Editors Picks

Kamis, 23 Juni 2016

Jurus Penjaga Gawang



Michael Bar-Eli dan Rolf Dobelli punya pendekatan menarik dalam menjelaskan perilaku penjaga gawang ketika menghadapi tendangan penalti. Kita tahu bahwa dalam pertandingan sepak bola, tendangan penalti adalah ujian besar bagi penjaga gawang sekaligus bagi eksekutornya. Ini semacam pertaruhan kemampuan satu lawan satu antara sang penjaga dan sang penendang.

Tendangan penalti paling tidak ada dua macam. Pertama, hukuman atas pelanggaran yang terjadi di kotak dekat gawang. Kedua, adu penalti yang merupakan penentuan pemenang setelah pertandingan berlangsung seri selama dua babak ditambah dengan dua kali perpanjangan waktu.

Dalam menghadapi tendangan penalti, penjaga gawang harus beraksi super cepat atas tembakan eksekutor dari tim lawan. Waktu yang diperlukan bola untuk meluncur dari titik penalti mencapai gawang pada umumnya kurang dari 0,3 detik. Dalam periode yang sangat singkat itulah sang penjaga gawang harus memutuskan ke mana tubuh dan anggota badannya digerakkan untuk mencegah bola masuk ke dalam gawang.

Katakanlah kita bagi gawang menjadi tiga bagian: sebelah kiri, sebelah kanan, serta bagian tengah. Posisi penjaga gawang pada awalnya selalu berada di tengah. Secara matematis, peluang bola untuk ditendang ke bagian kiri, kanan, dan tengah adalah sama, yakni satu per tiga.

Lalu, mengapa lebih banyak penjaga gawang yang melompat ke kiri atau ke kanan mengantisipasi tendangan, dan mengapa sangat jarang penjaga gawang yang tetap berada di tengah-tengah?

Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, menjelaskan hal ini. Menyitir penelitian dari Michael Bar-Eli yang telah mengevaluasi ratusan tendangan penalti, dia menyebut tindakan penjaga gawang ini sebagai bias aksi.

“Akan terlihat lebih berkesan dan terasa tidak terlalu memalukan untuk menukik ke sisi yang salah daripada membeku di tempat dan memperhatikan bola bergerak lewat,” begitu penjelasannya.

Dobelli bahkan menyajikan kesimpulan yang lebih menohok soal ini: “Tampillah aktif, bahkan jika tidak ada hasilnya.”

Penjelasan Bar-Eli yang dikutip Dobelli itu ditulis dalam Action bias among elite soccer goalkeepers: The case of penalty kicks yang dimuat dalam sebuah jurnal psikologi ekonomi tahun 2007.

Michael Bar-Eli melakukan observasi terhadap 286 tendangan penalti yang terjadi dalam liga dan pertandingan kelas dunia. Berdasarkan pengamatan atas distribusi arah bola, dia menyimpulkan bahwa sebenarnya strategi yang paling optimal bagi penjaga gawang adalah tetap berada di tengah. Namun umumnya penjaga gawang memilih untuk melompat ke kanan atau ke kiri.

Mungkin para penjaga gawang sungguhan tidak sependapat dengan penjelasan di atas. Para pemain hebat tentu saja bergerak berdasarkan perhitungan tertentu yang didapatkan melalui latihan yang panjang dan teratur. Hal-hal yang tampaknya acak oleh awam seperti lompatan penjaga gawang itu, bisa jadi adalah gerakan yang penuh pertimbangan yang dilakukan oleh ahlinya.

Akan tetapi, survei terhadap 32 penjaga gawang profesional yang dilakukan Bar-Eli menegaskan bahwa melompat ke kiri atau ke kanan ketika menghadapi tendangan penalti merupakan norma umum.

Kalau kita lihat lebih jauh, bias aksi itu sejatinya terjadi di banyak hal. Penjaga gawang hanyalah contoh yang barangkali mudah dipahami di tengah pelaksanaan dua event sepakbola yang menyedot perhatian dunia, Copa America dan Piala Eropa 2016.

Sudah banyak studi mengenai bias aksi, termasuk dampaknya dalam penanganan pertengkaran anak-anak muda yang keluar club malam, langkah investor dalam menghadapi pergerakan saham, serta tindakan dokter yang menghadapi ketidakpastian diagnosis pasien.

Dalam kasus investor, misalnya, wait and see itu tidak populer. Bagi kebanyakan dokter, lebih baik mengintervensi dengan meresepkan sesuatu daripada menunggu perkembangan dan tidak memberikan resep apa-apa.

Siapa pun dalam posisi apa pun berpotensi terkena bias aksi ini. Para pebisnis dan eksekutif puncak tidak lepas dari kemungkinan bias tersebut.  Apalagi ketika menghadapi serbuan baru dari teknologi informasi yang membawa inovasi disruptif. Inovasi disruptif itu seperti tendangan sang jagal penalti: berlangsung cepat, arahnya seringkali membingungkan, dan kalau gagal diantisipasi bisa menyebabkan kekalahan serta kehancuran. Jadi mereka dituntut untuk segera bereaksi, meskipun arah industrinya belum jelas. Mirip seperti tekanan yang dihadapi oleh penjaga gawang untuk segera bergerak.

Pejabat pemerintahan juga tidak lepas dari potensi terjebak bias aksi seperti ini. Apalagi jika ada perubahan rezim yang membawa perubahan prioritas dan pendekatan dalam menjalankan pemerintahan. Upaya menghindari pendekatan business as usual kadangkala berakhir dengan tindakan asal beda dan asal baru.

BusinessDictionary.com menyebut bias aksi sebagai kecenderungan untuk bertindak atau memutuskan tanpa analisis atau informasi yang cukup. Jadi, prinsipnya adalah: lakukan saja, pikirkan kemudian. Konon, istilah ini dipopulerkan oleh Tom Peters dalam In Search of Excellence.

Langkah yang mengandung bias aksi dari penjaga gawang, investor, eksekutif puncak, manajer menengah, sampai dokter, itu tidak selalu salah. Reaksi refleks dari orang terlatih seringkali berhasil. Intuisi dari orang berpengalaman juga biasanya tidak meleset. Apalagi, berdiam diri juga bukan pilihan baik. Ada ungkapan mengenai cost of doing nothing untuk menjelaskan betapa besar risiko berdiam diri, yang mungkin akan ditanggung belakangan. Dalam dunia yang berlangsung cepat kadang mustahil untuk menunggu segala sesuatunya jelas. Atau, ketika semuanya jelas, kondisinya justru sudah terlambat untuk bereaksi.

Akan tetapi, bias aksi seperti diceritakan di atas tentu perlu diwaspadai. Dobelli memberikan penjelasan mengapa manusia sering terjebak dalam bias aksi atau bias penjaga gawang ini. “Dalam suasana yang baru atau mengguncang, kita merasa terpaksa untuk melakukan sesuatu. Apa saja. Setelah itu kita merasa lebih baik, bahkan ketika kita melakukan hal yang lebih buruk dengan beraksi terlalu cepat atau terlalu sering.”

Dia pun mengajukan saran untuk terbebas dari bias penjaga gawang itu. “Kalau situasi tidak jelas, kendalikan diri Anda sampai Anda bisa menganalisis pilihan-pilihan.”
Sebab, mengutip dari Blaise Pascal, “Semua masalah berasal dari ketidakmampuan manusia untuk duduk sendirian dengan tenang di dalam ruangan.”

Dengan kata lain, kadangkala, wait and see sambil menunggu analisis yang lengkap adalah pilihan bijaksana. Namun, risikonya, reaksi mungkin terlambat. Dampak buruknya bisa berganda, bola terlanjur masuk gawang dan citra sang penjaga gawang hancur. Dalam hal ini, terlalu lama menunggu malah bisa berakhir konyol.

oleh Setyardi Widodo
disadur dari Bisnis, Kamis, 23 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar