Kamis
(23/6) merupakan hari besar bagi warga Inggris. Pasalnya, negara mereka akan
menggelar referendum untuk menentukan posisi keanggotaan Inggris di Uni Eropa.
Istilah yang kemudian beredar untuk peristiwa ini adalah Brexit (British Exit) dan Bremain (British Remain).
Nah,
hasil dari referendum ini akan diumumkan sehari setelah pelaksanaan referendum
yakni Jumat (24/6) pagi waktu London.
Tidak
seperti pemilihan lainnya, tidak ada hasil jajak pendapat resmi yang dirilis.
Dan hanya ada sedikit data historis yang dapat digunakan untuk digunakan
sebagai perbandingan.
Kendati
demikian, para akademisi sudah membuat sejumlah estimasi yang didasarkan pada faktor
ekonomi sosial yang memungkinkan mereka untuk memproyeksikan dampak hasil
referendum bagi Inggris.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Jika
rakyat Inggris benar-benar memilih untuk hengkang dari Uni Eropa, maka Perdana
Menteri David Cameron hampir dipastikan akan menyampaikan pernyataan pada Jumat
pagi. Tempatnya kemungkinan besar di 10 Dawning Street.
Cameron
diprediksi akan berpidato sebelum pasar saham Inggris dibuka pada pukul 8.00
pagi dan sebelum pimpinan Eropa lainnya mulai memberikan respon.
Sebelumnya,
Cameron sudah menegaskan bahwa dirinya tidak akan membuang banyak waktu untuk
mengaktivasi Article 50
dari Kesepakatan Lisbon yang memperbolehkan negara anggota memberitahukan Uni
Eropa tentang keinginannya hengkang dan mewajibkan Uni Eropa untuk mencoba
melakukan negosiasi lagi dengan anggota yang bersangkutan.
Meski
demikian, para pendukung Brexit menilai langkah itu sudah tepat. Dominic
Cummings, direktur kampanye untuk Brexit, menyamakan aktivasi Article 50 dengan
meletakkan senjata di mulut dan menarik pelatuknya.
Di
sisi lain, Article 50
akan memberikan waktu tambahan untuk negosiasi ulang. Penarikan diri
keanggotaan harus dibicarakan dengan 27 negara Uni Eropa lainnya dan dapat
memakan waktu hingga dua tahun. Meski demikian, Parlemen Eropa di Brussels
dapat melakukan veto kesepakatan dalam bentuk apapun terbentuknya kembali
hubungan antara Inggris dan Uni Eropa.
Bagaimana reaksi market?
Jawaban
atas pertanyaan ini sangat tergantung dengan kepada siapa pertanyaan ini
ditujukan. Namun, konsensus secara umum adalah tidak terlalu baik.
George
Soros, spekulator mata uang ternama, meramal Brexit akan memicu "Black Friday".
"Poundsterling
dipastikan akan keok tajam dan cepat jika kubu Brexit memenangkan
referendum," tulis Soros seperti yang dikutip dari CNBC.
Dia
menambahkan, devaluasi poundsterling akan semakin besar dan melampaui 15%
devaluasi yang pernah terjadi pada September 1992.
Dampak
ekonomi dari Brexit menjadi perdebatan sengit di sejumlah kampanye-kampanye
yang dilakukan beberapa waktu terakhir.
Bos
Aston Martin, produsen mobil mewah, misalnya mengatakan kepada para karyawannya
bahwa melemahnya poundsterling akan membuat ekspor Inggris akan lebih
kompetitif.
Meski
demikian, mayoritas ekonom meramal kemenangan Brexit akan menempatkan risiko
pada proses pemulihan ekonomi Inggris. Alasannya, hengkangnya Inggris dari Uni
Eropa akan meruntuhkan kepercayaan konsumen, arus dana investasi, perdagangan,
dan status London sebagai pusat finansial global.
Belum
lagi prediksi yang diutarakan oleh Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD), Badan Moneter
Internasional (IMF), Bank of England
(BoE), dan Kementerian Keuangan Inggris.
Gubernur
BoE Mark Carney juga mengingatkan akan kemungkinan terjadinya suku bunga tinggi
dan hengkangnya arus dana dari Inggris. Menurutnya, Inggris tak dapat
tergantung pada "kebaikan orang asing" untuk mendanai defisit
anggaran berjalannya yang saat ini semakin membengkak.
Untuk
alasan-alasan di atas, keputusan Brexit akan semakin menghasilkan guncangan
yang lebih besar terhadap market.
Di
sisi lain, patut dicatat bahwa Kementrian Keuangan, BoE, dan Bank Sentral
Eropa, harus mempersiapkan sejumlah strategi dalam mencegah terjadinya market chaos. Namun,
strategi apa yang dipersiapkan, belum ada bocoran terkait hal ini.
Sebaliknya,
jika kubu Bremain yang menang, indeks acuan Inggris FTSE dan poundsterling langsung
akan terbang pada hari pengumuman. Hanya saja, sejumlah pengamat tidak
memprediksi terjadinya perubahan yang dramatis pada tingkat kepercayaan
konsumen dalam jangka pendek.
Nasib David Cameron
Adalah
David Cameron yang menginisiasi agar referendum ini digelar. Dan Cameron pula
yang berada di barisan terdepan dalam mengampanyekan Bremain. Hasil voting
Kamis besok akan menjadi penentu utama atas karir politiknya di Inggris.
Cameron
meyakini, dia masih akan tetap berkantor di Downing Street apapun hasil
referendum nantinya. Namun, sejumlah pengamat meyakini, karir politiknya
benar-benar akan tamat jika hasil voting memenangkan kubu Brexit.
Hal
ini bukan berarti Cameron akan langsung melepaskan jabatannya jika Brexit
menang. Mayoritas kelompok Konservatif percaya, Cameron masih akan menjabat
sebagai PM hingga konferensi partainya pada Oktober mendatang. Hal ini diyakini
akan mencegah krisis politik dan memberikan waktu untuk sembuh dari
pertikaian-pertikaian yang terjadi selama kampanye.
Posisi
Menteri Keuangan Inggris George Osborne, juga diprediksi tidak aman jika kubu Brexit
menang.
Selain
itu, jika kubu Bremain menang dengan selisih suara sedikit, posisi Cameron juga
akan tetap sulit.
Kendati
tekanan agar Cameron segera mundur sedikit mereda, sejumlah pendukung Brexit
dari partainya sendiri akan terus membuat ketidakstabilan politik.
Pemimpin Partai Konservatif baru
Ada
dua kandidat utama pemimpin Partai Konservatif selanjutnya. Yakni, mantan
walikota London Boris Johnson dan Menteri Dalam Negeri Theresa May.
Johnson
merupakan corong utama dalam kampanye kubu Brexit. Dia akan mampu menggalang
dukungan jika kubunya memenangkan referendum.
Sedangkan,
May, merupakan pendukung Bremain. Namun, dirinya lebih low profile saat kampanye.
Hasilnya, dia tidak banyak melakukan pembelaan terhadap koleganya sehingga
memberikan kesan dia tidak akan kecewa jika Inggris pada akhirnya hengkang dari
keanggotaan Uni Eropa.
Di
luar itu semua, Johnson tidak terlalu populer di kalangan Partai Konservatif.
Sedangkan May dapat memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang dapat diandalkan
dan mampu menyatukan berbagai partai.
Perubahan hubungan dengan Eropa
Jika
Brexit memenangkan voting, akan ada perubahan besar terkait bagaimana Inggris
akan berinteraksi dengan 28 anggota Uni Eropa lainnya. Hubungan ini sangat
tergantung pada periode renegosiasi saat
Article 50 diaktifkan.
Inggris
masih membutuhkan akses ke pasar Eropa. Untuk itu, negara Ratu Elizabeth itu
harus mendaftar dan membayar sejumlah ketentuan yang ditetapkan Uni Eropa dalam
menjual barang dan jasa ke benua tersebut.
Sebaliknya,
Eropa juga tidak dapat begitu saja mengabaikan Inggris. Tapi, Uni Eropa
dipastikan tidak akan memberikan kemudahan-kemudahan kerjasama karena bisa
memicu aksi serupa dari negara-negara lain, seperti Prancis dan Spanyol.
Perundingan
juga akan semakin rumit dengan fakta bahwa Paris dan Frankfurt tidak akan
membiarkan London untuk terus menjadi pusat jasa finansial Eropa.
Dampaknya terhadap ekonomi Asia
Kemenangan
Brexit diramal akan mengguncang ekonomi Eropa. Sementara, dampak Brexit
terhadap ekonomi Asia tidak sedahsyat Eropa.
Berdasarkan
riset oleh Capital Economics yang berbasis di London, Brexit akan menyebabkan
penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,2% di seluruh Asia.
Perusahaan
riset ini mendasarkan penemuannya pada skenario terburuk yang diestimasi oleh
National Institute of Economic and Social Research di London yang menyatakan
bahwa Brexit akan memangkas impor Inggris sebesar 25% ke seluruh dunia dalam
kurun waktu dua tahun.
Senior
Asia economist Capital Economics Daniel Martin mengatakan, ekspor ke Inggris
saat ini hanya berkontribusi sebesar 0,7% PDB Asia. "Meski penurunan
sebesar 25% impor Inggris hanya akan mengurangi 0,2% dari PDB kawasan
regional," jelasnya seperti yang dikutip Bloomberg.
Martin
bilang, hanya ada beberapa negara di Asia yang terkena dampak lebih besar atas
kemenangan Brexit. Beberapa di antaranya Kamboja, Vietnam, dan Hong Kong.
Negara-negara ini memiliki hubungan perdagangan yang cukup kuat dengan Inggris.
"Dalam
sisi ekspor, ekspor jasa Hong Kong ke Inggris bernilai sekitar 2,3% dari
PDB," tambah Martin.
Sedangkan
untuk China, Martin menilai dampaknya akan sangat kecil. Berdasarkan laporan terpisah,
Capital Economics mengatakan dampak Brexit terhadap ekonomi China hampir tak
terasa. Dalam riset yang dipublikasikan pada 17 Juni lalu, Capital Economics
menulis, ekspor China ke Inggris setara dengan 0,5% dari PDB China.
"China
dapat melalui tekanan Brexit. Sebab, sebagian besar arus modal China masih
sangat tertutup. Selain itu, ketehubungan finansial antara China dan negara
lain di dunia sangat terbatas," demikian hasil riset Capital Economics.
disadur
dari Kontan, Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar