahan pertumbuhan ekonomi.

Ketidakpastian global
Perekonomian dunia tampaknya masih belum akan mengalami perbaikan yang signifikan. Bahkan Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,4%. Sementara itu, bank sentral di negara maju masih bertahan pada kebijakan moneter dengan bunga nol, dan bahkan negatif di beberapa negara.

Rencana bank sentral AS menaikkan suku bunga tentu berakibat pada aliran modal keluar yang melemahkan nilai rupiah. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok hanya sekitar 6,7% dengan risiko cukup tinggi berkaitan dengan besarnya utang korporasi.

Jadi, kondisi global masih tidak kondusif dalam memfasilitasi pertumbuhan nasional. Bahkan risiko eksternal mengalami peningkatan, terutama berkaitan dengan pelambatan pertumbuhan Tiongkok, harga komoditas, dan rencana The Fed menaikkan suku bunga.

Risiko sektor keuangan di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, khususnya berkaitan dengan kecenderungan utang luar negeri, terutama korporasi yang meningkat pesat dan pelambatan pertumbuhan kredit. Utang luar negeri korporasi Indonesia sekitar 165 miliar dollar AS, melebihi utang luar negeri pemerintah. Utang luar negeri korporasi di negara berkembang lain jauh lebih tinggi baik secara absolut maupun relatif terhadap produk domestik bruto (PDB). Utang korporasi Tiongkok sekitar 145% dari PDB-nya.

Dalam situasi seperti ini ekspor cenderung masih negatif. Namun, PMA masih bisa diharapkan tumbuh lebih tinggi. Investor asing, terutama dari Asia-khususnya Jepang dan Korea, juga Tiongkok-punya minat besar untuk berinvestasi di Indonesia. Hanya saja, kepercayaan terhadap regulasi yang memberikan kepastian dan insentif untuk investasi belumlah terlalu kuat.

Reformasi struktural
Menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% semata dapat mengabaikan pentingnya reformasi struktural yang membuat ekonomi lebih efisien dan produktif. Paket kebijakan tentunya harus terfokus pada reformasi struktural ini. Namun, jika jangkauannya terlalu luas, justru akan kehilangan fokus dan kurang efektif.

Fokus dari reformasi struktural adalah pada deregulasi yang memfasilitasi dan mendorong investasi, memfasilitasi transformasi industri manufaktur yang kompetitif dan terintegrasi dengan globalvalue chain, dan meningkatkan produktivitas pekerja. Reformasi struktural ini harus menyentuh juga ekonomi tingkat mikro, di mana perusahaan punya neraca keuangan yang kuat dan fokus usaha yang jelas. Jika tidak, kebijakan makro hanya bersifat di permukaan dan kurang efektif dalam mendukung pertumbuhan dan daya saing.

oleh Umar Juoro
disadur dari Kompas, Rabu, 22 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar