Editors Picks

Senin, 13 Juni 2016

Siaran ulang drama mahalnya daging sapi



Samha (50) warga Bekasi ini rela menyambangi Operasi Pasar yang digelar oleh Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya Gondangdia, Jakarta Pusat untuk membeli daging.

Meski bukan daging segar melainkan daging beku impor, alasan harga pulalah yang menjadi penentunya. "Biasanya saya membeli daging segar. Namun, saat ini harganya sangat mahal, jadi saya mau mencoba daging beku," katanya mengutip Antara.

Hal senada disampaikan Yati (57). Warga Kalipasir itu beralih dari daging sapi segar menjadi membeli daging beku yang dijual PD Pasar Jaya dengan alasan harga yang lebih murah.

"Harganya jauh lebih murah daripada daging sapi segar yang dijual di dalam pasar. Di dalam pasar, harga daging sapi masih Rp 120.000 per kilogram," katanya.

Lain cerita bagi Sri Warginingsih (57), warga Cinere Depok yang tetap memilih membeli daging segar. Yang masih meragukan kualitas daging beku operasi pasar.

"Saya tetap memilih daging segar karena tahu sendiri bagaimana kualitasnya. Kalau daging beku, kita tidak tahu sudah kedaluwarsa atau belum," kata Sri Warginingsih.

Awalnya, Sri mengaku yang bekerja sebagai pegawai di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu sengaja datang ke Pasar Jaya Gondangdia karena mendengar Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya mengadakan operasi pasar.

Salah satu bahan pokok yang dijual dan menarik perhatian Sri adalah daging sapi yang dijual dengan harga murah, yaitu Rp 78.000 untuk daging sop, Rp 89.000 untuk paha belakang dan Rp 85.000 untuk paha depan."Namun, setelah tahu bahwa yang dijual adalah daging beku, saya batal membeli," ujarnya.

Asal tahu saja, PD Pasar Jaya tengah mengadakan operasi pasar di 20 pasar di Jakarta hingga 17 Juli 2016. Salah satu bahan pokok yang diserbu pembeli adalah daging sapi yang dijual dengan harga murah.

Operasi pasar yang digelar akhir-akhir ini merupakan buntut dari melejitnya harga daging di musim Ramadan dan menjelang Lebaran ini. Di sejumlah pasar, harga daging bahkan sampai menyentuh Rp 140.000 per kilogram.

Rugikan konsumen
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempunyai pandangan tersendiri terhadap operasi pasar dengan menjual daging beku impor. Terlepas dari tujuannya untuk menstabilkan harga daging.

Justru operasi pasar dengan menjual daging beku justru berpotensi merugikan konsumen, meski harga relatif lebih murah ketimbang daging segar.

“Kandungan air daging beku bisa mencapai 20% hingga 30%. Bila konsumen membeli satu kilogram daging beku, volume dagingnya hanya tujuh ons hingga delapan ons saja," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

Karena memiliki kandungan air yang cukup tinggi, daging beku akan mengalami penyusutan volume setelah mencair. Hal itu akan merugikan konsumen karena tidak mendapatkan volume sesuai yang mereka beli.

"Jadi harga daging sapi beku sebenarnya tidak murah karena akan mengalami penyusutan volume," ujarnya.

Tulus mengatakan impor daging sapi memang merupakan salah satu solusi paling praktis untuk menurunkan harga dalam jangka pendek. Konsumen memerlukan kepastian harga daging yang lebih terjangkau.

Apalagi, Presiden Joko Widodo telah menargetkan agar harga daging sapi bisa mencapai Rp 80.000 per kilogram, salah satunya dengan membuka keran impor.

"Untuk jangka waktu yang sangat pendek, jelas yang akan diimpor adalah daging sapi beku. Impor sapi bakalan memerlukan waktu tiga bulan hingga empat bulan untuk dipotong," tuturnya.

Siapa yang untung?
Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengakui pelaksanaan atas rencana terkait daging sapi tidak optimal sehingga harga komoditas itu saat ini cukup mahal.

"Presiden sebenarnya sudah memberi arahan sejak lama, dalam pengamatan beliau harga daging sapi terlalu tinggi. Dengan menyesal saya akui dalam pelaksanaannya tidak optimal. Tapi tentu kita ambil hikmah biar tidak terulang," kata Mendag.

Ia menyebutkan berbeda dengan daging sapi, pelaksanaan rencana terkait beras cukup berhasil. "Stok cukup dan harga beras terkendali," kata Thomas Lembong.

Ia menyebutkan salah satu yang mendapat perhatian adalah mengenai perencanaan oleh tim ekonomi.

"Pesan Presiden kita semua harus patuhi keputusan yang diambil, jangan lagi kagetan, reaktif tetapi harus antisipasi dan merencananakan dari jauh hari, " katanya.

Ya, pada akhirnya jurus impor menjadi jawabannya. Cara instan untuk mengendalikan harga pangan justru bisa menjadi bumerang bagi upaya mewujudkan kedaulatan pangan nasional.

Yang terbaru, Kementerian Perdagangan (Kemdag) kabarnya menyiapkan izin impor daging sapi sebanyak 23.200 ton kepada importir swasta dengan dalih menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging sapi tak lebih dari Rp 80.000 per kilogram (kg) dua pekan sebelum lebaran.

Teguh Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mengatakan, yang paling diuntungkan dari kebijakan membuka lebar pintu impor daging sapi ini adalah para importir dan bukanlah konsumen. "Para importir jelas paling diuntungkan karena mendapat kuota impor. Namun, meski sudah impor, tak ada jaminan harga daging sapi akan turun sesuai perintah Presiden," ujarnya kepada KONTAN.

Sekadar informasi, harga daging sapi impor datang ke Indonesia dengan harga Rp 60.000-Rp 70.000 per kg, tergantung negara asalnya. Dengan menjual di harga Rp 80.000 per kg di pasaran, para importir swasta ini mendapatkan margin keuntungan yang lumayan besar. Namun, Teguh mengaku tak tahu persis besaran margin yang bisa dikempit para importir ini.

Di sisi lain, Teguh memastikan para peternak lokal tak akan mampu bersaing dengan daging sapi milik importir tersebut. Sebab, biaya produksi sapi lokal bahkan lebih dari Rp 80.000 per kg.

Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi menambahkan, importir swasta yang mendapatkan kuota impor daging sapi menjadi pihak yang paling untung dari kepanikan pemerintah soal harga daging sapi ini.

Apalagi, selain melakukan impor, importir swasta ini juga bisa langsung mengguyur daging tersebut ke pasar. Dengan begitu, keuntungan yang diraihnya bisa maksimal karena tak perlu lagi mendelegasikan ke pihak lain.

Kendati begitu, Asnawi bilang, yang paling dirugikan kebijakan ini adalah pedagang daging di pasaran yang penjualannya akan berkurang akibat ada daging beku. Juga para pemilik Rumah Potong Hewan (RPH) karena pasokan sapi berpotensi berkurang karena permintaan pasar turun akibat daging impor.

Kembali terulang
Lalu bagaimana, serial daging yang seakan berulang kembali ini bisa terjadi di negeri dengan tingkat konsumsi daging yang masih rendah?.

Tercatat, konsumsi daging sapi orang Indonesia hanya 2,2 kg per kapita /tahun. Coba bandingkan dengan Argentina yang mencapai 55 kg per kapita/tahun, Brazil 40 kg per kapita/tahun, dan Jerman 40-45 kg per kapita/tahun. Sementara Singapura dan Malaysia sebanyak 15 kg per kapita/tahun.

Namun, meski tingkat konsumsi rendah, kebutuhan daging sapi nasional cukup tinggi hingga ratusan ribu ton per tahun. Ini karena populasinya yang besar.

Untuk tahun 2015 konsumsi daging sapi per kapita 2,56 kg/tahun, atau sebanyak 653,980 ton di mana dipasok dari lokal sebanyak 416,090 ton (64%) setara dengan sapi hidup 2.447.000 ekor, sedang untuk impor 237,890 ton (36%) setara dengan sapi hidup 1.400.000 ekor.

Dari jumlah impor tersebut dalam bentuk sapi bakalan sebanyak 720.000 ekor, sedang dalam bentuk daging beku setara dengan jumlah sapi hidup sebanyak 680.000 ekor sapi. Impor sapi bakalan yang digemukkan di feedlot untuk adalah untuk memenuhi kebutuhan di pasar tradisional yang ada di Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat, sedang daging impor beku untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan daging, Restoran, Hotel dan pasar modern.

Konsumsi daging sapi untuk tahun 2016 diproyeksikan sebesar 2,85 kg per tahun per kapita penduduk, mengalami kenaikan 10% dari tahun sebelumnya. Berarti diperlukan ketersediaan daging 738,025 ton atau setara dengan 4.341.323 ekor sapi hidup.

Lokal diprediksikan mampu memasok sebanyak 469.235 ton daging atau setara dengan 2,760.000 ekor sapi (62%). Berarti memerlukan pasokan dari impor sebanyak 268,790 ton atau setara dengan 1.581.117 ekor sapi (38%).

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka defisit daging mengalami kenaikan sebesar 12%. Dari jumlah pasokan impor tersebut bisa dibagi dua, yaitu impor sapi bakalan sebanyak 800.000 ekor dan dalam bentuk daging beku, setara dengan 781.117 ekor sapi.

Prediksi Kebutuhan daging nasional 2016 mengalami kenaikan 10%. Kenaikan pasokan lokal hanya mampu sebesar 8% sedangkan defisit akan ditutup dengan impor yang mengalami kenaikan 12%.

Untuk impor porsinya semakin besar, sebelumnya pada tahun 2015 hanya 36%, sedang pada tahun 2016 naik menjadi 38%. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, terlihat sekali semakin besar ketergantungan daging impornya.

Berpijak dari kasus mahalnya daging sapi saat sekarang, sudah sepatutnya pemerintah segera berbenah. Seperti kata Mendag Thomas Lembong, koordinasi antarlembaga belum maksimal, kepatuhan kepada keputusan yang diambil yang masih kurang dan pola pikir pedagang.

Harapannya, drama mahalnya daging ini tak kembali berulang di tahun mendatang! 

Disadur dari Kontan, Jum’at, 10 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar