Kegalauan
publik ihwal jurus apa yang bakal dimainkan pemerintah untuk menurunkan harga
sejumlah barang kebutuhan pokok seputar puasa dan lebaran akhirnya terjawab
dengan rencana impor. Tiga komoditas utama dengan lonjakan harga paling
spektakuler mendapat prioritas impor. Sudah dipatok pula harga tertinggi pada
tingkat konsumen akhir (ceiling
price) untuk daging maksimum Rp 80.000, bawang merah Rp
25.000, dan gula Rp 12.000 per kg.
Segala
upaya memang telah dikerahkan untuk bisa menjinakkan liarnya harga hingga
peringkat normal, tetapi tidak berhasil juga mengatasi keadaan. Jumlah produk
diminta yang jauh lebih berjibun dibanding persediaan menjadi pemantik di balik
kurang efektifnya penambahan stok melalui operasi pasar.
Ketika
produksi dalam negeri mentok pada level ketidakmungkinan dipenuhinya semua
kebutuhan, impor merupakan satu-satunya opsi paling rasional. Meskipun tindakan
impor potensial berdampak kurang populer bagi sebuah negara yang tengah
berjuang keras mewujudkan kedaulatan pangan, tidak tersedianya alternatif lain
terkait penambahan stok, menjadikan impor begitu mendesak.
Selama
jumlah barang diimpor hanya selisih antara kebutuhan versus produksi dalam
negeri, tidak dilakukan saat panen raya, dan stok masih mencukupi untuk cadangan
dua bulan ke depan, impor tidaklah menjadi masalah. Justru kalau impor tidak
dilakukan, eskalasi harga bakal membebani masyarakat, termasuk petani sendiri
yang sudah menjual semua produknya saat panen tiba, kecuali masyarakat
berinisiaif mengurangi konsumsi.
Dengan
status sebagai konsumen, petani memerlukan harga terjangkau juga untuk
komoditas bahan pangan yang sebelumnya diproduksi Konsekuensi logisnya, impor
harus dilakukan berdasarkan perencanaan matang, tidak emosional, dan didukung
data akurat. Eksekusi harus tepat sasaran dan tidak merugikan produsen saat
panen tiba.
Sayangnya
ketersediaan data akurat dan kredibel dari masing-masing komoditas
tersebut belum terintegrasi. Data bisa berbeda di antara pemangku kepentingan
sehingga alternatif solusinya seringkali tidak menunjukkan resultante yang
menjamin tidak saling terganggunya aktivitas usaha satu kelompok oleh kelompok
lain.
Secara
ekonomi, sejak harga bahan pangan diserahkan mekanisme pasar, pengendalian stok
adalah instrumen penting pembentuk harga. Sayangnya pemerintah tidak menguasai
stok yang dapat dilepas setiap saat, terutama begitu diketahui harga melesat
hingga di luar ambang psikologis konsumen berpendapatan rendah untuk
membelinya. Pemerintah hanya bisa melakukan pemantauan atas ketersediaan produk
dengan ekspektasi begitu diketahui stok menipis dan produksi sendiri tidak
mencukupi, segera dilakukan pengamanan seperlunya, termasuk merencanakan impor
secara taat saat.
Impor
pun dilakukan BUMN dan swasta dengan syarat-syarat tertentu, bukan oleh
pemerintah. Ketepatan perencanaan memungkinkan diperolehnya barang berkualitas
prima berikut harga jauh lebih murah. Sebaliknya, perencanaan mendadak dan
emosional memicu eskalasi harga di negara asal barang, minimal untuk biaya
angkut dari negara asal menyusul terbatasnya kapal pengangkut.
Impor harusnya temporer
Tetap
harus diingat, kendati impor diarahkan untuk mewujudkan stabilisasi harga,
tidak berarti kebijakan pangan murah mesti diberlakukan secara permanen. Untuk
menjaga antusiasme petani berproduksi dengan menerapkan praktik agrikultural
terbaik, harga masih menjadi satu-satunya penyuluh terbaik.
Tanpa
dikomando pun, selama harga jual bagus dan lebih kompetitif dibanding komoditas
agribisnis lain, petani pasti memilihnya. Sebaliknya, harga murah bahkan hingga
di bawah biaya produksi yang membuat petani rugi, bakal menjadi hambatan
struktural upaya pencapaian swasembada komoditas dimaksud.
Fluktuasi
areal pengusahaan tebu dan produksi gula nasional merefleksikan dimensi kurang
terakomodasinya petani. Ketidakpastian harga sejauh ini masih menjadi momok
bagi petani saat memutuskan jenis usaha tani dan melakukan ekspansi skala
usaha.
Bagaimana
pun harga jual hasil panen haruslah merefleksikan keseriusan petani membantu
publik dalam menyediakan bahan pangan. Menghargai jerih payah petani secara
proporsional adalah pembuka kotak pandora swasembada.
Tugas
semua pihak bukanlah menekan harga serendah mungkin agar konsumen bersukacita
bisa membelinya, melainkan lebih terletak pada keseriusan meningkatkan daya
beli seluruh elemen masyarakat sesuai profesi dan kegiatan usaha dijalani.
Harga pangan murah justru sangat berbahaya kalau sampai berimbas tidak
termotivasinya dalam aksi budidaya sehingga ketersediaan pangan pun mengarah
bahaya laten.
Stabilisasi
harga diinterpretasikan secara dinamis sebagai manifestasi tercapainya
keseimbangan kepentingan antara produsen dan konsumen tanpa prasangka
mengelabui. Harga wajar dari berbagai aspek menjadi bagian integral untuk
saling menguatkan dan saling mempercayai di antara keduanya. Pedagang dalam
kapasitas mediasi antara produsen dan konsumen wajib menjalankan peran dengan
tidak memanfaatkan kelangkaan bahan pangan untuk mengeruk profit
sebesar-besarnya.
Bagaimana
pun juga impor berlabel stabilisasi harga hanyalah tindakan temporer. Sangat
riskan bagi sebuah bangsa berpenduduk lebih 260 juta bila harus mengandalkan
sebagian besar bahan pangannya dari surplus di pasar global.
Harga
impor lebih murah dibandingkan dengan produk sendiri bukanlah alasan dapat dibenarkan
karena bisa saja di sana terjadi malapraktik liberalisasi perdagangan dalam
bentuk subsidi terselubung. Gangguan agroklimat, perang, dan konflik
antarnegara bisa sewaktu-waktu mengubah peta geopolitik produksi dan
ketersediaan yang menyulut tidak terkendalinya harga pangan dunia.
Tidak
ada alasan lain bagi Indonesia selain mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
alam dan keberlimpahan energi matahari di kawasan tropika untuk merenda
kedaulatan pangan secara berkelanjutan dan berdaya saing kuat. Keberpihakan
kepada petani dan pabrikan lokal mesti direformulasikan melalui kebijakan
terintegrasi yang dapat dilaksanakan secara taat asas dan menihilkan benturan
kepentingan.
oleh
Adig Suwandi
disadur
dari KontanRabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar