Editors Picks

Senin, 13 Juni 2016

Kebijakan impor tak terarah



Masalah pangan di negeri ini setiap bulan puasa, dan lebaran selalu sama, yakni permintaan yang naik tapi pasokan yang tak juga meningkat. Alhasil, impor menjadi jurus akhir yang diandalkan.

Dalam kacamata kedaulatan pangan sebuah negara, opsi impor bukanlah solusi karena kebijakan ini menonjolkan sisi ketidakmampuan pemerintah membuat kebijakan pangan yang baik.

Barangkali hampir seluruh masyarakat Indonesia maklum jika impor adalah langkah akhir pemerintah untuk menghadapi gejolak harga pangan, namun sayangnya kebijakan instan ini menjadi tak maksimal karena sejumlah faktor.

Pertama, kebijakan impor ini selalu mendadak dan tanpa perencanaan. Hal tersebut bisa dilihat dari waktu impor yang ditetapkan mendekati bulan puasa serta menetapkan jumlah kuota tanpa perhitungan kebutuhan dan pasokan pangan yang transparan.
Imbasnya, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjalankan penugasan impor ini kesulitan karena semua harus dilakukan dengan cepat, padahal mekanisme impor selalu membutuhkan prosedur panjang.

Kedua, upaya pemerintah mengimpor sejumlah bahan pangan dan menekan harga mendapatkan perlawanan dari para pedagang besar yang merasa terancam dengan kebijakan ini. Alhasil, operasi pasar tak mampu menurunkan harga riil di lapangan.

Dua faktor tersebut selalu terulang setiap tahun, hal ini mengindikasikan bahwa solusi impor tidak memecahkan masalah pangan nasional dan justru menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat soal korelasi antara pasokan dengan harga.

Solusi yang paling masuk akal adalah pemerintah fokus untuk menggenjot produksi pangan dan membuat perencanaan produksi yang realistis untuk dicapai.

Dalam perspektif kebutuhan pangan, upaya menambal defisit produksi adalah dengan impor dan hal ini dibenarkan, namun kebijakan impor juga harus dilakukan dengan manajemen yang baik di internal pemerintah agar hasilnya maksimal.

oleh Khudori
disadur dari Kontan, 13 Juni, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar