Bank
Indonesia minggu lalu menerbitkan serangkaian kebijakan pelonggaran kebijakan moneter.
Pelonggaran moneter dimulai dengan menurunkan suku bunga acuan yang saat ini
masih berlaku (BI Rate) dari 6,75% menjadi 6,50% dan BI 7-day Repo Rate turun
25 bps dari 5,50% menjadi 5,25%.
BI juga melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui relaksasi ketentuan Loan to Value Ratio (LTV) dan Financing to Value Ratio (FTV) kredit/pembiayaan properti untuk rumah tapak, rumah susun, dan ruko/ rukan.
Untuk mendorong kredit perbankan, BI juga menaikkan batas bawah Loan to Funding Ratio terkait Giro Wajib Minimum (GWM-LFR) dari 78% menjadi 80%, dengan batas atas tetap sebesar 92%. Kebijakan di bidang makroprudensial ini mulai berlaku pada Agustus 2016.
Dalam sejarahnya, kebijakan moneter memang lebih banyak bersifat responsif terhadap kon disi perekonomian dan kebijakan yang di ambil pemerintah. Jarang ditemui, kebijakan moneter mengambil posisi lebih di depan (take a lead) dibanding kebijakan pemerintah (fiskal).
Ini terbukti ketika pemerintah kita seperti kekurangan amunisi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (akibat terbatasnya kemampuan fiskal), BI turut membantu dengan mendorong sisi moneternya menjadi lebih longgar.
BI juga melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui relaksasi ketentuan Loan to Value Ratio (LTV) dan Financing to Value Ratio (FTV) kredit/pembiayaan properti untuk rumah tapak, rumah susun, dan ruko/ rukan.
Untuk mendorong kredit perbankan, BI juga menaikkan batas bawah Loan to Funding Ratio terkait Giro Wajib Minimum (GWM-LFR) dari 78% menjadi 80%, dengan batas atas tetap sebesar 92%. Kebijakan di bidang makroprudensial ini mulai berlaku pada Agustus 2016.
Dalam sejarahnya, kebijakan moneter memang lebih banyak bersifat responsif terhadap kon disi perekonomian dan kebijakan yang di ambil pemerintah. Jarang ditemui, kebijakan moneter mengambil posisi lebih di depan (take a lead) dibanding kebijakan pemerintah (fiskal).
Ini terbukti ketika pemerintah kita seperti kekurangan amunisi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (akibat terbatasnya kemampuan fiskal), BI turut membantu dengan mendorong sisi moneternya menjadi lebih longgar.
Harus
diakui bahwa laju pertumbuhan ekonomi kita saat ini masih terbatas. Kondisi
perekonomian global yang masih lesu menyebabkan kinerja ekspor kita menjadi
terbatas.
Nilai
ekspor periode Januari-Mei 2016 mencapai US$56,59 miliar turun 12,82% dibanding
periode yang sama 2015. Demikian juga ekspor nonmigas mencapai US$51,28 miliar
atau menurun 9,01%.
Kondisi
ini tentu berpengaruh bagi ekonomi kita. Tidak hanya ekspor komoditas yang
terganggu, sektor industri juga terganggu karena bebe rapa industri di daerah
juga memiliki ketergantungan terhadap kinerja sektor komoditas.
Kini
kita menyaksikan, daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku,
dan Nusa Tenggara perekonomiannya fluktuatif dengan kecenderungan pertumbuhan
yang rendah.
Hanya
Jawa dan Bali yang pertumbuhan ekonominya relatif stabil (rata-rata tumbuh 5%),
karena tidak terlalu terekspos oleh kinerja komoditas.
Melihat
kondisi itu, pemerintah berupaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kuat
lagi, khususnya di luar Jawa, melalui penguatan belanja modal dan
infrastruktur. Sayangnya, kapasitas fiskal kita terbatas.
Penerimaan
negara dari perpajakan tidak cukup kuat untuk mendukung ekspansi pemerintah.
Terbatasnya kapasitas fiskal ini tidak berarti bahwa kinerja perpajakan kita
turun.
Melemahnya
kinerja perpajakan ini lebih disebabkan kondisi perekonomian memang tidak
mendukung untuk memajaki korporasi dan rumah tangga lebih tinggi. Korporasi
yang sebelum 2014 tumbuh kuat, sejak 2014 kinerjanya cenderung menurun.
Data
BI menunjukkan bahwa pada 2012, return on
equity (ROE) perusahaan go public rata-rata masih 12,22%. Dalam
perkembangannya, ROE perusahaan go public
turun menjadi 10,33% (2013), 10,68% (2014), dan 7,81% (2015).
Korporasi
yang paling menurun kinerjanya adalah yang bergerak di sektor komoditas.
ROE
korporasi pertanian turun dari 10,43% (2014) menjadi tinggal 0,68% (2015). Kinerja
korporasi pertanian ini terutama karena terekspos oleh rendahnya harga kelapa
sawit (CPO) dan karet. Sedangkan ROE korporasi pertambangan turun dari 2,35%
(2014) menjadi 0,68% (2015).
Penurunan
kinerja korporasi pertambangan ini terutama terekspos oleh jatuhnya harga dan
melemahnya permintaan ekspor batu bara.
Seiring
dengan melemahnya kinerja korporasi berbasis komoditas, sektor rumah tangga
yang sebelumnya booming karena komoditas, kini kinerjanya juga melemah. Hal ini
tercermin dari penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang melambat dari
10,03% pada akhir 2015 kini menjadi 9,17% pada kuartal I/2016.
Perlambatan
terutama terjadi pada kredit kendaraan bermotor. Kualitas kredit (NPL)
kredit rumah tangga, meskipun masih aman (di bawah 5%), juga mengalami
penurunan. NPL kredit rumah tangga naik dari 1,45% (2012) menjadi 1,50% (2015).
Dengan
kondisi sektor korporasi dan rumah tangga yang cenderung melemah ini, menjadi
tidak tepat bila mereka dipajaki lebih tinggi. Upaya peningkatan pajak relatif
tinggal bisa dilakukan melalui peningkatan kepatuhan. Langkah peningkatan
kepatuhan itupun menurut hemat saya perlu dibarengi dengan pengurangan sanksi,
termasuk tax amnesty
yang saat ini sedang persiapkan payung hukumnya.
Kebijakan Tambahan
Dengan
kondisi fiskal yang relatif terbatas, sedangkan kita juga tidak ingin
mengorbankan pertumbuhan ekonomi, maka memang diperlukan kebijakan tambahan.
Dalam hal ini, kebijakan pelonggaran moneter yang diambil BI memang diperlukan.
Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pelonggaran moneter dan kebijakan
makroprudensial tersebut mampu menutupi celah kekurangan yang dimiliki fiskal.
Sejauh
ini pelonggaran moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung, tercermin
dari terus berlanjutnya penurunan suku bunga perbankan, baik suku bunga
deposito maupun suku bunga kredit. Sayangnya, transmisi melalui jalur kredit
masih belum optimal. Hal ini terlihat pada masih melambatnya pertumbuhan kredit
dari 8,7% (yoy) pada Maret 2016 menjadi 8,0% pada April 2016. Kemudian, kalau
kita lihat sasaran dari pelonggaran makroprudensial juga masih terbatas.
Sasaran
dari kebijakan penurunan LTV dan FTV juga terbatas pada kelompok masyarakat
yang secara daya beli tidak mendominasi dalam konsumsi rumah tangga. Kebijakan
penurunan LTV dan FTV ini lebih untuk menjaga daya beli kelompok masyarakat
menengah bawah tapi dampaknya terbatas untuk memulihkan daya beli kelompok
masyarakat atas.
Sementara itu, kebijakan menaikan batas bawah LFR menjadi 80% sasarannya juga terbatas. Kalau kita lihat data loan to deposit ratio (LDR) atau LFR dikurangi surat-surat berharga (SSB) yang diterbitkan bank, kini angkanya sudah 89,47% (April 2016).
Beberapa bank besar bahkan LDR-nya sudah di atas 92%. Tahun lalu dan tahun ini juga tidak terlalu banyak bank yang menerbitkan SSB. Sehingga, kalau bank dengan SSB yang hendak didorong untuk lebih ekspansif, maka sasarannya masih terbatas.
Dengan kata lain, pelonggaran moneter dan makroprudensial BI memang diperlukan untuk mendukung daya dukung pertumbuhan ekonomi. Namun, tetap kurang karena keterbatasannya. Sehingga, tetap dibutuhkan kebijakan lain untuk mempercepat pertumbuhan. Hemat saya, kini tinggal investasi yang perlu didorong. Dan kunci untuk mendorong investasi adalah deregulasi dan debirokratisasi.
Paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang telah di keluarkan pemerintah harus didorong agar lebih efektif. Dan tampaknya, dengan melihat pertumbuhan investasi yang masih relatif terbatas, sepertinya implementasi paket kebijakan ekonomi ini masih mengalami sejumlah kendala.
Sementara itu, kebijakan menaikan batas bawah LFR menjadi 80% sasarannya juga terbatas. Kalau kita lihat data loan to deposit ratio (LDR) atau LFR dikurangi surat-surat berharga (SSB) yang diterbitkan bank, kini angkanya sudah 89,47% (April 2016).
Beberapa bank besar bahkan LDR-nya sudah di atas 92%. Tahun lalu dan tahun ini juga tidak terlalu banyak bank yang menerbitkan SSB. Sehingga, kalau bank dengan SSB yang hendak didorong untuk lebih ekspansif, maka sasarannya masih terbatas.
Dengan kata lain, pelonggaran moneter dan makroprudensial BI memang diperlukan untuk mendukung daya dukung pertumbuhan ekonomi. Namun, tetap kurang karena keterbatasannya. Sehingga, tetap dibutuhkan kebijakan lain untuk mempercepat pertumbuhan. Hemat saya, kini tinggal investasi yang perlu didorong. Dan kunci untuk mendorong investasi adalah deregulasi dan debirokratisasi.
Paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang telah di keluarkan pemerintah harus didorong agar lebih efektif. Dan tampaknya, dengan melihat pertumbuhan investasi yang masih relatif terbatas, sepertinya implementasi paket kebijakan ekonomi ini masih mengalami sejumlah kendala.
Oleh
Sunarsip
Disadur
dari Bisnis, Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar