Samha
(50) warga Bekasi ini rela menyambangi Operasi Pasar yang digelar oleh
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya Gondangdia, Jakarta Pusat untuk membeli daging.
Meski
bukan daging segar melainkan daging beku impor, alasan harga pulalah yang
menjadi penentunya. "Biasanya saya membeli daging segar. Namun, saat ini
harganya sangat mahal, jadi saya mau mencoba daging beku," katanya
mengutip Antara.
Hal
senada disampaikan Yati (57). Warga Kalipasir itu beralih dari daging sapi
segar menjadi membeli daging beku yang dijual PD Pasar Jaya dengan alasan harga
yang lebih murah.
"Harganya
jauh lebih murah daripada daging sapi segar yang dijual di dalam pasar. Di
dalam pasar, harga daging sapi masih Rp 120.000 per kilogram," katanya.
Lain
cerita bagi Sri Warginingsih (57), warga Cinere Depok yang tetap memilih
membeli daging segar. Yang masih meragukan kualitas daging beku operasi pasar.
"Saya
tetap memilih daging segar karena tahu sendiri bagaimana kualitasnya. Kalau daging
beku, kita tidak tahu sudah kedaluwarsa atau belum," kata Sri
Warginingsih.
Awalnya,
Sri mengaku yang bekerja sebagai pegawai di Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) itu sengaja datang ke Pasar Jaya Gondangdia karena mendengar Perusahaan
Daerah (PD) Pasar Jaya mengadakan operasi pasar.
Salah
satu bahan pokok yang dijual dan menarik perhatian Sri adalah daging sapi yang
dijual dengan harga murah, yaitu Rp 78.000 untuk daging sop, Rp 89.000 untuk
paha belakang dan Rp 85.000 untuk paha depan."Namun, setelah tahu bahwa
yang dijual adalah daging beku, saya batal membeli," ujarnya.
Asal
tahu saja, PD Pasar Jaya tengah mengadakan operasi pasar di 20 pasar di Jakarta
hingga 17 Juli 2016. Salah satu bahan pokok yang diserbu pembeli adalah daging
sapi yang dijual dengan harga murah.
Operasi
pasar yang digelar akhir-akhir ini merupakan buntut dari melejitnya harga daging
di musim Ramadan dan menjelang Lebaran ini. Di sejumlah pasar, harga daging
bahkan sampai menyentuh Rp 140.000 per kilogram.
Rugikan konsumen
Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempunyai pandangan tersendiri terhadap
operasi pasar dengan menjual daging beku impor. Terlepas dari tujuannya untuk
menstabilkan harga daging.
Justru
operasi pasar dengan menjual daging beku justru berpotensi merugikan konsumen,
meski harga relatif lebih murah ketimbang daging segar.
“Kandungan
air daging beku bisa mencapai 20% hingga 30%. Bila konsumen membeli satu
kilogram daging beku, volume dagingnya hanya tujuh ons hingga delapan ons
saja," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.
Karena
memiliki kandungan air yang cukup tinggi, daging beku akan mengalami penyusutan
volume setelah mencair. Hal itu akan merugikan konsumen karena tidak
mendapatkan volume sesuai yang mereka beli.
"Jadi
harga daging sapi beku sebenarnya tidak murah karena akan mengalami penyusutan
volume," ujarnya.
Tulus
mengatakan impor daging sapi memang merupakan salah satu solusi paling praktis
untuk menurunkan harga dalam jangka pendek. Konsumen memerlukan kepastian harga
daging yang lebih terjangkau.
Apalagi,
Presiden Joko Widodo telah menargetkan agar harga daging sapi bisa mencapai Rp
80.000 per kilogram, salah satunya dengan membuka keran impor.
"Untuk
jangka waktu yang sangat pendek, jelas yang akan diimpor adalah daging sapi
beku. Impor sapi bakalan memerlukan waktu tiga bulan hingga empat bulan untuk
dipotong," tuturnya.
Siapa yang untung?
Menteri
Perdagangan Thomas Lembong mengakui pelaksanaan atas rencana terkait daging
sapi tidak optimal sehingga harga komoditas itu saat ini cukup mahal.
"Presiden
sebenarnya sudah memberi arahan sejak lama, dalam pengamatan beliau harga daging
sapi terlalu tinggi. Dengan menyesal saya akui dalam pelaksanaannya tidak optimal.
Tapi tentu kita ambil hikmah biar tidak terulang," kata Mendag.
Ia
menyebutkan berbeda dengan daging sapi, pelaksanaan rencana terkait beras cukup
berhasil. "Stok cukup dan harga beras terkendali," kata Thomas
Lembong.
Ia
menyebutkan salah satu yang mendapat perhatian adalah mengenai perencanaan oleh
tim ekonomi.
"Pesan
Presiden kita semua harus patuhi keputusan yang diambil, jangan lagi kagetan,
reaktif tetapi harus antisipasi dan merencananakan dari jauh hari, "
katanya.
Ya,
pada akhirnya jurus impor menjadi jawabannya. Cara instan untuk mengendalikan
harga pangan justru bisa menjadi bumerang bagi upaya mewujudkan kedaulatan
pangan nasional.
Yang
terbaru, Kementerian Perdagangan (Kemdag) kabarnya menyiapkan izin impor daging
sapi sebanyak 23.200 ton kepada importir swasta dengan dalih menjalankan
instruksi Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging sapi tak lebih
dari Rp 80.000 per kilogram (kg) dua pekan sebelum lebaran.
Teguh
Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI)
mengatakan, yang paling diuntungkan dari kebijakan membuka lebar pintu impor daging
sapi ini adalah para importir dan bukanlah konsumen. "Para importir jelas
paling diuntungkan karena mendapat kuota impor. Namun, meski sudah impor, tak
ada jaminan harga daging sapi akan turun sesuai perintah Presiden,"
ujarnya kepada KONTAN.
Sekadar
informasi, harga daging sapi impor datang ke Indonesia dengan harga Rp
60.000-Rp 70.000 per kg, tergantung negara asalnya. Dengan menjual di harga Rp
80.000 per kg di pasaran, para importir swasta ini mendapatkan margin
keuntungan yang lumayan besar. Namun, Teguh mengaku tak tahu persis besaran
margin yang bisa dikempit para importir ini.
Di
sisi lain, Teguh memastikan para peternak lokal tak akan mampu bersaing dengan daging
sapi milik importir tersebut. Sebab, biaya produksi sapi lokal bahkan lebih
dari Rp 80.000 per kg.
Ketua
Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi menambahkan, importir swasta
yang mendapatkan kuota impor daging sapi menjadi pihak yang paling untung dari
kepanikan pemerintah soal harga daging sapi ini.
Apalagi,
selain melakukan impor, importir swasta ini juga bisa langsung mengguyur daging
tersebut ke pasar. Dengan begitu, keuntungan yang diraihnya bisa maksimal
karena tak perlu lagi mendelegasikan ke pihak lain.
Kendati
begitu, Asnawi bilang, yang paling dirugikan kebijakan ini adalah pedagang daging
di pasaran yang penjualannya akan berkurang akibat ada daging beku. Juga para
pemilik Rumah Potong Hewan (RPH) karena pasokan sapi berpotensi berkurang
karena permintaan pasar turun akibat daging impor.
Kembali terulang
Lalu
bagaimana, serial daging yang seakan berulang kembali ini bisa terjadi di
negeri dengan tingkat konsumsi daging yang masih rendah?.
Tercatat,
konsumsi daging sapi orang Indonesia hanya 2,2 kg per kapita /tahun. Coba
bandingkan dengan Argentina yang mencapai 55 kg per kapita/tahun, Brazil 40 kg
per kapita/tahun, dan Jerman 40-45 kg per kapita/tahun. Sementara Singapura dan
Malaysia sebanyak 15 kg per kapita/tahun.
Namun,
meski tingkat konsumsi rendah, kebutuhan daging sapi nasional cukup tinggi
hingga ratusan ribu ton per tahun. Ini karena populasinya yang besar.
Untuk
tahun 2015 konsumsi daging sapi per kapita 2,56 kg/tahun, atau sebanyak 653,980
ton di mana dipasok dari lokal sebanyak 416,090 ton (64%) setara dengan sapi
hidup 2.447.000 ekor, sedang untuk impor 237,890 ton (36%) setara dengan sapi
hidup 1.400.000 ekor.
Dari
jumlah impor tersebut dalam bentuk sapi bakalan sebanyak 720.000 ekor, sedang
dalam bentuk daging beku setara dengan jumlah sapi hidup sebanyak 680.000 ekor
sapi. Impor sapi bakalan yang digemukkan di feedlot untuk adalah untuk memenuhi
kebutuhan di pasar tradisional yang ada di Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat,
sedang daging impor beku untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan daging,
Restoran, Hotel dan pasar modern.
Konsumsi
daging sapi untuk tahun 2016 diproyeksikan sebesar 2,85 kg per tahun per kapita
penduduk, mengalami kenaikan 10% dari tahun sebelumnya. Berarti diperlukan
ketersediaan daging 738,025 ton atau setara dengan 4.341.323 ekor sapi hidup.
Lokal
diprediksikan mampu memasok sebanyak 469.235 ton daging atau setara dengan
2,760.000 ekor sapi (62%). Berarti memerlukan pasokan dari impor sebanyak
268,790 ton atau setara dengan 1.581.117 ekor sapi (38%).
Jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka defisit daging mengalami kenaikan
sebesar 12%. Dari jumlah pasokan impor tersebut bisa dibagi dua, yaitu impor
sapi bakalan sebanyak 800.000 ekor dan dalam bentuk daging beku, setara dengan
781.117 ekor sapi.
Prediksi
Kebutuhan daging nasional 2016 mengalami kenaikan 10%. Kenaikan pasokan lokal
hanya mampu sebesar 8% sedangkan defisit akan ditutup dengan impor yang
mengalami kenaikan 12%.
Untuk
impor porsinya semakin besar, sebelumnya pada tahun 2015 hanya 36%, sedang pada
tahun 2016 naik menjadi 38%. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan daging
nasional, terlihat sekali semakin besar ketergantungan daging impornya.
Berpijak
dari kasus mahalnya daging sapi saat sekarang, sudah sepatutnya pemerintah
segera berbenah. Seperti kata Mendag Thomas Lembong, koordinasi antarlembaga
belum maksimal, kepatuhan kepada keputusan yang diambil yang masih kurang dan
pola pikir pedagang.
Harapannya,
drama mahalnya daging ini tak kembali berulang di tahun mendatang!
Disadur
dari Kontan, Jum’at, 10 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar