Editors Picks

Kamis, 23 Juni 2016

Impor berlabel stabilisasi harga



Kegalauan publik ihwal jurus apa yang bakal dimainkan pemerintah untuk menurunkan harga sejumlah barang kebutuhan pokok seputar puasa dan lebaran akhirnya terjawab dengan rencana impor. Tiga komoditas utama dengan lonjakan harga paling spektakuler mendapat prioritas impor. Sudah dipatok pula harga tertinggi pada tingkat konsumen akhir (ceiling price) untuk daging maksimum  Rp 80.000, bawang merah Rp 25.000, dan gula Rp 12.000 per kg.

Segala upaya memang telah dikerahkan untuk bisa menjinakkan liarnya harga hingga peringkat normal, tetapi tidak berhasil juga mengatasi keadaan. Jumlah produk diminta yang jauh lebih berjibun dibanding persediaan menjadi pemantik di balik kurang efektifnya penambahan stok melalui operasi pasar.

Ketika produksi dalam negeri mentok pada level ketidakmungkinan dipenuhinya semua kebutuhan, impor merupakan satu-satunya opsi paling rasional. Meskipun tindakan impor potensial berdampak kurang populer bagi sebuah negara yang tengah berjuang keras mewujudkan kedaulatan pangan, tidak tersedianya alternatif lain terkait penambahan stok, menjadikan impor begitu mendesak.

Selama jumlah barang diimpor hanya selisih antara kebutuhan versus produksi dalam negeri, tidak dilakukan saat panen raya, dan stok masih mencukupi untuk cadangan dua bulan ke depan, impor tidaklah menjadi masalah. Justru kalau impor tidak dilakukan, eskalasi harga bakal membebani masyarakat, termasuk petani sendiri yang sudah menjual semua produknya saat panen tiba, kecuali masyarakat berinisiaif mengurangi konsumsi.

Dengan status sebagai konsumen, petani memerlukan harga terjangkau juga untuk komoditas bahan pangan yang sebelumnya diproduksi Konsekuensi logisnya, impor harus dilakukan berdasarkan perencanaan matang, tidak emosional, dan didukung data akurat. Eksekusi harus tepat sasaran dan tidak merugikan produsen saat panen tiba.

Sayangnya ketersediaan data akurat dan kredibel  dari masing-masing komoditas tersebut belum terintegrasi. Data bisa berbeda di antara pemangku kepentingan sehingga alternatif solusinya seringkali tidak menunjukkan resultante yang menjamin tidak saling terganggunya aktivitas usaha satu kelompok oleh kelompok lain.

Secara ekonomi, sejak harga bahan pangan diserahkan mekanisme pasar, pengendalian stok adalah instrumen penting pembentuk harga. Sayangnya pemerintah tidak menguasai stok yang dapat dilepas setiap saat, terutama begitu diketahui harga melesat hingga di luar ambang psikologis konsumen berpendapatan rendah untuk membelinya. Pemerintah hanya bisa melakukan pemantauan atas ketersediaan produk dengan ekspektasi begitu diketahui stok menipis dan produksi sendiri tidak mencukupi, segera dilakukan pengamanan seperlunya, termasuk merencanakan impor secara taat saat.

Impor pun dilakukan BUMN dan swasta dengan syarat-syarat tertentu, bukan oleh pemerintah. Ketepatan perencanaan memungkinkan diperolehnya barang berkualitas prima berikut harga jauh lebih murah. Sebaliknya, perencanaan mendadak dan emosional memicu eskalasi harga di negara asal barang, minimal untuk biaya angkut dari negara asal menyusul terbatasnya kapal pengangkut.

Impor harusnya temporer
Tetap harus diingat, kendati impor diarahkan untuk mewujudkan stabilisasi harga, tidak berarti kebijakan pangan murah mesti diberlakukan secara permanen. Untuk menjaga antusiasme petani berproduksi dengan menerapkan praktik agrikultural terbaik, harga masih menjadi satu-satunya penyuluh terbaik.

Tanpa dikomando pun, selama harga jual bagus dan lebih kompetitif dibanding komoditas agribisnis lain, petani pasti memilihnya. Sebaliknya, harga murah bahkan hingga di bawah biaya produksi yang membuat petani rugi, bakal menjadi hambatan struktural upaya pencapaian swasembada komoditas dimaksud.

Fluktuasi areal pengusahaan tebu dan produksi gula nasional merefleksikan dimensi kurang terakomodasinya petani. Ketidakpastian harga sejauh ini masih menjadi momok bagi petani saat memutuskan jenis usaha tani dan melakukan ekspansi skala usaha.

Bagaimana pun harga jual hasil panen haruslah merefleksikan keseriusan petani membantu publik dalam menyediakan bahan pangan. Menghargai jerih payah petani secara proporsional adalah pembuka kotak pandora swasembada.

Tugas semua pihak bukanlah menekan harga serendah mungkin agar konsumen bersukacita bisa membelinya, melainkan lebih terletak pada keseriusan meningkatkan daya beli seluruh elemen masyarakat sesuai profesi dan kegiatan usaha dijalani. Harga pangan murah justru sangat berbahaya kalau sampai berimbas tidak termotivasinya dalam aksi budidaya sehingga ketersediaan pangan pun mengarah bahaya laten.

Stabilisasi harga diinterpretasikan secara dinamis sebagai manifestasi tercapainya keseimbangan kepentingan antara produsen dan konsumen tanpa prasangka mengelabui. Harga wajar dari berbagai aspek menjadi bagian integral untuk saling menguatkan dan saling mempercayai di antara keduanya. Pedagang dalam kapasitas mediasi antara produsen dan konsumen wajib menjalankan peran dengan tidak memanfaatkan kelangkaan bahan pangan untuk mengeruk profit sebesar-besarnya.

Bagaimana pun juga impor berlabel stabilisasi harga hanyalah tindakan temporer. Sangat riskan bagi sebuah bangsa berpenduduk lebih 260 juta bila harus mengandalkan sebagian besar bahan pangannya dari surplus di pasar global.

Harga impor lebih murah dibandingkan dengan produk sendiri bukanlah alasan dapat dibenarkan karena bisa saja di sana terjadi malapraktik liberalisasi perdagangan dalam bentuk subsidi terselubung. Gangguan agroklimat, perang, dan konflik antarnegara bisa sewaktu-waktu mengubah peta geopolitik produksi dan ketersediaan yang menyulut tidak terkendalinya harga pangan dunia.

Tidak ada alasan lain bagi Indonesia selain mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam dan keberlimpahan energi matahari di kawasan tropika untuk merenda kedaulatan pangan secara berkelanjutan dan berdaya saing kuat. Keberpihakan kepada petani dan pabrikan lokal mesti direformulasikan melalui kebijakan terintegrasi yang dapat dilaksanakan secara taat asas dan menihilkan benturan kepentingan.

oleh Adig Suwandi
disadur dari KontanRabu, 22 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar