Editors Picks

Kamis, 23 Juni 2016

Pelonggaran Moneter, Kondisi Fiskal & Kemampuan Perbankan



Bank Indonesia minggu lalu menerbitkan serangkaian kebijakan pelonggaran kebijakan moneter. Pelonggaran moneter dimulai dengan menurunkan suku bunga acuan yang saat ini masih berlaku (BI Rate) dari 6,75% menjadi 6,50% dan BI 7-day Repo Rate turun 25 bps dari 5,50% menjadi 5,25%.

BI juga melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui relaksasi ketentuan Loan to Value Ratio (LTV) dan Financing to Value Ratio (FTV) kredit/pembiayaan properti untuk rumah tapak, rumah susun, dan ruko/ rukan.

Untuk mendorong kredit perbankan, BI juga menaikkan batas bawah Loan to Funding Ratio terkait Giro Wajib Minimum (GWM-LFR) dari 78% menjadi 80%, dengan batas atas tetap sebesar 92%. Kebijakan di bidang makroprudensial ini mulai berlaku pada Agustus 2016.

Dalam sejarahnya, kebijakan moneter memang lebih banyak bersifat responsif terhadap kon disi perekonomian dan kebijakan yang di ambil pemerintah. Jarang ditemui, kebijakan moneter mengambil posisi lebih di depan (take a lead) dibanding kebijakan pemerintah (fiskal).

Ini terbukti ketika pemerintah kita seperti kekurangan amunisi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (akibat terbatasnya kemampuan fiskal), BI turut membantu dengan mendorong sisi moneternya menjadi lebih longgar.

Harus diakui bahwa laju pertumbuhan ekonomi kita saat ini masih terbatas. Kondisi perekonomian global yang masih lesu menyebabkan kinerja ekspor kita menjadi terbatas.

Nilai ekspor periode Januari-Mei 2016 mencapai US$56,59 miliar turun 12,82% dibanding periode yang sama 2015. Demikian juga ekspor nonmigas mencapai US$51,28 miliar atau menurun 9,01%.

Kondisi ini tentu berpengaruh bagi ekonomi kita. Tidak hanya ekspor komoditas yang terganggu, sektor industri juga terganggu karena bebe rapa industri di daerah juga memiliki ketergantungan terhadap kinerja sektor komoditas.

Kini kita menyaksikan, daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku, dan Nusa Tenggara perekonomiannya fluktuatif dengan kecenderungan pertumbuhan yang rendah.

Hanya Jawa dan Bali yang pertumbuhan ekonominya relatif stabil (rata-rata tumbuh 5%), karena tidak terlalu terekspos oleh kinerja komoditas.

Melihat kondisi itu, pemerintah berupaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kuat lagi, khususnya di luar Jawa, melalui penguatan belanja modal dan infrastruktur. Sayangnya, kapasitas fiskal kita terbatas.

Penerimaan negara dari perpajakan tidak cukup kuat untuk mendukung ekspansi pemerintah. Terbatasnya kapasitas fiskal ini tidak berarti bahwa kinerja perpajakan kita turun.

Melemahnya kinerja perpajakan ini lebih disebabkan kondisi perekonomian memang tidak mendukung untuk memajaki korporasi dan rumah tangga lebih tinggi. Korporasi yang sebelum 2014 tumbuh kuat, sejak 2014 kinerjanya cenderung menurun.

Data BI menunjukkan bahwa pada 2012, return on equity (ROE) perusahaan go public rata-rata masih 12,22%. Dalam perkembangannya, ROE perusahaan go public turun menjadi 10,33% (2013), 10,68% (2014), dan 7,81% (2015).

Korporasi yang paling menurun kinerjanya adalah yang bergerak di sektor komoditas.

ROE korporasi pertanian turun dari 10,43% (2014) menjadi tinggal 0,68% (2015). Kinerja korporasi pertanian ini terutama karena terekspos oleh rendahnya harga kelapa sawit (CPO) dan karet. Sedangkan ROE korporasi pertambangan turun dari 2,35% (2014) menjadi 0,68% (2015).

Penurunan kinerja korporasi pertambangan ini terutama terekspos oleh jatuhnya harga dan melemahnya permintaan ekspor batu bara.

Seiring dengan melemahnya kinerja korporasi berbasis komoditas, sektor rumah tangga yang sebelumnya booming karena komoditas, kini kinerjanya juga melemah. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang melambat dari 10,03% pada akhir 2015 kini menjadi 9,17% pada kuartal I/2016.

Perlambatan terutama terjadi pada kredit kendaraan bermotor. Kualitas  kredit (NPL) kredit rumah tangga, meskipun masih aman (di bawah 5%), juga mengalami penurunan. NPL kredit rumah tangga naik dari 1,45% (2012) menjadi 1,50% (2015).

Dengan kondisi sektor korporasi dan rumah tangga yang cenderung melemah ini, menjadi tidak tepat bila mereka dipajaki lebih tinggi. Upaya peningkatan pajak relatif tinggal bisa dilakukan melalui peningkatan kepatuhan. Langkah peningkatan kepatuhan itupun menurut hemat saya perlu dibarengi dengan pengurangan sanksi, termasuk tax amnesty yang saat ini sedang persiapkan payung hukumnya.

Kebijakan Tambahan
Dengan kondisi fiskal yang relatif terbatas, sedangkan kita juga tidak ingin mengorbankan pertumbuhan ekonomi, maka memang diperlukan kebijakan tambahan. Dalam hal ini, kebijakan pelonggaran moneter yang diambil BI memang diperlukan. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pelonggaran moneter dan kebijakan makroprudensial tersebut mampu menutupi celah kekurangan yang dimiliki fiskal.

Sejauh ini pelonggaran moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung, tercermin dari terus berlanjutnya penurunan suku bunga perbankan, baik suku bunga deposito maupun suku bunga kredit. Sayangnya, transmisi melalui jalur kredit masih belum optimal. Hal ini terlihat pada masih melambatnya pertumbuhan kredit dari 8,7% (yoy) pada Maret 2016 menjadi 8,0% pada April 2016. Kemudian, kalau kita lihat sasaran dari pelonggaran makroprudensial juga masih terbatas.

Sasaran dari kebijakan penurunan LTV dan FTV juga terbatas pada kelompok masyarakat yang secara daya beli tidak mendominasi dalam konsumsi rumah tangga. Kebijakan penurunan LTV dan FTV ini lebih untuk menjaga daya beli kelompok masyarakat menengah bawah tapi dampaknya terbatas untuk memulihkan daya beli kelompok masyarakat atas.

Sementara itu, kebijakan menaikan batas bawah LFR menjadi 80% sasarannya juga terbatas. Kalau kita lihat data loan to deposit ratio (LDR) atau LFR dikurangi surat-surat berharga (SSB) yang diterbitkan bank, kini angkanya sudah 89,47% (April 2016).

Beberapa bank besar bahkan LDR-nya sudah di atas 92%. Tahun lalu dan tahun ini juga tidak terlalu banyak bank yang menerbitkan SSB. Sehingga, kalau bank dengan SSB yang hendak didorong untuk lebih ekspansif, maka sasarannya masih terbatas.

Dengan kata lain, pelonggaran moneter dan makroprudensial BI memang diperlukan untuk mendukung daya dukung pertumbuhan ekonomi. Namun, tetap kurang karena keterbatasannya. Sehingga, tetap dibutuhkan kebijakan lain untuk mempercepat pertumbuhan. Hemat saya, kini tinggal investasi yang perlu didorong. Dan kunci untuk mendorong investasi adalah deregulasi dan debirokratisasi.

Paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang telah di keluarkan pemerintah harus didorong agar lebih efektif. Dan tampaknya, dengan melihat pertumbuhan investasi yang masih relatif terbatas, sepertinya implementasi paket kebijakan ekonomi ini masih mengalami sejumlah kendala.

Oleh Sunarsip
Disadur dari Bisnis, Rabu, 22 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar