Masalah
pangan di negeri ini setiap bulan puasa, dan lebaran selalu sama, yakni
permintaan yang naik tapi pasokan yang tak juga meningkat. Alhasil, impor
menjadi jurus akhir yang diandalkan.
Dalam
kacamata kedaulatan pangan sebuah negara, opsi impor bukanlah solusi karena
kebijakan ini menonjolkan sisi ketidakmampuan pemerintah membuat kebijakan
pangan yang baik.
Barangkali
hampir seluruh masyarakat Indonesia maklum jika impor adalah langkah akhir
pemerintah untuk menghadapi gejolak harga pangan, namun sayangnya kebijakan
instan ini menjadi tak maksimal karena sejumlah faktor.
Pertama, kebijakan impor ini selalu mendadak
dan tanpa perencanaan. Hal tersebut bisa dilihat dari waktu impor yang
ditetapkan mendekati bulan puasa serta menetapkan jumlah kuota tanpa
perhitungan kebutuhan dan pasokan pangan yang transparan.
Imbasnya,
perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjalankan penugasan impor ini
kesulitan karena semua harus dilakukan dengan cepat, padahal mekanisme impor
selalu membutuhkan prosedur panjang.
Kedua, upaya pemerintah mengimpor sejumlah
bahan pangan dan menekan harga mendapatkan perlawanan dari para pedagang besar
yang merasa terancam dengan kebijakan ini. Alhasil, operasi pasar tak mampu
menurunkan harga riil di lapangan.
Dua
faktor tersebut selalu terulang setiap tahun, hal ini mengindikasikan bahwa
solusi impor tidak memecahkan masalah pangan nasional dan justru menimbulkan
pertanyaan bagi masyarakat soal korelasi antara pasokan dengan harga.
Solusi
yang paling masuk akal adalah pemerintah fokus untuk menggenjot produksi pangan
dan membuat perencanaan produksi yang realistis untuk dicapai.
Dalam
perspektif kebutuhan pangan, upaya menambal defisit produksi adalah dengan
impor dan hal ini dibenarkan, namun kebijakan impor juga harus dilakukan dengan
manajemen yang baik di internal pemerintah agar hasilnya maksimal.
oleh Khudori
disadur dari Kontan, 13
Juni, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar