KINERJA
perekonomian dunia pada 2016 dipastikan memprihatinkan, mengarah pada stagnasi
yang berkepanjangan yang belum nampak titik terangnya. Meminjam istilah
Christine Lagarde, kondisi perekonomian global memasuki era the New Mediocre.
Yang
paling mengkhawatirkan menurut PBB dalam laporannya yang bertajuk World Economic Situation and Prospect
2016 adalah pertumbuhan ekonomi negara berkembang, diperkirakan
hanya akan mencapai rata-rata 3,8%, suatu pertumbuhan ekonomi terendah sejak
krisis keuangan global 2009, situasinya dapat disejajarkan dengan kondisi
resesi ekonomi dunia 2001.
Penyebab
utama kelesuan ekonomi dunia tersebut adalah lemahnya permintaan agregat dunia
yang dipicu oleh meningkatnya ketimpangan dan pengetatan fiskal yang kurang
rasional. Kelompok atas membelanjakan pendapatannya lebih sedikit dari
kelompok bawah, sehingga jumlah uang yang ditempatkan di keuangan jauh melebihi
dana yang dibelanjakan.
Lantas,
bagaimana dunia mampu memitigasi jebakan stagnasi yang mengarah pada resesi
global tersebut? Jawabnya adalah productive
quantitative easing policies. Suatu implementasi kebijakan
menyediakan likuiditas internasional yang memadai yang dibutuhkan untuk menutup
kebutuhan investasi di proyek infrastruktur. Mirip kombinasi quantitative easing AS dan Proyek
Manhattanya, tapi sekalanya global.
Sebenarnya
yang mampu melakukan kebijakan tersebut lima negara, yaitu AS, Euro, Inggris,
Jepang dan China. Negara yang mata uangnya digunakan sebagai cadangan devisa
resmi internasional.
Dalam
perekonomian dunia yang tingkat bunganya hampir mendekati nol, US$ yang menguat
akan mengakibatkan deflasi yang mirip dengan kondisi masih diberlakukannya standar
emas dalam transaksi keuangan internasional pada 1930. Dengan demikian
sebenarnya negara yang paling mampu menarik dunia dari jebakan resesi adalah
AS.
Namun,
langkah tersebut memerlukan keberanian untuk mengatasi Triffin dilemma. Dengan memenuhi permintaan likuiditas global, maka
negara tersebut akan mengalami pelebaran defisit transaksi berjalan.
Tampaknya,
AS tidak akan berani menghadapi risikonya. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan
beban utang yang tinggi di Eropa dan Jepang telah menurunkan moral pengambil
kebijakan untuk menaikkan pajak atau melakukan pinjaman agar ada ruang untuk
kebijakan ekspansi fiskalnya. Sebagai akibatnya kebijakan moneter di negara
maju telah sangat terbebani, sehingga hampir tidak ada celah untuk bermanuver.
Dari
2007 sampai 2014, bank sentral empat negara pencipta cadangan devisa resmi
internasional (AS, Euro, Enggris dan Jepang) telah melakukan ekspansi neraca
mereka sebesar US$7,2 triliun. Sebagai akibatnya uang beredar meningkat sebesar
US$9 triliun, tetapi kredit sektor swasta hanya meningkat US$1,8 triliun,
mengindikasikan kelemahan transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.
Selain
itu, walaupun tingkat bunga mendekati nol mengurangi beban biaya pembayaran
bunga pinjaman, tetapi beban utang riilnya mengalami peningkatan karena
penurunan inflasi. Selama rumah tangga dan perusahaan terus melakukan
pengurangan utang, maka pada hakekatnya neraca negara tersebut telah mengalami
resesi.
Permasalah
global saat ini adalah bukan tidak adanya peluang, tetapi karena tidak adanya politicall will untuk
mendorong permintaan aggregat global. Sebenarnya investasi di sektor publik
masih terbuka lebar, yaitu investasi infrastruktur yang dibutuhkan oleh negara
berkembang dan investasi untuk memitigasi perubahan cuaca yang mampu mengangkat
dunia dari jebakan resesi. Diperkirakan sekitar US$6 triliun per tahun selama
15 tahun ke depan dibutuhkan untuk investasi infrastruktur guna mengatasi pemanasan
global. Di samping itu, G30 memperkitakan dibutuhkan tambahan dana sekitar
US$7,1 triliun per tahun untuk investasi di sembilan negara utama.
Sehubungan
tidak adanya negara pencipta cadangan devisa internasional yang bersedia
menggelontarkan likuiditas yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan investasi
di infrastruktur, maka harus diciptakakan mata uang baru yang berlaku sebagai
likuiditas internasional, yang penerbitnya tidak menghadapi rIsiko Triffin
dilemma. Hanya ada satu pilihan: yaitu the International Monetary Fund’s
Special Drawing Right.
Jalan
untuk menjadikan SDR sebagai likuiditas internasional masih panjang, karena SDR
saat ini hanya berfungsi sebagai aset cadangan, yang kapitalisasinya hanya
US$285 miliar relatif sangat kecil dibandingkan dengan global official reserves
yang mencapai US$10,5 triliun. Namun, perluasan peran SDR dalam arsitektur
keuangan global yang baru, yang bertujuan untuk membuat mekanisme transmisi
kebijakan moneter lebih efektif, dapat dicapai tanpa hambatan yang berarti.
Karena, secara konseptual peningkatan SDR setara dengan peningkatan neraca bank
sentral global.
Mekanisme Transmisi
Bank-bank
sentral memperbesar neracanya dengan cara berinvestasi melalui IMF dalam bentuk
peningkatan SDR. Karena SDR berfungsi sebagai ekuitas, berarti dapat
diinvestasikan baik di bank dunia dan lembaga perbankan multilateral lainnya,
untuk pembiayaan investasi di sektor publik. Penarikannya dapat diatur
sedemikian rupa untuk menghindari dampak inflatoir.
Skenarionya
sebagai berikut; bank sentral meningkatkan alokasi SDR di IMF, misal sebesar
US$1 triliun. Kalau leverage-nya lima
kali, maka IMF dapat meningkatkan pinjaman ke anggota atau menginvestasikan di
proyek infrastruktur melalui perbankan pembangunan multilateral
setidak–tidaknya sejumlah US$5 triliun. Di samping itu, perbankan pembangunan
multilateral dapat meningkatkan leverage dengan
melakukan pinjaman di pasar modal. Kemudian proyeknya dapat dijual kembali ke
investor sebagai sekuritas yang dijamin oleh aset yang berupa proyek infrastruktur
untuk membiayai proyek-proyek baru. Sehingga tercipta efek pengganda yang mampu
mendorong perekonomian global.
Pada
sistem keuangan konvensional, dana yang tersedia untuk investasi terkendala
oleh jumlah tabungan yang tercipta. Akan tetapi, dengan kerangka sistem moneter
internasional yang baru tersebut, dengan menggunkan kebijakan moneter yang
lebih kreatif, maka likuiditas internasional dapat diciptakan tanpa terkendala
oleh pembentukan tabungan global, yang hanya berdampak relatif kecil terhadap
inflasi. Asalkan kondisi perekonomian global mengalami kelebihan kapasitas
produksi dan lemahnya permintaan agregat.
Oleh Tri
Winarno
Disadur
dari Bisnis, Selasa, 14 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar