Minim
perencanaan! Inilah barangkali gambaran yang pas atas kebijakan pangan yang
diambil pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menstabilkan harga
pangan jelang Lebaran.
Keinginan
Presiden agar harga tiga komoditas pangan yakni daging, bawang merah dan gula
pasir murah saat Ramadan mulai menimbulkan masalah baru. Tengok saja stok
bawang merah di Bulog. Ratusan ton bawang merah Bulog membusuk. Sedianya,
bawang merah ini untuk operasi pasar.
"Stok
yang ada saat ini sudah mulai menyusut dan sebagian busuk," ujar pejabat
yang enggan disebut namanya itu pada KONTAN, pekan lalu.
Efeknya
Bulog harus menanggung kerugian. Sayang, ia enggan menyebut besarannya. Yang pasti,
Mei lalu, Bulog akan memborong 8.000 ton bawang merah petani untuk operasi
pasar.
Dalam
Rapat Koordinasi Pangan, Bulog mendapat tugas impor 2.500 bawang merah dari
Vietnam dan Filipina. Ikhwan Arif, Sekretaris Jenderal Asosiasi Bawang Merah
Indonesia (ABMI) menemukan bukti, sepanjang pekan lalu, sekitar 300 ton bawang
merah Bulog rusak. Sebagian busuk dan harus dibuang. Sebagian lagi terpaksa
dijual dengan harga sangat rendah.
Jumlah
ini bisa bertambah. Sebab, berdasarkan catatan ABMI, Bulog telah membeli 700
ton bawang merah petani, dari hasil panen petani sebanyak 23.000 ton. Dengan
asumsi harga beli Rp 16.000 per kilogram (kg), Bulog merugi Rp 4,8 miliar jika
bawang yang membusuk 300 ton.
"Bulog
tak mengerti cara mengelola bawang. Seharusnya dipelajari dulu sebelum menerima
tugas," ujar Ikhwan. Gara-gara itu pula, Bulog membatalkan rencana impor
bawang merah.
Tak
menampik kabar itu, Wahyu, Direktur Pengadaan Bulog mengakui, impor bawang
merah ditunda. Bukan karena tak mampu kelola komoditas ini, tapi "Tren
harga bawang merah sudah turun," ujarnya.
Selain
itu, Bulog juga menghentikan pembelian bawang merah petani karena stok di
gudang masih 1.200 ton. "Jika ada kerugian dari bisnis satu komoditas,
Bulog akan menutupi dari keuntungan bisnis komoditas lain," ujarnya.
Pengalaman
pahit Bulog ini tentu tak akan terjadi jika program stabilisasi pangan
dirancang matang. Masalahnya: "Kebijakan impor selalu mendadak, tanpa
perencanaan," tandas Khudori, pengamat pertanian. Alhasil, eksekusi di
lapangan juga kedodoran. Lebih menyesakkan lagi, harga pangan juga belum
beranjak turun dari harga idaman.
disadur
dari Kontan, Senin, 13 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar