Editors Picks

Rabu, 22 Juni 2016

Mengintip skenario Brexit versus Bremain



Kamis (23/6) merupakan hari besar bagi warga Inggris. Pasalnya, negara mereka akan menggelar referendum untuk menentukan posisi keanggotaan Inggris di Uni Eropa. Istilah yang kemudian beredar untuk peristiwa ini adalah Brexit (British Exit) dan Bremain (British Remain).

Nah, hasil dari referendum ini akan diumumkan sehari setelah pelaksanaan referendum yakni Jumat (24/6) pagi waktu London.

Tidak seperti pemilihan lainnya, tidak ada hasil jajak pendapat resmi yang dirilis. Dan hanya ada sedikit data historis yang dapat digunakan untuk digunakan sebagai perbandingan.

Kendati demikian, para akademisi sudah membuat sejumlah estimasi yang didasarkan pada faktor ekonomi sosial yang memungkinkan mereka untuk memproyeksikan dampak hasil referendum bagi Inggris.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Jika rakyat Inggris benar-benar memilih untuk hengkang dari Uni Eropa, maka Perdana Menteri David Cameron hampir dipastikan akan menyampaikan pernyataan pada Jumat pagi. Tempatnya kemungkinan besar di 10 Dawning Street.

Cameron diprediksi akan berpidato sebelum pasar saham Inggris dibuka pada pukul 8.00 pagi dan sebelum pimpinan Eropa lainnya mulai memberikan respon.

Sebelumnya, Cameron sudah menegaskan bahwa dirinya tidak akan membuang banyak waktu untuk mengaktivasi Article 50 dari Kesepakatan Lisbon yang memperbolehkan negara anggota memberitahukan Uni Eropa tentang keinginannya hengkang dan mewajibkan Uni Eropa untuk mencoba melakukan negosiasi lagi dengan anggota yang bersangkutan.

Meski demikian, para pendukung Brexit menilai langkah itu sudah tepat. Dominic Cummings, direktur kampanye untuk Brexit, menyamakan aktivasi Article 50 dengan meletakkan senjata di mulut dan menarik pelatuknya.

Di sisi lain, Article 50 akan memberikan waktu tambahan untuk negosiasi ulang. Penarikan diri keanggotaan harus dibicarakan dengan 27 negara Uni Eropa lainnya dan dapat memakan waktu hingga dua tahun. Meski demikian, Parlemen Eropa di Brussels dapat melakukan veto kesepakatan dalam bentuk apapun terbentuknya kembali hubungan antara Inggris dan Uni Eropa.

Bagaimana reaksi market?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung dengan kepada siapa pertanyaan ini ditujukan. Namun, konsensus secara umum adalah tidak terlalu baik.


George Soros, spekulator mata uang ternama, meramal Brexit akan memicu "Black Friday".

"Poundsterling dipastikan akan keok tajam dan cepat jika kubu Brexit memenangkan referendum," tulis Soros seperti yang dikutip dari CNBC.

Dia menambahkan, devaluasi poundsterling akan semakin besar dan melampaui 15% devaluasi yang pernah terjadi pada September 1992.

Dampak ekonomi dari Brexit menjadi perdebatan sengit di sejumlah kampanye-kampanye yang dilakukan beberapa waktu terakhir.

Bos Aston Martin, produsen mobil mewah, misalnya mengatakan kepada para karyawannya bahwa melemahnya poundsterling akan membuat ekspor Inggris akan lebih kompetitif.

Meski demikian, mayoritas ekonom meramal kemenangan Brexit akan menempatkan risiko pada proses pemulihan ekonomi Inggris. Alasannya, hengkangnya Inggris dari Uni Eropa akan meruntuhkan kepercayaan konsumen, arus dana investasi, perdagangan, dan status London sebagai pusat finansial global.

Belum lagi prediksi yang diutarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Badan Moneter Internasional (IMF), Bank of England (BoE), dan Kementerian Keuangan Inggris.

Gubernur BoE Mark Carney juga mengingatkan akan kemungkinan terjadinya suku bunga tinggi dan hengkangnya arus dana dari Inggris. Menurutnya, Inggris tak dapat tergantung pada "kebaikan orang asing" untuk mendanai defisit anggaran berjalannya yang saat ini semakin membengkak.

Untuk alasan-alasan di atas, keputusan Brexit akan semakin menghasilkan guncangan yang lebih besar terhadap market.

Di sisi lain, patut dicatat bahwa Kementrian Keuangan, BoE, dan Bank Sentral Eropa, harus mempersiapkan sejumlah strategi dalam mencegah terjadinya market chaos. Namun, strategi apa yang dipersiapkan, belum ada bocoran terkait hal ini.

Sebaliknya, jika kubu Bremain yang menang, indeks acuan Inggris FTSE dan poundsterling langsung akan terbang pada hari pengumuman. Hanya saja, sejumlah pengamat tidak memprediksi terjadinya perubahan yang dramatis pada tingkat kepercayaan konsumen dalam jangka pendek.

Nasib David Cameron
Adalah David Cameron yang menginisiasi agar referendum ini digelar. Dan Cameron pula yang berada di barisan terdepan dalam mengampanyekan Bremain. Hasil voting Kamis besok akan menjadi penentu utama atas karir politiknya di Inggris.

Cameron meyakini, dia masih akan tetap berkantor di Downing Street apapun hasil referendum nantinya. Namun, sejumlah pengamat meyakini, karir politiknya benar-benar akan tamat jika hasil voting memenangkan kubu Brexit.

Hal ini bukan berarti Cameron akan langsung melepaskan jabatannya jika Brexit menang. Mayoritas kelompok Konservatif percaya, Cameron masih akan menjabat sebagai PM hingga konferensi partainya pada Oktober mendatang. Hal ini diyakini akan mencegah krisis politik dan memberikan waktu untuk sembuh dari pertikaian-pertikaian yang terjadi selama kampanye.

Posisi Menteri Keuangan Inggris George Osborne, juga diprediksi tidak aman jika kubu Brexit menang.

Selain itu, jika kubu Bremain menang dengan selisih suara sedikit, posisi Cameron juga akan tetap sulit.

Kendati tekanan agar Cameron segera mundur sedikit mereda, sejumlah pendukung Brexit dari partainya sendiri akan terus membuat ketidakstabilan politik.

Pemimpin Partai Konservatif baru
Ada dua kandidat utama pemimpin Partai Konservatif selanjutnya. Yakni, mantan walikota London Boris Johnson dan Menteri Dalam Negeri Theresa May.

Johnson merupakan corong utama dalam kampanye kubu Brexit. Dia akan mampu menggalang dukungan jika kubunya memenangkan referendum.

Sedangkan, May, merupakan pendukung Bremain. Namun, dirinya lebih low profile saat kampanye. Hasilnya, dia tidak banyak melakukan pembelaan terhadap koleganya sehingga memberikan kesan dia tidak akan kecewa jika Inggris pada akhirnya hengkang dari keanggotaan Uni Eropa.

Di luar itu semua, Johnson tidak terlalu populer di kalangan Partai Konservatif. Sedangkan May dapat memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang dapat diandalkan dan mampu menyatukan berbagai partai.

Perubahan hubungan dengan Eropa
Jika Brexit memenangkan voting, akan ada perubahan besar terkait bagaimana Inggris akan berinteraksi dengan 28 anggota Uni Eropa lainnya. Hubungan ini sangat tergantung pada periode renegosiasi saat Article 50 diaktifkan.

Inggris masih membutuhkan akses ke pasar Eropa. Untuk itu, negara Ratu Elizabeth itu harus mendaftar dan membayar sejumlah ketentuan yang ditetapkan Uni Eropa dalam menjual barang dan jasa ke benua tersebut.

Sebaliknya, Eropa juga tidak dapat begitu saja mengabaikan Inggris. Tapi, Uni Eropa dipastikan tidak akan memberikan kemudahan-kemudahan kerjasama karena bisa memicu aksi serupa dari negara-negara lain, seperti Prancis dan Spanyol.

Perundingan juga akan semakin rumit dengan fakta bahwa Paris dan Frankfurt tidak akan membiarkan London untuk terus menjadi pusat jasa finansial Eropa.

Dampaknya terhadap ekonomi Asia
Kemenangan Brexit diramal akan mengguncang ekonomi Eropa. Sementara, dampak Brexit terhadap ekonomi Asia tidak sedahsyat Eropa.

Berdasarkan riset oleh Capital Economics yang berbasis di London, Brexit akan menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,2% di seluruh Asia.

Perusahaan riset ini mendasarkan penemuannya pada skenario terburuk yang diestimasi oleh National Institute of Economic and Social Research di London yang menyatakan bahwa Brexit akan memangkas impor Inggris sebesar 25% ke seluruh dunia dalam kurun waktu dua tahun.

Senior Asia economist Capital Economics Daniel Martin mengatakan, ekspor ke Inggris saat ini hanya berkontribusi sebesar 0,7% PDB Asia. "Meski penurunan sebesar 25% impor Inggris hanya akan mengurangi 0,2% dari PDB kawasan regional," jelasnya seperti yang dikutip Bloomberg.

Martin bilang, hanya ada beberapa negara di Asia yang terkena dampak lebih besar atas kemenangan Brexit. Beberapa di antaranya Kamboja, Vietnam, dan Hong Kong. Negara-negara ini memiliki hubungan perdagangan yang cukup kuat dengan Inggris.

"Dalam sisi ekspor, ekspor jasa Hong Kong ke Inggris bernilai sekitar 2,3% dari PDB," tambah Martin.

Sedangkan untuk China, Martin menilai dampaknya akan sangat kecil. Berdasarkan laporan terpisah, Capital Economics mengatakan dampak Brexit terhadap ekonomi China hampir tak terasa. Dalam riset yang dipublikasikan pada 17 Juni lalu, Capital Economics menulis, ekspor China ke Inggris setara dengan 0,5% dari PDB China.

"China dapat melalui tekanan Brexit. Sebab, sebagian besar arus modal China masih sangat tertutup. Selain itu, ketehubungan finansial antara China dan negara lain di dunia sangat terbatas," demikian hasil riset Capital Economics.

disadur dari Kontan, Rabu, 22 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar