Michael
Bar-Eli dan Rolf Dobelli punya pendekatan menarik dalam menjelaskan perilaku
penjaga gawang ketika menghadapi tendangan penalti. Kita tahu bahwa dalam
pertandingan sepak bola, tendangan penalti adalah ujian besar bagi penjaga
gawang sekaligus bagi eksekutornya. Ini semacam pertaruhan kemampuan satu lawan
satu antara sang penjaga dan sang penendang.
Tendangan
penalti paling tidak ada dua macam. Pertama,
hukuman atas pelanggaran yang terjadi di kotak dekat gawang. Kedua, adu penalti yang
merupakan penentuan pemenang setelah pertandingan berlangsung seri selama dua
babak ditambah dengan dua kali perpanjangan waktu.
Dalam
menghadapi tendangan penalti, penjaga gawang harus beraksi super cepat atas
tembakan eksekutor dari tim lawan. Waktu yang diperlukan bola untuk meluncur
dari titik penalti mencapai gawang pada umumnya kurang dari 0,3 detik. Dalam
periode yang sangat singkat itulah sang penjaga gawang harus memutuskan ke mana
tubuh dan anggota badannya digerakkan untuk mencegah bola masuk ke dalam
gawang.
Katakanlah
kita bagi gawang menjadi tiga bagian: sebelah kiri, sebelah kanan, serta bagian
tengah. Posisi penjaga gawang pada awalnya selalu berada di tengah. Secara
matematis, peluang bola untuk ditendang ke bagian kiri, kanan, dan tengah
adalah sama, yakni satu per tiga.
Lalu,
mengapa lebih banyak penjaga gawang yang melompat ke kiri atau ke kanan
mengantisipasi tendangan, dan mengapa sangat jarang penjaga gawang yang tetap
berada di tengah-tengah?
Rolf
Dobelli dalam bukunya The
Art of Thinking Clearly, menjelaskan hal ini. Menyitir penelitian
dari Michael Bar-Eli yang telah mengevaluasi ratusan tendangan penalti, dia
menyebut tindakan penjaga gawang ini sebagai bias aksi.
“Akan
terlihat lebih berkesan dan terasa tidak terlalu memalukan untuk menukik ke
sisi yang salah daripada membeku di tempat dan memperhatikan bola bergerak
lewat,” begitu penjelasannya.
Dobelli
bahkan menyajikan kesimpulan yang lebih menohok soal ini: “Tampillah aktif,
bahkan jika tidak ada hasilnya.”
Penjelasan
Bar-Eli yang dikutip Dobelli itu ditulis dalam Action bias among elite soccer goalkeepers: The case of
penalty kicks yang dimuat dalam sebuah jurnal psikologi ekonomi
tahun 2007.
Michael
Bar-Eli melakukan observasi terhadap 286 tendangan penalti yang terjadi dalam
liga dan pertandingan kelas dunia. Berdasarkan pengamatan atas distribusi arah
bola, dia menyimpulkan bahwa sebenarnya strategi yang paling optimal bagi
penjaga gawang adalah tetap berada di tengah. Namun umumnya penjaga gawang
memilih untuk melompat ke kanan atau ke kiri.
Mungkin
para penjaga gawang sungguhan tidak sependapat dengan penjelasan di atas. Para
pemain hebat tentu saja bergerak berdasarkan perhitungan tertentu yang
didapatkan melalui latihan yang panjang dan teratur. Hal-hal yang tampaknya
acak oleh awam seperti lompatan penjaga gawang itu, bisa jadi adalah gerakan
yang penuh pertimbangan yang dilakukan oleh ahlinya.
Akan
tetapi, survei terhadap 32 penjaga gawang profesional yang dilakukan Bar-Eli
menegaskan bahwa melompat ke kiri atau ke kanan ketika menghadapi tendangan
penalti merupakan norma umum.
Kalau
kita lihat lebih jauh, bias aksi itu sejatinya terjadi di banyak hal. Penjaga
gawang hanyalah contoh yang barangkali mudah dipahami di tengah pelaksanaan dua
event sepakbola yang menyedot perhatian dunia, Copa America dan Piala Eropa
2016.
Sudah
banyak studi mengenai bias aksi, termasuk dampaknya dalam penanganan
pertengkaran anak-anak muda yang keluar club
malam, langkah investor dalam menghadapi pergerakan saham, serta tindakan dokter
yang menghadapi ketidakpastian diagnosis pasien.
Dalam
kasus investor, misalnya, wait
and see itu tidak populer. Bagi kebanyakan dokter, lebih baik
mengintervensi dengan meresepkan sesuatu daripada menunggu perkembangan dan
tidak memberikan resep apa-apa.
Siapa
pun dalam posisi apa pun berpotensi terkena bias aksi ini. Para pebisnis dan
eksekutif puncak tidak lepas dari kemungkinan bias tersebut. Apalagi
ketika menghadapi serbuan baru dari teknologi informasi yang membawa inovasi
disruptif. Inovasi disruptif itu seperti tendangan sang jagal penalti:
berlangsung cepat, arahnya seringkali membingungkan, dan kalau gagal
diantisipasi bisa menyebabkan kekalahan serta kehancuran. Jadi mereka dituntut
untuk segera bereaksi, meskipun arah industrinya belum jelas. Mirip seperti
tekanan yang dihadapi oleh penjaga gawang untuk segera bergerak.
Pejabat
pemerintahan juga tidak lepas dari potensi terjebak bias aksi seperti ini.
Apalagi jika ada perubahan rezim yang membawa perubahan prioritas dan
pendekatan dalam menjalankan pemerintahan. Upaya menghindari pendekatan business as usual
kadangkala berakhir dengan tindakan asal beda dan asal baru.
BusinessDictionary.com
menyebut bias aksi sebagai kecenderungan untuk bertindak atau memutuskan tanpa
analisis atau informasi yang cukup. Jadi, prinsipnya adalah: lakukan saja,
pikirkan kemudian. Konon, istilah ini dipopulerkan oleh Tom Peters dalam In Search of Excellence.
Langkah
yang mengandung bias aksi dari penjaga gawang, investor, eksekutif puncak,
manajer menengah, sampai dokter, itu tidak selalu salah. Reaksi refleks dari
orang terlatih seringkali berhasil. Intuisi dari orang berpengalaman juga
biasanya tidak meleset. Apalagi, berdiam diri juga bukan pilihan baik. Ada
ungkapan mengenai cost of
doing nothing untuk menjelaskan betapa besar risiko berdiam diri,
yang mungkin akan ditanggung belakangan. Dalam dunia yang berlangsung cepat
kadang mustahil untuk menunggu segala sesuatunya jelas. Atau, ketika semuanya
jelas, kondisinya justru sudah terlambat untuk bereaksi.
Akan
tetapi, bias aksi seperti diceritakan di atas tentu perlu diwaspadai. Dobelli
memberikan penjelasan mengapa manusia sering terjebak dalam bias aksi atau bias
penjaga gawang ini. “Dalam suasana yang baru atau mengguncang, kita merasa
terpaksa untuk melakukan sesuatu. Apa saja. Setelah itu kita merasa lebih baik,
bahkan ketika kita melakukan hal yang lebih buruk dengan beraksi terlalu cepat
atau terlalu sering.”
Dia
pun mengajukan saran untuk terbebas dari bias penjaga gawang itu. “Kalau
situasi tidak jelas, kendalikan diri Anda sampai Anda bisa menganalisis
pilihan-pilihan.”
Sebab,
mengutip dari Blaise Pascal, “Semua masalah berasal dari ketidakmampuan manusia
untuk duduk sendirian dengan tenang di dalam ruangan.”
Dengan
kata lain, kadangkala, wait
and see sambil menunggu analisis yang lengkap adalah pilihan
bijaksana. Namun, risikonya, reaksi mungkin terlambat. Dampak buruknya bisa
berganda, bola terlanjur masuk gawang dan citra sang penjaga gawang hancur.
Dalam hal ini, terlalu lama menunggu malah bisa berakhir konyol.
oleh
Setyardi Widodo
disadur
dari Bisnis, Kamis, 23 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar